Saya
berhenti di halaman 44 saat membaca karya salah satu pemenang Nobel Sastra,
Yasunari Kawabata, Snow Country.
Tepat satu halaman sebelumnya pada novel terjemahan A.S. Laksana tersebut,
Komako bercerita kepada Shimamura bahwa malam itu adalah malam ke-199 setelah terakhir
keduanya bertemu. Shimamura terheran-heran. Kau menghitungnya? Tanya Shimamura
kepada perempuan geisha itu. Ya,
jawabnya. Tepatnya, dia menulis catatan harian setiap malam. Jadi dia tahu,
sudah lembar ke berapa dia menulis sejak perjumpaan terakhir mereka bertemu.
Hal
yang membuat saya berhenti pada halaman itu adalah ingatan yang tertaut dengan
novel yang juga ditulis oleh penulis dari negeri yang sama, negeri Sakura. Adalah
Haruki Murakami, yang juga dua tahun ini (2013 dan 2014) menjadi salah satu
nominator pemenang Nobel Sastra. Novel terakhir yang saya baca dari Murakami
adalah tentang seorang anak remaja muda yang mengaku bernama Kafka Tamura. Itu
bukan nama aslinya. Ia kabur dari rumah, dan karena tidak ingin ditangkap
polisi, ia membuat nama samaran. Saat kabur, dia memilih ke hotel untuk menginap.
Selama menginap di hotel itu, setiap malam, Kafka menulis aktivitas hariannya.
Mulai dari mengunjungi perpustakaan, hingga berolahraga di tempat gym.
Ada
kebiasaan yang sama yang dilakukan tokoh utama Murakami ini, si Kafka, dengan
tokoh perempuan geisha dalam novel
Kawabata tadi. Iya, kedua-duanya menulis sebelum tidur.
Adakah
yang penting dari kebiasaan ini? Tidak ada. Ini hanya semacam hobi yang dua
tokoh ini lakukan. Semata karena mereka ingin menulis, ingin mengingat-ingat
kejadian-kejadian yang dialami dalam rentang waktu sehari itu. Nah, kalau dua
tokoh ini saja, yang tidak pernah punya minat tulisannya untuk dibaca orang lain
(termasuk dipublikasikan di koran, disebarkan lewat dunia maya, dibagikan lewat
situs jurnal dan artikel ilmiah atau bahkan hanya di blog pribadi, dikoreksi
oleh pembimbing, diuji oleh penguji, dan atau diterima oleh penerbit) dengan
rajinnya menulis setiap malam. Lalu bagaimana dengan kita yang menaruh harap
orang lain mengerti jalan pikiran kita, menerima ide-ide kita, atau bahkan
hanya sekedar menginformasikan kejadian-kejadian tertentu di sekitar kita,
lewat tulisan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar