Membaca
terjemahan, seperti meminjam kacamata penerjemah. Seorang penerjemah punya
latar belakang pengetahuan, kemampuan memahami kalimat, serta keluasan kosa
kata yang berbeda-beda.
Selain
itu, motivasi melakukan penerjemahan dari seorang penerjemah pun berbeda-beda.
Motif ekonomi dan motif kesenanganan, atau penggabungan keduanya, akan
memberikan dampak pada 'rasa' buku yang diterjemahkan. Karenanya, kualitas
hasil kerja mereka sangat bergantung dari kapabilitas, juga motif mereka.
Kualitas
terjemahan yang buruk secara otomatis membuat citra buruk pula dari karya yang
meski dalam bahasa aslinya adalah gemilang. Seperti yang dikatakan Ben Anderson
kepada Eka Kurniawan: terjemahan yang buruk akan memberi kesan yang buruk
terhadap karyamu.
Novel
klasik karya Kawabata cukup menarik untuk dijadikan contoh kasus. Novel dengan
judul asli 'Utsukushisa To Kanashimi To'
ini diterjemahkan dalam edisi Bahasa Inggris sebelum akhirnya diterjemahkan
dalam edisi Bahasa Indonesia. Jadi, sebelum meminjam kacamata penerjemah
Indonesia, lebih dahulu kita dipaksa menggunakan--mau tidak mau--memakai kacamata
Howart Hibbert, yang terbit dengan judul 'Beauty
and Sadness'. Novel yang terbit semacam ini, seumpama memakai kacamata
berlapis-lapis. Itu adalah risiko bagi pembaca seperti saya yang tidak
menguasai bahasa lain selain bahasa Ibu (bahasa Bugis) dan Bahasa Indonesia,
tentu.
Setelah
melalui penerjemahan yang panjang, di Indonesia, novel ini selanjutnya diterbitkan
dan diterjemahkan oleh dua penerbit dan penerjemah yang berbeda pula. Meminjam
istilah Umberto Eco, teks adalah sebuah karya yang terbuka, oleh karenanya
pemaknaan atas teks menjadi terbuka pula. Maka, semakin panjang garis
distribusi terjemahan sebuah karya, semakin lebar pula makna yang
dihasilkannya. Atau boleh dibilang, maknanya kian menganga.
Belum
lagi, latar budaya yang kemungkinan besar berbeda antara tiga pelaku utama:
penulis, penerjemah dan pembaca. Kompleksitas pemaknaan sebuah teks menjadi
lebih tinggi kadarnya saat teks itu harus dipahami oleh pembaca yang berasal
dari kebudayaan lain. Pernyataan Benny H. Hoed−peneliti karya terjemahan
Indonesia−tersebut mengukuhkan pernyataan Nord, seorang pakar di bidang
penerjemahan, bahwa proses penerjemahan adalah 'a process of intercultural communication.'
Kembali
tentang novel Kawabata, pertama kali, saya mendapatkan terjemahan tersebut
digarap oleh Asrul Sani, dengan judul Keindahan dan Kepiluan. Berselang satu
hari, di perpustakaan yang sama, saya menemukan novel itu lagi dengan frase
judul yang berbeda, Keindahan dan Kesedihan. Kali ini diterjemahkan lebih segar
oleh Sobar Hartini.
Dari
penampakan sampulnya, dengan mudah dapat dibedakan terjemahan mana yang lebih
dahulu terbit. Terlebih jika membaca isinya, karya terjemahan Asrul Sani,
sentuhan sastra lama berseliweran di mana-mana. Dalam beberapa frase, masih
dapat ditemukan ejaan lama, seperti 'tilpon' dan 'daripadanya'. Jadi, jika
hanya berkepentingan menikmati cerita Kawabata, saya merekomendasikan
terjemahan Sobar Hartini untuk Anda baca. Bahasanya lebih mudah dicerna.
Berbeda
halnya jika Anda punya kepentingan lain, meneliti jejak karya sastra dan atau
terjemahan misalnya. Atau misalnya lagi Anda penggemar karya Asrul Sani, maka
mau seberat apapun kata-katanya dicerna, Anda jelas akan lebih memilih
terjemahan karya Asrul Sani.
Singkatnya,
seorang pembaca karya terjemahan juga punya motif dan kepentingan yang
berbeda-beda pula. Persis seperti saat saya meminjam kacamata teman sekelas. Waktu
itu penglihatan saya agak bermasalah akibat kebiasaan buruk membaca tidur.
Selepas menggunakan kacamatanya, kepala saya justru sakit. Kesimpulan: saya
tidak cocok dengan kacamata itu.
Karya
terjemahan dari kacamata penerjemah akan mempengaruhi selera Anda untuk
kemudian menghukumi suatu tulisan bagus atau tidak. Secara tidak langsung, Anda
sedang menghukumi tukang penerjemahnya, cocok atau tidak dengan selera Anda.
Maka
demi untuk tidak menggunakan kacamata, saya memutuskan mengobati mata saya dengan
bantuan penjual jus depan kampus. Sesering mungkin saya membeli jus wortelnya.
Mata saya agak lebih baik. Saya bisa membaca tanpa harus repot-repot ke optik
demi untuk menguji seberapa tinggi tingkat minus-plus
yang saya butuhkan dari sebuah kacamata.
Mungkin
sama seperti kalau tak ingin menggunakan kacamata penerjemah, maka tidak ada
cara lain kecuali menguasai bahasa asli karya tersebut. Tapi tentu saja, Anda
harus lebih giat dan usaha yang diperlukan mungkin lebih lama dari sekedar
usaha saya meminum jus wortel!
***
Ngomong-ngomong
tentang penerjemahan. Tanggal 1 Nopember ini, selain adalah tanggal kelahiran
Masehi saya, salah satu penulis Komunitas Literasi Makassar hendak meluncurkan
buku puisinya, yang sependek pengetahuan saya adalah karya pertamanya yang
diterjemahkan dalam bahasa luar. Kelahiran buku tersebut, kabarnya, dirayakan
di Malaysia. Tahniah Kak Aan!
Rubrik Literasi, Koran
Tempo Makassar (Jumat, 31 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar