Sudah
berbulan-bulan setelah saya membeli novel Animal
Farm, George Orwell, dan saya belum juga membacanya (waktu itu saya
membelinya lewat daring). Sampai tepat 10 hari lalu, saya ke toko buku, niatnya
menemani teman, malah saya ikut membeli buku (adalah hal yang sulit bagi saya menahan keinginan berbelanja saat ke
toko buku, kecuali kalau di dompet memang tidak ada uang yang cukup untuk itu).
Di sana, saya menemukan lagi novel Orwell yang terbit pertama kali tahun 1945
itu, tapi dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda. Kali ini,
tampilannya lebih lembut, untuk tidak mengatakan tampak seperti buku cerita
anak. Pegawai yang bertugas menyampul buku di sana bahkan bertanya, “buku seri
anak-anaknya juga mau disampul Mba?”. Barangkali tidak ada salahnya juga kalau ada orang tua yang menyodorkan bacaan ini kepada anaknya. Isinya seperti kisah fabel
yang sering ditujukan untuk anak-anak. Mudah dimengerti. Dan lagian, novel
kedua Orwell ini tidak tanggung-tanggung menggelontorkan nilai-nilai dasar
kehidupan: kesetaraan, keadilan dan kesetiaan. Bukankah nila-nilai seperti ini
yang seharusnya ditanamkan di kepala manusia sejak masih kanak? Untuk hal ini, saya
mengagumi kemampuan Orwell mengangkat persoalan manusia dewasa menjadi sebuah
alegori yang tampak seperti cerita anak.
Sebelum
memutuskan membeli Animal Farm versi
terjemahan baru itu, saya semacam dihantui perasaan bersalah, tidak kah saya berlaku
boros dengan membeli buku yang sama, terlebih mengingat buku yang satunya saja belum terbaca? Setelah menimbang, dengan berbagai dalih dan pembenaran, pada akhirnya saya memutuskan untuk membelinya, tentu dengan janji, saya harus membacanya
pada hari itu juga.
Tiba pada halaman pertama masing-masing buku terjemahan versi 1 dan 2, keputusan
saya untuk membaca jatuh pada terjemahan versi 1−terbitan Titah Surga yang saya
beli daring itu. Alasan pertama, Titah Surga menyodorkan beberapa informasi
yang tidak disediakan buku terjemahan versi 2, informasi tersebut ada pada
bagian Pengantar Penulis, yang di dalamnya ada alasan kenapa Orwell menulis
alegori semacam ini ke dalam novel. Keputusan Orwell untuk menulis cerita pemberontakan binatang atas tirani manusia bermula saat suatu ketika dia melihat seorang anak laki-laki menunggangi dan mencambuk bokong binatang piaraannya. Anak tadi menyuruh binatangnya berjalan, membawanya berkeliling di sekitar perumahan, tapi binatang tersebut tampak tidak ingin melakukannya. Pemandangan itu, bagi Orwell, mengingatkannya pada penindasan yang dilakukan kaum borjuasi terhadap kaum proletar. Bukankah kelakuan anak lelaki tadi, menguasai hingga memperturutkan keinginannya kepada binatangnya, seperti kelakuan para pemodal yang menguasai dan menguras kerja buruh? Orwell berkesimpulan, beberapa manusia ternyata memperlakukan manusia lainnya tak ubahnya binatang piaraan. Begitulah sebagian informasi yang saya dapatkan pada kata pengantar Orwell. Alasan kedua memilih terjemahan terbitan Titah Surga adalah, dari pembacaan awal pada
masing-masing halaman pertama tadi, saya merasa cocok menggunakan kaca mata
penerjemah Titah Surga dibanding versi terjemahan 2. Cara menerjemahkannya lebih sesuai dengan selera saya. Menggunakan jasa penerjemah sama dengan meminjam kaca mata mereka (saya pernah
menulis esai Meminjam Kaca Mata Penerjemah di sini).
Setelah
menyelesaikan hingga halaman 150 sebagai halaman akhir, hasilnya cukup
memuaskan. Untuk sementara, standar ukuran kaca mata tim penerjemah Titah Surga
cocok saya gunakan. Saya tidak tahu apakah standar itu akan berubah setelah
membaca terjemahan versi 2 nanti, atau tidak. Jelasnya, saya masih ingin
membaca karya satire milik Orwell ini−yang berikutnya, saya mungkin akan meminjam kaca
mata penerjemah versi 2.
Sampul berwarna putih kekuning-kuningan adalah terbitan Titah Surga |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar