Apa
yang ada di dalam benak pemuda cerdas & sarjana cum laude ketika dia meninggalkan kehidupannya; keluarga yang
mencintainya, lantas memilih mengasingkan diri ke alam liar? Mengapa dia
meninggalkan kenyamanan peradaban dan semua atribut duniawi, dengan
menyumbangkan semua tabungannya, membakar sisa uang tunai yang dia miliki,
serta meninggalkan mobil kesayangannya di tengah hutan begitu saja?
Demikian
potongan sinopsis di sampul belakang karya Jon Krakauer, ‘Into the Wild’, diangkat dari kisah nyata seorang pemuda bernama Christopher
McCandless−juga telah diproduksi ke layar lebar dengan judul yang sama. Pemuda
itu, tidak seperti sosok Kafka Tamura yang hanya ada dalam imajinasi Haruki
Murakami saat menulis “Kafka on the
Shore”. Meski kisahnya mirip: pemuda yang lari dari rumah pada usia muda.
Namun pemuda dalam karya Krakauer itu benar-benar meninggal sendirian. Di dalam
hutan. Tanpa sesiapa di sampingnya.
***
Sebelum
menulis tulisan ini, saya membaca beberapa kisah orang tua di panti jompo yang ada di beberapa titik Pulau Jawa pada laman daring pindai.org. Artikel itu
ditulis oleh Rusdi Mathari−seorang wartawan dan penulis lepas. Dibuka dengan
beberapa kalimat yang duh-ngilunya. “Masa tua seperti apa yang Anda harapkan
kelak: hidup bersama anak cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga atau
menjalaninya di sebuah panti jompo?”
Pemuda
di novel Krakauer tentu saja tidak membaca artikel tentang kisah oma-opa di panti yang saya baca itu.
Tapi mari kita coba bayangkan kejadian lain. Jika pemuda itu sempat mengunjungi
salah satu panti jompo di kotanya sebelum memutuskan untuk lari ke hutan,
misalnya. Mungkinkah ia akan tetap dengan pemikiran yang sama, pergi ke hutan
untuk hidup dan kemudian meninggal sendirian?
Konon,
dia meninggalkan dunianya karena menganggap bahwa kebahagiaan dapat diraih
hanya dengan hidup seorang diri. Dipikirnya, manusia dapat menyatu dengan alam
liar, hidup tanpa bantuan−dan gangguan−dari manusia lain. Sebuah alasan yang di
akhir hidupnya, disesalinya pula. Pemuda yang mati di tengah hutan itu,
akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan yang dinikmati sendirian, sesungguhnya
bukan lah kebahagiaan. Persis seperti maksud yang barangkali ingin
disampaikannya−yang oleh sutradara diletakkan dalam narasi pembuka film yang
mengabadikan kisahnya−kebahagiaan hanya
nyata bila dibagi; kebahagiaan yang selaras dengan orang-orang terdekat
kita. Kalimat tersebut ditulis pada buku catatan menjelang kematiannya. Tidak
kurang dan tidak lebih, dia menulis “kebahagiaan
hanya nyata bila dibagi”.
Pula, barangkali
kebahagiaan itu lah yang sebenarnya lenyap di masa tua beberapa orang yang
diasingkan di panti jompo. Sebagaimana dalam artikel Rusdi, sebagian besar
mereka dipaksa menerima keputusan sanak keluarganya untuk dirawat di panti. Dan
kita tahu, siapa pula yang mau menghabiskan masa tuanya di panti jompo?
Iya, mereka
kesepian. Di masa-masa usia yang semakin mendekati kematian, para orang tua itu
hidup dalam pengasingan. Dalam hal ini, kita tak hanya tak menyediakan mereka
segala kebahagiaan sebagai bentuk pengkhidmatan untuk membalas jasa-jasa
keduanya, tapi bahkan jika mereka hanya ingin ruang untuk menikmati masa-masa
tua di lingkungan yang menyenangkan bersama anak-anak yang telah mereka
besarkan dengan susah payah, kadang tanpa rasa bersalah, kita memupuskan
keinginan-keinginan itu.
Memang
benar apa yang dikatakan Gringo, seorang tokoh utama dalam cerita Carlos
Fuentes, Old Gringo, 'Harper and Row’
bahwa adalah hak semua orang untuk mati.
Persoalannya adalah, apakah juga hak semua orang untuk memilih mati dengan
sendirian atau dengan orang-orang yang dikasihinya di sampingnya?
Saya
tidak bermaksud menyimpulkan bahwa kematian bisa ditunda, sehingga seorang
pekerja kantoran misalnya, dapat memilih untuk tutup usia di rumah saja,
ditemani sanak-keluarga tinimbang mengakhiri usia di kantor atau di jalanan
yang macet saat pulang dari kantor. Tapi maksud saya, apakah para orang tua
selalu punya pilihan yang sama untuk melewati masa-masa tua mereka? (ini dengan
asumsi golongan orang tua yang lebih rentan berpelukan dengan kematian, sebab
tentu saja yang muda tidak bisa menghindarinya jika ajal telah membuka
lengannya untuk memeluk tubuh kita).
Bukankah
ada banyak kisah di depan mata, setelah kedua orang tua merenta, sang anak lah
yang kemudian seolah kuasa menentukan di mana orang-tuanya layak menghabiskan
masa tua mereka? Bukankah tidak sedikit anak yang memilih menyerahkan kedua
orang tuanya untuk dirawat di panti, seperti kisah oma-opa yang dituliskan Rusdi?
***
Sekali
waktu, kakak lelaki saya berkata, “kelak,
jangan tinggalkan anakmu ketika dia bertumbuh, saat dia mulai bisa memanggilmu mama”.
Kini, saya jadi berpikir, mungkin sebelum itu, sebelum saya memiliki anak, dia
seharusnya terlebih dahulu mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan orang tua
kami di masa-masa tuanya kelak, sendirian.
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar
(Sabtu, 07 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar