Sabtu, 14 Maret 2015

Memilih Kaca Mata Penerjemah saat Membaca Orwell


Sudah berbulan-bulan setelah saya membeli novel Animal Farm, George Orwell, dan saya belum juga membacanya (waktu itu saya membelinya lewat daring). Sampai tepat 10 hari lalu, saya ke toko buku, niatnya menemani teman, malah saya ikut membeli buku (adalah hal yang sulit bagi saya menahan keinginan berbelanja saat ke toko buku, kecuali kalau di dompet memang tidak ada uang yang cukup untuk itu). Di sana, saya menemukan lagi novel Orwell yang terbit pertama kali tahun 1945 itu, tapi dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda. Kali ini, tampilannya lebih lembut, untuk tidak mengatakan tampak seperti buku cerita anak. Pegawai yang bertugas menyampul buku di sana bahkan bertanya, “buku seri anak-anaknya juga mau disampul Mba?”. Barangkali tidak ada salahnya juga kalau ada orang tua yang menyodorkan bacaan ini kepada anaknya. Isinya seperti kisah fabel yang sering ditujukan untuk anak-anak. Mudah dimengerti. Dan lagian, novel kedua Orwell ini tidak tanggung-tanggung menggelontorkan nilai-nilai dasar kehidupan: kesetaraan, keadilan dan kesetiaan. Bukankah nila-nilai seperti ini yang seharusnya ditanamkan di kepala manusia sejak masih kanak? Untuk hal ini, saya mengagumi kemampuan Orwell mengangkat persoalan manusia dewasa menjadi sebuah alegori yang tampak seperti cerita anak.

Sebelum memutuskan membeli Animal Farm versi terjemahan baru itu, saya semacam dihantui perasaan bersalah, tidak kah saya berlaku boros dengan membeli buku yang sama, terlebih mengingat buku yang satunya saja belum terbaca? Setelah menimbang, dengan berbagai dalih dan pembenaran, pada akhirnya saya memutuskan untuk membelinya, tentu dengan janji, saya harus membacanya pada hari itu juga.

Tiba pada halaman pertama masing-masing buku terjemahan versi 1 dan 2, keputusan saya untuk membaca jatuh pada terjemahan versi 1−terbitan Titah Surga yang saya beli daring itu. Alasan pertama, Titah Surga menyodorkan beberapa informasi yang tidak disediakan buku terjemahan versi 2, informasi tersebut ada pada bagian Pengantar Penulis, yang di dalamnya ada alasan kenapa Orwell menulis alegori semacam ini ke dalam novel. Keputusan Orwell untuk menulis cerita pemberontakan binatang atas tirani manusia bermula saat suatu ketika dia melihat seorang anak laki-laki menunggangi dan mencambuk bokong binatang piaraannya. Anak tadi menyuruh binatangnya berjalan, membawanya berkeliling di sekitar perumahan, tapi binatang tersebut tampak tidak ingin melakukannya. Pemandangan itu, bagi Orwell, mengingatkannya pada penindasan yang dilakukan kaum borjuasi terhadap kaum proletar. Bukankah kelakuan anak lelaki tadi, menguasai hingga memperturutkan keinginannya kepada binatangnya, seperti kelakuan para pemodal yang menguasai dan menguras kerja buruh? Orwell berkesimpulan, beberapa manusia ternyata memperlakukan manusia lainnya tak ubahnya binatang piaraan. Begitulah sebagian informasi yang saya dapatkan pada kata pengantar Orwell. Alasan kedua memilih terjemahan terbitan Titah Surga adalah, dari pembacaan awal pada masing-masing halaman pertama tadi, saya merasa cocok menggunakan kaca mata penerjemah Titah Surga dibanding versi terjemahan 2. Cara menerjemahkannya lebih sesuai dengan selera saya. Menggunakan jasa penerjemah sama dengan meminjam kaca mata mereka (saya pernah menulis esai Meminjam Kaca Mata Penerjemah di sini).


Setelah menyelesaikan hingga halaman 150 sebagai halaman akhir, hasilnya cukup memuaskan. Untuk sementara, standar ukuran kaca mata tim penerjemah Titah Surga cocok saya gunakan. Saya tidak tahu apakah standar itu akan berubah setelah membaca terjemahan versi 2 nanti, atau tidak. Jelasnya, saya masih ingin membaca karya satire milik Orwell ini−yang berikutnya, saya mungkin akan meminjam kaca mata penerjemah versi 2.

Sampul berwarna putih kekuning-kuningan adalah terbitan Titah Surga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar