Salah
satu hal yang justru membuat saya dihinggapi perasaan bahagia jika mengingat
bahwa saya sudah terhitung lambat melanjutkan sekolah lagi adalah anak saya
sendiri. “Nggapapa deh, belum sekolah
sekarang, mungkin memang ini justru
yang Allah pilihkan sebagai jalan paling baik buat saya sebagai ibu”, begitu
pikir saya. Mungkin justru kalau saya sekolah dengan kondisi suami juga
sekolah, apalagi jika di luar negeri dengan pressure
yang jauh lebih berat, saya akan lalai menunaikan tugas sebagai ibu.
Meksipun sekarang juga, saya belum menjadi tipikal ibu yang ideal sih, tapi paling tidak, dua hal baik
yang bisa saya berikan untuk anak saya adalah: waktu dan keberadaan. Dua hal
yang mungkin akan sangat sulit saya bagi kepadanya jika saya sibuk dengan
kewajiban-kewajiban sebagai mahasiswa.
Well, mungkin banyak ibu-ibu di
luar sana yang bisa sembari sekolah dan tetap bisa menjadi ibu yang baik bagi
anak-anak mereka, atau mungkin justru lebih baik daripada yang bisa saya
lakukan untuk anak saya. Sayangnya, saya bukan ibu yang bisa melakukan itu.
Maksud saya, setelah belajar dari sekian pengalaman kursus singkat yang saya
jalani di kampus, saya sadar tidak mampu menjalani dua peran yang meminta waktu
yang tidak bisa disambi dalam rentang waktu bersamaan. Intinya, meskipun di
awal-awal saya cukup bersedih hati karena belum bisa lanjut sekolah lagi
sebagaimana orang-orang di sekeliling saya saat ini, sekarang perasaan sudah
jauh lebih baik. Waktu memang adalah obat terbaik ya?
Bahkan,
tidak jarang saya mengucap syukur justru karena Allah beri waktu untuk bisa
mendampingi tumbuh kembang anak saya sepenuhnya. Hal yang mungkin jadi mahal
bagi ibu-ibu lain di luar sana, dan justru luang bagi saya dan anak saya. Alhamdulillah, selalu ada hikmah dan hal
baik yang dapat dipetik dari setiap kejadian, bahkan jika pun itu tidak
sebagaimana yang kita inginkan kan?
Nah,
salah satu hal positif yang langsung terasa dampaknya sejak saya mendampingi
tumbuh kembang anak saya dari dia lahir hingga sekarang adalah melihatnya suka
sekali dengan buku. Sekarang ini, kalau dia melihat buku-bukunya, dia akan
mengambilnya lalu minta dibacakan. Karena masih satu tahun dan belum bisa bicara,
dia meminta dengan cara menaruh buku di tangan salah satu dari kami, orang
tuanya, lalu menunjuk-nunjuk buku dan berkata “uuuh uhhh…!”. Maksudnya
barangkali, “bacakan itu, please!”. Hehe…
Melihat tingkah polanya seperti itu, membuat kami tertawa bahagia, tentu saja.
Dulu,
sebelum dia berusia setahun, saat bangun tidur, sering sekali terjadi dia
bangun-bangun langsung tunjuk rak lemari buku yang berada tepat di samping
tempat tidur kami. Maksud dia barangkali, “Itu Ibu, buku adek, tolong ambil dan
bacakan!”. Lucunya, pas saja yang ditunjuk jemari mungilnya adalah jejeran
buku-buku di mana saya sering meletakkan bukunya di sana. Dia baru berhenti
menunjuk-nunjuk ketika kami mengambilkan dan membacakannya.
Saat
saya menulis tulisan ini, usianya sudah menginjak 14 bulan kurang 3 hari.
Sehari sebelumnya, dia menunjukkan kemampuan baru, yakni meminta dibacakan oleh
orang lain selain orang tuanya. Kejadiannya kira-kira pada sore hari, ketika
saya dapati dia masuk di kamar Bu Rini lalu menunjuk buku Mas Riffat (anak Bu
Rini yang berusia 5 tahun). Bu Rini adalah ibu kos kami, dan beliau memang
dekat dengan anak kami. Seisi rumah mengajarinya memanggil Bu Rini dengan
sebutan “bude”. Karena itu, mungkin masih wajar jika setelah orang tuanya,
beliaulah yang kemudian menjadi alternatif untuk jadi orang yang bisa diaminta agar
dibacakan buku. Meskipun dekat dengan Bu Rini, bagi saya, kemampuan anak kami
untuk secara otomatis meminta dibacakan buku selain dari dua orang tuanya, yang
memang secara sengaja mendekatkannya dengan buku, adalah satu hal yang teramat
membahagiakan. Kecil tapi membekas di ingatan saya sebagai ibu, insya Allah. Ini artinya dia sudah bisa berhubungan
dengan orang lain untuk belajar bersama buku. Pengalamannya dibacakan buku-buku
sudah mulai meluas, di luar lingakaran keluarga utama. Alhamdulillah.
Sejak
usia satu tahunnya pula, saya sudah dua kali membawanya ke perpustakaan umum di
dekat rumah, semata untuk mengenalkannya pada perpustakaan. Di lain waktu, saya
ingin menulis tentang perpustakaan yang ada di negara Belanda ini (doakan ya
semoga bisa benar-benar ditulis).
Sebenarnya,
sebelum usia satu tahun pun, beberapa kali saya sudah membawanya ke
perpustakaan secara tidak sengaja. Misalkan, saat saya mengikuti library tour dan ketika saya dan ayahnya
mendaftarkan dia sebagai anggota perpustakaan. Di negara ini, sejak bayi sudah
keluar dari perut ibunya, dia sudah boleh jadi anggota perpustakaan umum dengan
fasilitas peminjaman 25 buku nyata dan 10 buku digital sekali pinjam yang
durasinya selama empat pekan sekali peminjaman. Itu semua gratis sampai usia si
anak 18 tahun.
Kredit Pribadi : salah satu sudut perpustakaan umum untuk anak-anak |
Dua kali
kunjungan ke perpustakaan, dua kali dia menikmati suasana yang penuh dengan
buku-buku dengan aneka ragam bentuk dan tekstur yang disediakan untuk
anak-anak. Dia senang dan sumringah. Gigi-gigi putihnya kelihatan melulu gara-gara
bahagia sekali bisa ke sana. Hehe…
Kredit Pribadi : Bayi A pegang buku di perpustakaan |
Alhamdulillah, bayi A juga sekarang sudah bisa mengenal benda-benda lewat buku-buku bergambarnya. Dia
bisa menunjuk-nunjuk benda-benda yang saya atau ayahnya sebutkan. “Mana
matahari, Nak? Mana singa, Nak? Kalau Knuffie si kelinci yang mana?”. Lalu dia
akan menunjuk sambil bilang “Uuuuh, uuhhh”. “Oooooh, itu! Pintar anak ibu”,
puji saya, membesarkan hatinya.
Kredit pribadi : Buku Bayi A yang berada di atas buku ibunya |
Alhamdulillah, percakapan-percakapan
seperti itu menjadi warna yang cerah di hari-hari saya. Mungkin bayi A tidak
akan mengingat masa-masa ini, sebab masih terlalu kecil untuk dapat merekam pengalaman-pengalaman di memorinya. Jadi, apa yang saya lakukan sebenarnya untuk kebahagiaan diri saya
sendiri sebagai seorang ibu, mencipta kenangan-kenangan manis bersama bayi A,
anak saya.
Soal
membaca, saya punya sedikit tips untuk dapat meningkatkan kemampuan verbal anak
ketika orang tua membacakannya buku. Saya dapat dari artikel yang ditulis Anne
C. Hargrave dan Monique Sénéchal (2000) yang dipublikasikan di jurnal, ‘Early Childhood Research Quarterly’. Menurut
penelitian tersebut, anak-anak akan lebih cepat merekam kata-kata dan kemampuan
verbalnya pun meningkat ketika dibacakan dengan cara membaca dialogis (dialogic reading) dibanding membaca
seperti biasa (regular reading). Apa
sih membaca dialogis itu?
Program
membaca dialogis ini, pertama-tama dikembangkan oleh seorang peneliti bernama
Whitehurst bersama para koleganya. Programnya punya tiga prinsip utama. Apa
saja?
Pertama,
mendorong anak untuk berpartisipasi. Orang tua harus kreatif mendorong anaknya
untuk turut serta sebagai peserta belajar, bukan cuma penerima materi. Menjadi
peserta artinya si anak juga turut aktif berperan ketika orang tuanya
membacakan buku, bukannya jadi pasif. Hal yang bisa dilakukan orang tua untuk
mendorong anaknya adalah memberi pertanyaan sederhana seperti “mana buku,
Nak?”. Untuk usia setahun, anak-anak sudah bisa menunjuk, dengan orang tua
mencontohkan terlebih dahulu. Jangan langsung berharap anak tahu setelah sekali
mencontohkan ya! Anak suka dengan pengulangan. Beriring kemampuan anak menerima
dan mencerna bahan bacaan, orang tua sudah bisa meningkatkan pertanyaan dengan,
“apa nama binatang ini, Nak?”, misalnya. Sampai nanti sudah bisa ditanya dengan
pertanyaan yang butuh jawaban yang lebih panjang seperti: “kenapa ini kucingnya
nangis, Nak?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lebih baik dibanding
pertanyaan yang hanya butuh jawaban “yes-no”
saja. Pertanyaan-pertanyaan aktif seperti itu juga akan meningkatkan kemampuan
berbahasa anak, sebab dapat melatihnya berbicara lebih banyak ketika menjawab
pertanyaan yang diajukan orang tuanya.
Kedua, berikan
tanggapan (feedback). Tanggapan ini
sebagai tanda bahwa kita, orang tua, memperhatikan dengan baik si anak.
Tanggapannya bisa berupa memuji ketika dia bisa menjawab dengan benar,
menambahkan informasi-informasi tambahan ketika dia menjawab secara singkat,
atau mengoreksi kesalahannya.
Ketiga,
menyesuaikan kemampuan anak membaca dari waktu ke waktu. Anak yang sudah mahir
menunjuk-nunjuk benda, bisa diajarkan untuk menyebutkan sendiri benda-benda
yang ditunjuk. Dengan ini, kemampuan anak akan bertambah seiring waktu.
Saya
juga masih mempraktikkannya. Kadang juga, dalam sehari kelupaan membacakan anak
kami buku. Tapi sepanjang kami mampu, kami mengusahakan anak kami dekat dengan
buku. Sekarang, ketika kami keluar kota dengan perjalanan jauh, kami membekali
bayi A dengan buku untuk dibaca di kereta atau saat sedang ikut pengajian.
Sebenarnya,
usaha mendakatkan anak kami dengan buku sudah kami lakukan sejak awal-awal
bulan kelahirannya. Dimulai dengan buku-buku yang bisa digigit dan diremas
untuk merangsang motorik halusnya. Bahkan, sejak dalam kandungan, meski saya
bukan mahasiswa yang wajib memegang buku, saya biasakan membaca sambil memegang
perut atau mengeraskan suara agar dia mendengarnya di dalam janin. Usaha-usaha
semacam ini terus kami lakukan sebagai orang tua, untuk memenuhi haknya sebagai
seorang anak. Semoga kami bertiga bisa tumbuh bersama. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar