Sabtu, 07 Maret 2015

Pemuda yang Memilih Mengasingkan Diri




Apa yang ada di dalam benak pemuda cerdas & sarjana cum laude ketika dia meninggalkan kehidupannya; keluarga yang mencintainya, lantas memilih mengasingkan diri ke alam liar? Mengapa dia meninggalkan kenyamanan peradaban dan semua atribut duniawi, dengan menyumbangkan semua tabungannya, membakar sisa uang tunai yang dia miliki, serta meninggalkan mobil kesayangannya di tengah hutan begitu saja?

Demikian potongan sinopsis di sampul belakang karya Jon Krakauer, ‘Into the Wild’, diangkat dari kisah nyata seorang pemuda bernama Christopher McCandless−juga telah diproduksi ke layar lebar dengan judul yang sama. Pemuda itu, tidak seperti sosok Kafka Tamura yang hanya ada dalam imajinasi Haruki Murakami saat menulis “Kafka on the Shore”. Meski kisahnya mirip: pemuda yang lari dari rumah pada usia muda. Namun pemuda dalam karya Krakauer itu benar-benar meninggal sendirian. Di dalam hutan. Tanpa sesiapa di sampingnya.

***

Sebelum menulis tulisan ini, saya membaca beberapa kisah orang tua di panti jompo yang ada di beberapa titik Pulau Jawa pada laman daring pindai.org. Artikel itu ditulis oleh Rusdi Mathari−seorang wartawan dan penulis lepas. Dibuka dengan beberapa kalimat yang duh-ngilunya. “Masa tua seperti apa yang Anda harapkan kelak: hidup bersama anak cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga atau menjalaninya di sebuah panti jompo?”

Pemuda di novel Krakauer tentu saja tidak membaca artikel tentang kisah oma-opa di panti yang saya baca itu. Tapi mari kita coba bayangkan kejadian lain. Jika pemuda itu sempat mengunjungi salah satu panti jompo di kotanya sebelum memutuskan untuk lari ke hutan, misalnya. Mungkinkah ia akan tetap dengan pemikiran yang sama, pergi ke hutan untuk hidup dan kemudian meninggal sendirian?

Konon, dia meninggalkan dunianya karena menganggap bahwa kebahagiaan dapat diraih hanya dengan hidup seorang diri. Dipikirnya, manusia dapat menyatu dengan alam liar, hidup tanpa bantuan−dan gangguan−dari manusia lain. Sebuah alasan yang di akhir hidupnya, disesalinya pula. Pemuda yang mati di tengah hutan itu, akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan yang dinikmati sendirian, sesungguhnya bukan lah kebahagiaan. Persis seperti maksud yang barangkali ingin disampaikannya−yang oleh sutradara diletakkan dalam narasi pembuka film yang mengabadikan kisahnya−kebahagiaan hanya nyata bila dibagi; kebahagiaan yang selaras dengan orang-orang terdekat kita. Kalimat tersebut ditulis pada buku catatan menjelang kematiannya. Tidak kurang dan tidak lebih, dia menulis “kebahagiaan hanya nyata bila dibagi”.

Pula, barangkali kebahagiaan itu lah yang sebenarnya lenyap di masa tua beberapa orang yang diasingkan di panti jompo. Sebagaimana dalam artikel Rusdi, sebagian besar mereka dipaksa menerima keputusan sanak keluarganya untuk dirawat di panti. Dan kita tahu, siapa pula yang mau menghabiskan masa tuanya di panti jompo?

Iya, mereka kesepian. Di masa-masa usia yang semakin mendekati kematian, para orang tua itu hidup dalam pengasingan. Dalam hal ini, kita tak hanya tak menyediakan mereka segala kebahagiaan sebagai bentuk pengkhidmatan untuk membalas jasa-jasa keduanya, tapi bahkan jika mereka hanya ingin ruang untuk menikmati masa-masa tua di lingkungan yang menyenangkan bersama anak-anak yang telah mereka besarkan dengan susah payah, kadang tanpa rasa bersalah, kita memupuskan keinginan-keinginan itu.

Memang benar apa yang dikatakan Gringo, seorang tokoh utama dalam cerita Carlos Fuentes, Old Gringo, 'Harper and Row’ bahwa adalah hak semua orang untuk mati. Persoalannya adalah, apakah juga hak semua orang untuk memilih mati dengan sendirian atau dengan orang-orang yang dikasihinya di sampingnya?

Saya tidak bermaksud menyimpulkan bahwa kematian bisa ditunda, sehingga seorang pekerja kantoran misalnya, dapat memilih untuk tutup usia di rumah saja, ditemani sanak-keluarga tinimbang mengakhiri usia di kantor atau di jalanan yang macet saat pulang dari kantor. Tapi maksud saya, apakah para orang tua selalu punya pilihan yang sama untuk melewati masa-masa tua mereka? (ini dengan asumsi golongan orang tua yang lebih rentan berpelukan dengan kematian, sebab tentu saja yang muda tidak bisa menghindarinya jika ajal telah membuka lengannya untuk memeluk tubuh kita).

Bukankah ada banyak kisah di depan mata, setelah kedua orang tua merenta, sang anak lah yang kemudian seolah kuasa menentukan di mana orang-tuanya layak menghabiskan masa tua mereka? Bukankah tidak sedikit anak yang memilih menyerahkan kedua orang tuanya untuk dirawat di panti, seperti kisah oma-opa yang dituliskan Rusdi?

***

Sekali waktu, kakak lelaki saya berkata, “kelak, jangan tinggalkan anakmu ketika dia bertumbuh, saat dia mulai bisa memanggilmu mama”. Kini, saya jadi berpikir, mungkin sebelum itu, sebelum saya memiliki anak, dia seharusnya terlebih dahulu mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan orang tua kami di masa-masa tuanya kelak, sendirian.

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Sabtu, 07 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar