Jumat, 20 Maret 2015

Menulis Minimal Sebelum Tidur


Saya berhenti di halaman 44 saat membaca karya salah satu pemenang Nobel Sastra, Yasunari Kawabata, Snow Country. Tepat satu halaman sebelumnya pada novel terjemahan A.S. Laksana tersebut, Komako bercerita kepada Shimamura bahwa malam itu adalah malam ke-199 setelah terakhir keduanya bertemu. Shimamura terheran-heran. Kau menghitungnya? Tanya Shimamura kepada perempuan geisha itu. Ya, jawabnya. Tepatnya, dia menulis catatan harian setiap malam. Jadi dia tahu, sudah lembar ke berapa dia menulis sejak perjumpaan terakhir mereka bertemu.

Hal yang membuat saya berhenti pada halaman itu adalah ingatan yang tertaut dengan novel yang juga ditulis oleh penulis dari negeri yang sama, negeri Sakura. Adalah Haruki Murakami, yang juga dua tahun ini (2013 dan 2014) menjadi salah satu nominator pemenang Nobel Sastra. Novel terakhir yang saya baca dari Murakami adalah tentang seorang anak remaja muda yang mengaku bernama Kafka Tamura. Itu bukan nama aslinya. Ia kabur dari rumah, dan karena tidak ingin ditangkap polisi, ia membuat nama samaran. Saat kabur, dia memilih ke hotel untuk menginap. Selama menginap di hotel itu, setiap malam, Kafka menulis aktivitas hariannya. Mulai dari mengunjungi perpustakaan, hingga berolahraga di tempat gym.

Ada kebiasaan yang sama yang dilakukan tokoh utama Murakami ini, si Kafka, dengan tokoh perempuan geisha dalam novel Kawabata tadi. Iya, kedua-duanya menulis sebelum tidur.


Adakah yang penting dari kebiasaan ini? Tidak ada. Ini hanya semacam hobi yang dua tokoh ini lakukan. Semata karena mereka ingin menulis, ingin mengingat-ingat kejadian-kejadian yang dialami dalam rentang waktu sehari itu. Nah, kalau dua tokoh ini saja, yang tidak pernah punya minat tulisannya untuk dibaca orang lain (termasuk dipublikasikan di koran, disebarkan lewat dunia maya, dibagikan lewat situs jurnal dan artikel ilmiah atau bahkan hanya di blog pribadi, dikoreksi oleh pembimbing, diuji oleh penguji, dan atau diterima oleh penerbit) dengan rajinnya menulis setiap malam. Lalu bagaimana dengan kita yang menaruh harap orang lain mengerti jalan pikiran kita, menerima ide-ide kita, atau bahkan hanya sekedar menginformasikan kejadian-kejadian tertentu di sekitar kita, lewat tulisan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar