Ada sebuah
episode tidak terlupakan ketika saya menempuh kuliah sarjana yang berhubungan
dengan nilai. Episode ini selalu tertanam dalam ingatan saya yang tidak
seberapa kuat, dan selalu melahirkan pemikiran semacam “wah dulu bisa kayak
gitu banget ya?”
Kisah ini
terjadi ketika saya masih jadi mahasiswa baru, dan mengambil mata kuliah, kalau
tidak salah ingat, Perekonomian Indonesia. Dosennya luar biasa galak, dan sudah
terkenal seantero fakultas. Waktu itu, saya sedang sibuk-sibuknya ikut UKM
Paduan Suara, dan inilah sumber masalahnya.
Ketika
pertemuan ketiga, saya tidak hadir kuliah tersebab menjalankan tugas negara
sebagai anggota paduan suara di luar kota. Waktu itu, pengalaman keluar kota
menjadi peristiwa pertama kali bagi saya untuk berkendara pesawat terbang.
Dihinggapi perasaan buncah atas pencapaian bisa naik pesawat, saya rela-rela
saja bolos mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Akhirnya,
saya kembali dari tugas negara dan hadir di pertemuan ketiga kuliah
Perekonomian Indonesia. Sebelum memulai kuliah, sang dosen memberikan dua
pertanyaan, yang entah dapat ilham darimana malah menunjuk saya untuk menjawab
salah satunya. Saya bengong, bapaknya marah-marah. Katanya, itukan sudah
dibahas dipertemuan sebelumnya dengan jelas sehingga semua mahasiswa wajib
memahaminya. Ya piye, saya kan tidak
hadir pertemuan sebelumnya. Saya diam dan tidak mampu membantah. Lalu si bapak
malah naik pitam karena menganggap saya cueki, lantas menyuruh saya berdiri di
depan kelas dan di sanalah malapetaka terjadi.
Bayangkan,
seorang gadis berjilbab agak panjang dengan garis wajah kusut khas anak
kos-kosan, menunduk di depan hampir lima puluh mahasiswa di kelas itu—kelas
besar, gabungan dari beberapa jurusan di fakultas. Medeni, kalau kata orang Jawa.
Berdiri
bukan karena dielu-elukan pujian hebat atau pintar, tapi karena dihukum tidak
bisa menjawab pertanyaan yang sesungguhnya saya sendiri belum pernah pelajari
sebelumnya. Inti malapetakanya bukan berdiri, tapi kalimat yang kemudian sang dosen
muntahkan dan akan dikenang si gadis seumur hidupnya. “Mahasiswa ini, yang
kayak gini, nanti kalau tertabrak mobil ya, ngga
bisa geger otak. Tahu kenapa?”. Pandangan sang dosen menyapu seluruh
peserta kuliah tapi tidak ada jawaban terdengar. “Ya karena dia ngga punya otak.”
Si
dosen terbahak-bahak. Saya menangis dalam hati. Ya Allah… piye, sudah dikasarin, dipermalukan di depan umum pula dan tanpa
rasa bersalah, sang dosen yang terhormat menganggap dirinya sedang melucu. Saya
tidak tahu apa pikiran teman-teman saya kala itu. Sungguh mengenaskan jika mengingat
bahwa sebagian di antara mereka juga ikut tertawa.
Cerita
ini ditutup dengan saya lulus mata kuliah pak dosen dengan mengantongi nilai A,
satu-satunya mahasiswa yang berhasil membawa nilai A keluar dari mata kuliah
itu. Tentu saja karena ada semacam rasa jengkel sudah diperlakukan demikian
sehingga saya belajar keras mempersiapkan ujian mata kuliah tersebut.
Luka
tetaplah luka. Dia bisa termaafkan, tapi akan selalu ada di sana. Saya
mengingat dan membawa memori tentang sang dosen dan ucapannya selalu, sepanjang
perjalanan hidup saya. Bahwa ada saja orang di luar sana yang tidak bisa
menjaga mulutnya, dan kita, dipersilakan memilih untuk takluk dan terpuruk atas
ucapan-ucapan demikian, atau memilih menjadi lebih baik dari sangkaan orang
tersebut.
Ini
menjadi pelajaran berharga pula bagi profesi saya sekarang, untuk selalu
mengusahakan berkata yang baik-baik di depan mahasiswa, semenjengkelkan apapun
mereka. Kalaulah saya tidak bisa memperlakukannya sebagai anak didik, maka
setidak-tidaknya saya harus melihat mahasiswa saya sebagai seorang manusia yang
memiliki harkat dan martabat. Sebab memang, kata Pram, tugas mendidik adalah
tugas memanusiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar