“Dia
sudah banyak maunya. Sudah bisa pilih-pilih mainan sendiri. Dia juga sudah bisa
menolak hal yang tidak disukainya dan mengerti bahwa kata no! yang kerap diucapkanya adalah kata untuk sebuah penolakan.”
Demikianlah kira-kira balasan pesan singkat melalui media WA ketika seorang
teman di Groningen bertanya tentang kabar anak saya, bayi A.
“Oh
bagus, itu artinya dia tambah pintar. Dengan adanya keinginan, itu menandakan bahwa
dia sudah jadi manusia seutuhnya”, jawab si teman. Lalu saya pun luluh dan
terharu.
Kenapa
ya, saya tidak berpikir positif begitu? Saya malah cenderung merasa ribet
ketika anak saya telah bertumbuh diiringi dengan keinginan dan hajat yang kian
meningkat. Sudah terbayang kerempongan di sana-sini untuk meladeni
keinginannya. Padahal benar kata si teman tadi, yang adalah lulusan sarjana
psikologi, bahwa munculnya kemauan-kemauan sang anak adalah proses dari tumbuh
kembangnya. Seharusnya disyukuri dan didukung ke arah-arah yang positif. Iya
kan?
Pendidikan
di dalam rumah, bukankah harusnya menempatkan sang anak juga sebagai subjek?
Yang dengan itu, kita sebagai orang tua menghargai keinginan-keinginannya dan
bukannya malah memaksakan keinginan-keinginan kita saja kepadanya. Pendidikan
yang berakar dari lingkugan keluarga, bukankah harusnya menanamkan nilai
egaliter sejak dini? Yang dengan itu, menghitung dan menganggap keinginan sang
anak, bukannya malah menyepelekannya dengan dalih “kan dia masih kecil”.
Rasulullah
sendiri, amat menghargai anak-anak. Suatu ketika beliau sedang shalat mengimami
para jamaah. Ketika sujud, para sahabat merasa heran karena beliau tidak juga
memberi aba-aba untuk duduk di antara dua sujud. Lalu, seorang sahabat bernama
Ubay memutuskan bangkit dari sujudnya, kemudian mendapati seorang bocah di pundak
Rasulullah dan akhirnya sang sahabat sujud kembali. Setelah rampung shalat
jamaah itu, ditanyalah Rasulullah, “Engkau telah memanjangkan sujudmu, ya Rasul
Allah. Kami mengira telah terjadi sesuatu padamu ataukah telah turun wahyu
kepadamu saat itu.”
“Tidak
benar semua itu. Cucuku (Hasan dan Husain) naik di atas punggungku. Karenanya,
aku tidak ingin segera (menurunkannya) sampai dia menyelesaikan hajatnya”,
jawab Rasul agung itu.
Nah
kan. See? Hiks… Rasulullah saja,
seorang yang hidupnya amat sibuk dengan perjuangan menyebarkan kebaikan, tidak
keberatan memanjangkan sujudnya ketika ada anak kecil yang ingin bermain-main di
punggungnya, bahkan ketika saat itu dia tengah shalat. Lalu kenapa sih saya ini, mamak yang nongkrong di rumah, suka
ribet sendiri meladeni anak semata wayangnya. Hiksss…
Malam
ini, ketika saya menulis tulisan ini, bayi A sedang tidur lelap. Sebelum tidur,
sempat terjadi drama yang membuat bayi A menangis sedih. Pasalnya, si mamak
mengambil paksa sikat gigi bayi A ketika dia masih ingin menyikat giginya dan si
mamak merasa benar sendiri dengan berdalih sudah waktunya tidur dan waktu sikat
gigi sudah habis. Padahal tidak ada susahnya memberi waktu bayi A sedikit lagi
dan membiarkan dia menyelesaikan hajatnya. Padahal apa salahnya bersabar
menunggu sebentar si bayi A yang sedang bahagia menyikat giginya. #MamakMenyesal
Karena
kepikiran sama kejadian itu dan merasa bersalah, sehabis menidurkan bayi A,
langsung ambil buku “Cara Nabi Menyiapkan Generasi” karya Syaikh Jamal Abdurrahman
(terima kasih pak suami sudah belikan buku ini). Langsung tertohok-tohok baca
isinya, terutama ketika baca kisah nabi yang pas sujud lama tadi, demi
menunaikan hajat sang cucu. Ada juga kisah ketika beliau memimpin shalat
jamaah, lalu mempercepat shalatnya ketika mendengar ada bayi yang menangis.
Sumber : Kredit Pribadi |
Teringat
peristiwa dua hari lalu, ketika bayi A menangis ingin menyusu dan saya
buru-buru mau shalat lalu ditegur sama mama dan tante di rumah. “Susui dulu anakmu, baru
shalat. Tidak sah shalatmu jika kamu membiarkan anakmu menangis begitu.”
Ternyata memang benar, bahkan nabi pun menyegerakan untuk menyelesaikan shalatnya
ketika ada bayi menangis karena khawatir di antara jamaahnya ada ibu sang bayi yang sedang menangis.
Masya Allah, allahumma shalli ‘ala
sayyidina Muhammad. Sungguh engkau mulia dan paling pantas menjadi panutan
kami dalam setiap tindak-tanduk, ya Rasul kami, Muhammad bin Abdullah.
Well, saya mungkin belum
mampu dikenang sebagai ibu penyabar yang mampu mengerti dan memahami keinginan
anak bayinya sebagaimana akhlak Rasul pada cucu-cucunya. Setidak-tidaknya,
ketika suatu waktu bayi A membaca tulisan ini, dia tahu bahwa saya selalu
berusaha untuk memantaskan diri menjadi ibu terbaik baginya, dengan terus
berusaha dan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sudah saya
lakukan. Ibu sayang kamu, Nak! Maaf ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar