Ini
bukan iman, sebagaimana dendangan nasyid Rayhan, bahwa ia tidak dapat
diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya yang meskipun dia adalah seorang anak
yang berbakti. Iman adalah pilihan dan tanggung jawab masing-masing individu
kepada penciptanya.
Ini
soal lain. Ini perihal sulitnya sang buah hati makan. Ini juga bukan warisan
orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, yang kedua ini adalah tanggung jawab
orang tua sepenuhnya kepada si anak untuk mengasupinya makanan halal dan baik.
Hari
Ahad, 23 Desember 2018, dr Apin, seorang dokter spesialis anak menjawab
keraguan saya soal apakah pola makan anak saya yang saya anggap susah adalah
warisan dari ayahnya. Menurut ibu mertua, ayahnya semasa kecil lebih susah lagi
makannya dan saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah memang itu adalah bagian dari
interaksi genetika? Tapi tidak, tegas dokter Apin. Tidak ada satu pun
penelitian yang membuktikannya. Yang ada, kalau ayahnya yang sekarang sudah
jadi bapak, ogah-ogahan makan di depan anaknya, nah bisa jadi itu jadi contoh
bagi si anak sehingga si anak pun juga jadi ogah makan.
Itu
berarti, segala yang terjadi pada anak bayi kita, baik buruknya asupannya,
adalah lebih banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya dalam pemberian
makan. Maka keluhan saya tentang sulitnya bayi kami makan, sempurna adalah
keluhan yang datang dan untuk diri saya sendiri sebagai orang tuanya. Lempar batu
untuk diri sendiri.
Hal
menarik dari paparan dokter Apin, menanggapi pertanyaan saya soal anak yang
susah makan adalah pertanyaan baliknya kepada saya, apakah benar anaknya susah
makan atau hanya tidak mau makan nasi? Jangan sampai, lanjutnya, anak kita
sebenarnya doyan kentang tapi kita paksa makan nasi sehingga kita cap dia susah
makan.
Jleb,
jleb, jleb!
Tiga
bulan ini, makanan bayi kami memang lebih banyak disuguhkan dengan menu nasi
sebagai sumber karbohidratnya, dan faktanya dia memang bosanan anaknya. Kalau
hari ini makan nasi, tiga hari lagi harus diganti dengan kentang, dan
selanjutnya ganti lagi dengan makaroni dan seterusnya. Tapi seringnya saya malah
malas keluar mencari sumber karbohidrat lain untuknya. Akhirnya, saya
menawarkan seadanya, apa saja yang tersedia di meja makan kami.
Waktu
di Belanda, makanan bayi kami lebih variatif dan hanya ada saya dan ayahnya
sebagai penjaga gawang asupan gizi anak kami. Meskipun memang tidak selahap
sebayanya, tapi bayi kami tetap makan. Kondisi tubuhnya pun sehat dan
berdasarkan pemeriksaan dokter, pertumbuhannya baik-baik saja, alhamdulillah.
Tiga
bulan tinggal di Indonesia, kepala saya pusing juga dinyanyikan hampir setiap
hari oleh keluarga besar kami bahwa anak saya susah makan. Padahal saya tahu,
anak yang kelihatannya susah makan pun, tidak boleh diucapkan kepadanya bahwa
dia susah makan. Harusnya tetap diucapkan kalimat-kalimat positif agar si anak
mau makan. Lah gimana, semua bilang “dia susah makan”. Haruskah kuganti paspor
jadi warga negara Belanda?
Hidup
di Indonesia, kata dokter Apin, memang harus banyak sabar dalam mendampingi
tumbuh kembang anak. Sabar pada dua hal: sabar terhadap anak dan sabar terhadap
orang-orang sekitar. Misalnya, si mama sudah tahu MSG itu tidak baik, tapi sama
tante/om/kakek/nenek/tetangga malah ditawari krupuk ber-MSG tanpa sepengetahuan
mama. Saat ditegur, malah mama dimarahi, “untung anakmu mau makan ini, kalau
tidak, dia mau makan apalagi”. Haduh pyusing pala mama. Ini kisah nyata loh.
Curhat seorang mama di seminar dokter Apin yang duduk tepat di sebelah saya.
Nah,
kembali lagi, karena anak sepenuhnya tanggung jawab kedua orang tuanya, maka
upaya maksimal seharusnya dikerahkan untuk proses tumbuh kembangnya. Dan yang
saya suka dari penjelasan dokter Apin soal proses memberi makan anak adalah
kebijaksanaannya untuk tidak memaksakan ‘yang ideal’. Misalnya, kita tahu kalau
anak harusnya duduk di kursi makannya bersama orang tua ketika jam makan tiba,
tapi realitanya, anak malah lari keliling rumah sambil ibunya keringatan demi
menyuapinya satu dua suap nasi. Tidak apa-apa, kata si dokter. Sepanjang si ibu
masih kuat berlari, silakan saja disuap sambil lari-lari. Jika kita belum mampu
melakukan ‘yang ideal’, tidak apa-apa kita melakukan semampu kita sepanjang
anak dapat terjamin bahwa asupannya terpenuhi. Pelan-pelan, nanti anak akan
belajar untuk makan di kursi. Mungkin bukan sekarang. Mungkin nanti ketika dia
sudah lebih besar.
Alhamdulillah, saya
kala itu langsung merasa dapat tim hore. Setiap kali menyuapi bayi kami makan
sambil kejar-kejaran, saya selalu dihantui perasaan bersalah, apakah saya gagal
mendampingi anak saya dalam proses makannya? Mengingat, di Belanda, orang-orang
sangat patuh pada budaya makan di meja bersama. Saya ingat sekali, dokter di
sana mewanti-wanti saya agar anak tidak makan sambil lari-lari. Anak harus
makan dengan rapi bersama orang tuanya.
Well, tapi bukan berarti
semua jadi dilonggarkan. Contohnya nih, memberi makan anak dengan hadiah, itu
amat tidak boleh. Kenapa? Kata dokter Apin, anak tidak akan belajar mengenali
rasa laparnya jika dia makan karena paksaan atau ada sesuatu yang diinginkannya
setelah makan. Ini bisa jadi masalah untuk pertumbuhannya.
Setelah
mengikuti seminar ini, tiga hari setelahnya saya langsung ke puskesmas dekat
rumah, meminta Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk bayi kami. Sebenarnya
ada aplikasi PrimaKU yang bisa dipasang di HP pintar, sebagai pengganti buku
KIA, tapi untuk sementara, saya lebih memilih yang buku KIA sekalian bisa ke
puskesmas mengecek rutin pertumbuhan bayi kami. Saya pun lega setelah menimbang
dan mengukur tinggi dan lingkar kepala anak kami, bahwa dia, alhamdulillah, tumbuh normal dan sehat.
Mengikuti
seminar dokter Apin membuka mata saya akan banyaknya barisan ibu-ibu yang sudah
melek literasi kesehatan bagi anaknya. Hebatnya lagi, bapak-bapak juga banyak
yang ikutan. Sungguh menjadi ibu dan ayah adalah proses belajar yang panjang.
Saya
juga merasa surprise, panitia
menyediakan ruang khusus untuk anak lengkap dengan penjaganya sehingga para
orang tua dapat mengikuti seminar dengan nyaman tanpa gelisah meninggalkan
anaknya di rumah. Saya jadi ingat, di Belanda, kalau mengikuti kursus santai
bahasa Inggris, saya diperbolehkan membawa anak, dan kami berkumpul di tempat
yang selalu ada pojok bermain untuk anak-anak. Maka saya beri lima bintang
untuk para panitia yang sudah bekerja keras demi terlaksananya seminar ini. Barakallahu fiykum.
Terima kasih testimoninya ibu.
BalasHapusSehat selalu membersamai anak-anak..
Semoga berjodoh kembali di kelas edukasi kami. Aamin
Ya Bu... doa yang sama ya :)
HapusTerima kasih atas apresiasinya. Boleh saya share di akun medsos saya?
BalasHapusSaya yang terima kasih, dok. Silakan, semoga manfaat.
HapusMantap ...bermanfaat sekali
BalasHapusAamiin. Terima kasih.
Hapus