Tahun
1890 silam, seorang perempuan menjadi lulusan perempuan pertama pada fakultas
kedokteran, Universitas Roma, sesuatu yang tidak lazim pada masanya. Beberapa
tahun setelah lulus, si perempuan kemudian bekerja di sebuah klinik, kemudian
memiliki seorang anak dari kekasihnya yang juga seorang dokter yang berpraktik
di klinik yang sama. Karena kegagalan dalam menjalankan hubungan dengan
kekasihnya, anak semata wayang itu kemudian diserahkan kepada pasangan lain
untuk menjadi orang tua angkat sang anak. Merasa bersalah karena meninggalkan
anaknya dalam pengasuhan orang lain, dia bertekad membantu banyak anak difabel
yang kala itu tidak diterima di masyarakat Roma, untuk memberikan ruang gerak
belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode yang menekankan pada
perkembangan sensori anak tersebut kemudian dicontoh oleh banyak sekolah umum,
dan nama si perempuan dipatenkan sebagai penemu metode pembelajaran tersebut.
Maria
Montessori, namanya. Seorang peneliti yang meluangkan banyak waktunya untuk
mendampingi proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus setelah merasa gagal
mendampingi anaknya sendiri. Dari rasa bersalah itu, lahirlah sebuah metode yang
pada hari ini banyak menjadi percontohan di negara-negara maju sebagai metode
terbaik untuk tumbuh kembang anak usia balita hingga pra-remaja.
***
Bulan
April ini, saya memulai bacaan saya pada buku yang mengupas metode
Montessori—setiap bulan pada tahun ini saya menargetkan membaca minimal tiga
buku. Alhamdulillah, baby A sudah
berusia 22 bulan. Sudah tambah besar, seiring dengan tambah banyak pertumbuhan
fisik yang terlihat darinya, demikian juga perkembangan motorik dan
kemampuannya untuk mulai belajar hal-hal baru. Karena alasan itu, penting
rasanya untuk terus menyesuaikan kapasitas diri saya sebagai ibu dengan
pertumbuhan dan perkembangan baby A
dengan terus belajar.
Bukan
hal-hal besar sih sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi padanya
kalau dari kaca mata kita sebagai orang dewasa, tapi amat signifikan untuk kaca
mata saya sebagai seorang ibu yang melihat dia setiap hari bertumbuh.
Mengembalikan buku dan alat tulisnya ke meja setelah menulis, misalnya. Ini
terjadi semalam setelah kami selesai beraktivitas di ruang keluarga, ruang yang
berada tepat di depan kamar kami (baby A
masih tidur dengan ibunya).
Biasanya,
baby A suka nimbrung kalau saya
sedang shalat. Entah ikutan sujud, ikutan rukuk, minta gendong, sampai naik di
punggung saya (mamak-mamak pasti
sudah ngerti ini kan?). Itu sudah lumayan dibanding kalau baby A nangis atau minta ditemani main pas saya izin padanya untuk
shalat. Tadi malam, setelah saya selesai berwudhu, tidak seperti biasanya, dia
tidak ada di depan pintu kamar mandi sambil berurai air mata menunggu saya di
sana. Malah, dia sedang berbaring di lantai sambil memegang buku yang hari itu
tuntas saya baca dan lupa saya masukkan di rak lemari buku. Barangkali karena
mudah dijangkaunya, dia mengambil yang itu. Bukunya tipis sehingga dengan satu
tangan dapat dia angkat dari meja.
Ketika
saya sudah mau shalat, dia masih asyik membuka halaman demi halaman buku itu,
dengan bibirnya yang komat-kamit, barangkali meniru gaya saya membaca? Tumben
dia tidak ‘ngeh’ kalau saya mau shalat. Saya akhirnya memulai takbir di rakaat pertama dengan seorang bayi
besar di dekat saya berbaring dan sibuk dengan buku yang belum dapat dibacanya.
Selesailah
tiga rakaat tanpa terdistraksi sama sekali oleh baby A, sebuah anugerah! Setelah salam, dia masih tidak memedulikan
saya. Biasanya kalau saya sudah salam, dia mulai mengajak saya bicara karena
sudah paham bahwa saya sudah boleh berbicara dengannya. Akhirnya, saya memegang
kepalanya, meniupkan doa di ubun-ubunnya, mengirim doa ke pemilik langit,
semoga dia jadi anak yang shaleh. Robbiy
habliy minasshalihiyn…
Baru
setelah saya tiupkan doa itu, dia akhirnya mengajak saya bicara. “Ibu alat…
(Ibu shalat)”, katanya. Saya tersenyum, dia bangkit dan duduk. Dia melanjutkan
bacaannya dan membiarkan saya duduk sejenak berdoa. Saya terharu dong,
pastinya.
Ketika
saya berdoa, sayup suaranya terdengar, “ulis… mau ulis (tulis, mau tulis)”.
Saya melirik ke meja kerja saya, lalu melihat ada stabilo hijau di sana. Segera
saya meraihnya, memberikannya pada baby A,
dan menutup shalat Maghrib dengan dua rakaat. Tuntas dua rakaat qabla Maghrib, eh dia masih sibuk dengan
buku dan stabilonya, dengan hasil buku yang sudah penuh coretan stabilo dan
celana tidur yang ikut tercoret juga.
Setelah
saya merapikan alat shalat, saya mengajaknya ke kamar membaca buku cerita
untuknya. Dan waw! Tanpa instruksi, dia mengembalikan buku dan stabilonya ke
atas meja. Saya hening beberapa detik, dan segera menyadari sikapnya yang mulai
belajar merapikan benda-benda setelah dia pakai. “Aruh i meja… (taruh di meja)”,
katanya. Saya sambut dengan, “wah, anak ibu tambah pintar, sudah bisa merapikan
barang ya, Nak”.
Sebenarnya
itu bukan sesuatu yang tiba-tiba sih. Hampir setiap selesai membaca atau
bermain, saya selalu meminta tolong padanya untuk merapikan alat-alat yang
sudah dipakainya, meskipun dia hampir tidak pernah peduli dengan ajakan saya.
Kadang saya sibuk merapikan mainan yang sudah dimainkan, eh dia sibuk bongkar
mainan barunya. Maka cara lain untuk membuatnya paham adalah saya sengaja
memilih buku cerita di serial “The 7
Habits of Happy Kids” karya Sean Covey.
Ada
satu cerita dalam buku itu, tentang seekor kelinci yang bersedih kehilangan
sepatu basketnya karena masalah kamar yang amat berantakan. Akibat kelamaan
mencari dan harus merapikan kamar terlebih dahulu, dia kehilangan kesempatan
bermain bersama teman-temannya di lapangan basket. Cerita ini, menurut saya,
bagus untuk baby A agar dia tahu
pentingnya merapikan barang-barang miliknya karena akan berpengaruh pada
aktivitas-aktivitasnya yang lain. Jadi bukan doktrin semata seperti “kamu harus
rapikan barang!” tanpa pemberian pemahaman kenapa dan apa konsekuensi dari
barang yang tidak rapi. Begitu terus usaha saya, tapi dia belum bisa merapikan
barangnya sampai kejadian tadi malam itu. Alhamdulillah,
Nak, kamu sudah semakin pintar dan mulai belajar melakukan hal-hal sederhana dengan
mandiri.
Saya
tidak tahu, apakah nanti atau besok setelah menulis, menggambar atau bermain
balon dia akan masih merapikan barangnya. Barangkali tidak, barangkali sudah
konsisten, atau mungkin tergantung mood-nya.
Hanya saja, yang (seharusnya) selalu saya ingat, saya harus tetap mendorongnya
untuk merapikan barang-barangnya, bersabar jika dia tidak mendengar instruksi
saya, dan terus memberi contoh di depan matanya. Iya kan, ya?
***
Saya
bukan dr. Maria Montessori yang memiliki kebaikan untuk anak-anak di seluruh
dunia, dan tidak juga perlu menjadi dia yang harus kehilangan seluruh momen
dengan anak kandung sendiri untuk dapat menumbuhkan ide dan kemauan bermanfaat
bagi orang lain. Saya kini bekerja, ayah Abdullah sedang sekolah di negeri yang
jauh, tidak apa-apa kan kalau dengan perasaan egois disertai
keterbatasan-keterbatasan itu saya tetap mengharapkan baby A tumbuh penuh cinta dan tetap terpenuhi hak-haknya sebagai
anak yang bahagia dari kami, orang tuanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar