Kamis, 24 Desember 2020

Menjadi Ibu Itu…

 

Hari ini, saya bangun pagi dengan keadaan loyo. Beberapa hari ke depan, insya Allah, saya akan melewati satu lagi fase paling penting dalam hidup saya sebagai seorang ibu. Harusnya dan idealnya, saya sudah ada di jalan di depan rumah, seperti kemarin pagi, berjalan-jalan bersama Abdullah. Tapi badan dan semangat saya, terasa lowbat.

 

Tadi malam, saya tidur lebih awal karena badan sudah tidak bisa diajak kompromi. Abdullah? Main sama ayahnya. Dia juga tidur dalam ayunan dengan bantuan tangan sang ayah. Sesuatu yang jarang terjadi, karena biasanya dia maunya tidur sama ibunya.

 

Akibat main dan dijaga ayahnya semalam, well, bisa ditebak, rumah berantakan. Sepasang bantal guling Abdullah bagai habis dihempas gelombang bersama dengan segambreng mainan legonya. Saya yang terbangun pagi ini, mendapati kehancuran itu, semakin loyo.

 

Setelah shalat Subuh, saya kembali melekatkan punggung saya di tempat tidur. Tapi yah, dasar kehidupan mamak-mamak, belum sempat terpejam, anak sudah bangun. Dengan segala macam remah-remah keinginan, mau dibikinin perahulah pagi-pagi, mata saya mustahil terpejam lagi. Mo nangis rasanya…

 

Padahal, sedikit saja, sedikit saja loh Nak, Ibu mau tiduran biar badannya enakan. Hiks.

 

Akhirnya, dengan merasa terpaksa, saya bangun. Setelah Abdullah anteng bersama legonya, saya mulai bekerja dengan membereskan perintilan yang tidak pada tempatnya, termasuk alat shalat saya sehabis Subuhan juga belum saya rapikan tadi. Ketika tangan saya tiba di meja kerja saya dan suami, merapikan pulpen dan kertas-kertas bekas prakarya Abdullah, saya mendapati buku tulis lusuh saya.

 

Sebuah buku lama, yang pernah saya sayang-sayang ketika kuliah di Semarang dulu. Beberapa pekan lalu, ketika saya men-declutter buku-buku dan kertas-kertas bekas di lemari buku, saya hendak membuangnya juga. Tapi, entah bagaimana, saya tergoda juga mengambilnya lagi dari tumpukan buku yang sudah hendak ditimbang dan dijual, lalu menyimpannya di atas meja kerja saya.

 


Di depan buku itu, sebuah sticky note berwarna hijau lusuh di antara kumpulan sticky notes yang lain, berhasil mengubah mood saya yang loyo-loyo. Kalimat di dalamnya bertuliskan:

            

“menjadi manusia, berkonsekuensi untuk tidak pernah berhenti belajar dan berjuang.”

 

Jleb! Kalimat itu adalah kalimat yang saya tulis sendiri, dari batok kepala saya sendiri, beberapa tahun silam. Kalimat tanpa nama di ujungnya, yang artinya saya tidak mengutipnya dari siapa-siapa. Mungkin, di masa itu, saya sedang sadar sesadar-sadarnya diri, tugas kehambaan saya. Mungkin saat itu, saya sedang berada pada sebuah momen kontemplasi dan berhasil menuliskan sebuah kalimat sebijak itu.

 

Kalimat, yang di masa lalu menjadi pegangan saya untuk tidak boleh loyo dalam belajar di perantauan. Kini, kalimat itu, masih juga maknyus, meskipun saat ini saya tidak lagi seorang gadis yang merantau untuk sekolah.

 

Sekarang, saya seorang ibu, yang mendapati kekacauan di pagi hari akibat ulah anak dan suaminya yang habis main semalam. Pada detik ini, ketika saya mendapati tulisan lama itu, saya masih harus tetap belajar dan berjuang. Ya, saya masih harus melakukannya.

 

Belajar bukan semata dari buku-buku dan ucapan para dosen, tapi belajar bisa juga dari masalah-masalah sehari-hari yang saya hadapi sebagai istri dan ibu. Belajar bersabar ketika rumah tidak rapi. Belajar legowo ketika suami kecapekan habis begadang menidurkan anak plus kerja tengah malam. Belajar dan belajar… perjalanan belajar dan berjuang saya tidak berhenti hanya karena saya telah memakai toga di Semarang.

 

Pelajaran yang saya cecap pada hari ini adalah, well, saya kini seorang ibu. Seorang perempuan dalam rumah yang ketika saya loyo, benar tidak ada hubungannya dengan nilai di rapor, tapi amat memengaruhi kondisi seisi rumah saya. Saya tahu, dampak perjuangan saya pagi ini tidak bisa mengguncang dunia atau membawa saya pada sebuah panggung pencapaian sebagai seorang manusia. Tapi saya juga tahu, kalau saya menuruti hawa nafsu saya untuk rebahan, memilih menyudutkan suami agar dia yang bangun menemani anak saya bermain, mungkin saya akan mendapati rumah dan perasaan saya kacau seharian ini. Setelah berjuang melawan loyo-loyo ini, saya sudah cukup bahagia bisa melewatinya dan bahkan sampai berhasil duduk beberapa puluh menit di meja kerja untuk sekadar menulis di blog ini, tentang ini.

 

Terima kasih, Andis. Pagi ini, kamu sudah berjuang dan belajar menjadi ibu dan istri.

Terima kasih, Andis. Pagi ini, kamu tidak cengeng dengan mengutuk keadaan dan memilih membereskan rumahmu.

Kamu hebat, Andis. Kamu hebat!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar