Rabu, 01 Juni 2022

Terima, Hayati, dan Syukuri

November 2021

Saya sedang menjalani masa-masa maba alias mahasiswa baru Ph.D. To be honest, aku merasa bodoh sekali di kelas-kelas yang aku ambil. Aku sering nangis di rumah karena insecure sama diriku sendiri. Aku mau tahu dan expert seperti temanku si W di bidang ekonometrika dan metode kuantitatif. Dengan semangat aku tanya si W buku apa sih yang dia baca, biar aku baca juga. Aku baca buku-buku, eh ketika sesi diskusi aku mengeluarkan pendapat berdasarkan buku itu, aku malah ditertawakan sama teman-teman sekelas. Aku sudah baca ini dan itu, nonton Youtube ini dan itu, tapi masih pula aku jadi "itik buruk rupa" di dalam kelas. Then, you can imagine, berat sekali menjalani ini sambil terpisah sama anak-anak dan suami. *nangis di pojokan*

Aku sekarang tinggal di apartemen, bukan di asrama. Aku sendirian di apartemen. Untuk menutupi kesendirianku, aku menonton ikatan cinta, aku baca buku apa saja yang aku punya, aku ikut kajian online, dan seterusnya. Aku bersyukur bahwa aku juga punya kerjaan sampingan sebagai content writer untuk sebuah projek penerbitan buku edukasi anak. Aku sedikit bisa melupakan kesedihan dan rasa tidak percaya diriku.

Di satu waktu, aku mau pulang. Aku loyo sekali. Aku bilang ke W, aku harus pulang. Aku berada di situasi demotivasi. Aku ga tahu agama W apa, tapi tiba-tiba dia ceramahin aku. "Andis, minta ke Tuhan saat kamu berdoa. Minta agar kamu dikuatkan. Fokuslah pada kekuatanmu, jangan pada kelemahanmu."

Aku meninggalkan SPSS, R, ekonometrika dan kawan-kawannya sejenak. Aku membaca lagi riset-riset kualitatif. Aku merasa ada yang tumbuh lagi.


June 2022

Alhamdulillah 'ala kulliy hal, sudah di penghujung semester kedua. Subhanallah, banyak deadline. Ada dua paper riset yang merupakan svarat courses wajib yang aku ambil di semester ini. Dua-duanya belum kelar, padahal sudah mepet.

Habis baca paper si W, masya Allah, bagus sekali. Bertanya-tanya dalam hati, kapan ya daku bisa menulis sebegitu bagusnya. Tidak lama setelah baca paper si W, aku buka hasil review paperku. Masya Allah, mengandung bawang itu hasil reviewnya. Grammatical error, pertanyaan riset yang belum jelas, dan bla bla bla… banyak ya yang harus kuperbaiki. Dua semester ini terus aku nulis apa? Hiks. *puk puk diri sendiri. 

But then, mengingatkan diri sendiri. Gapapa kok Andis, gapapa. Ini juga bagian dari belajar. Gapapa kok Andis, gapapa. Allah sudah janji, ada kemudahan di setiap kesulitan. Gapapa kok Andis, gapapa. Ini sulit tapi insya Allah kamu bisa tumbuh dari proses ini, asal mau terus belajar saja ya. Jangan kasih kendor! Bismillah...


Dan yang harus selalu kusyukuri dalam setiap kesulitan perjalanan ini, sudah ada suami dan anak-anak di sini menemani. Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah...







Kamis, 25 Februari 2021

Langkah-langkah Pengajuan Kriterium untuk Dosen Baru


Per hari ini, Kamis, 25 Februari 2021, keseluruhan berkas untuk persyaratan pengajuan kriterium saya sudah sampai di tujuannya, semoga mereka semua selamat dan memberi kabar baik sebagaimana yang saya harapkan. Aamiin… (bantu doakan ya, kisanak…)

Pengajuannya lumayan drama (kenapa hidupku ini terasa penuh drama, sih? Ataukah saya yang mendramatisir? Hahah…) Meskipun ada cerita mengandung bawangnya (bikin mo nangis), tapi alhamdulillah, pengurusannya lumayan cepat. Tepatnya, saya mulai mengurus berkas-berkasnya hari Senin, dan Kamis sudah dikumpulkan. Artinya, butuh empat hari saja untuk melakukan gerakan bagai tawaf di kampus guna memburu tanda tangan dan memfotokopi untuk dapat merampungkan berkas-berkas yang dibutuhkan sebagai lampiran pada pengajuan permohonan kriterium. Maha Benar firman Allah: setelah kesulitan ada kemudahan. Setelah kesulitan, pasti ada kemudahan...

Selama proses pengurusan ini, saya dibimbing oleh teman dosen lain yang sudah mengajukan berkasnya duluan. Mamacih Kak Nini atas bantuan dan informasinya, dan Pak Alvian atas informasi tambahannya. Semoga jadi amal jariyah dan menjadi sebab dimudahkannya urusan mereka berdua oleh Allah, karena sudah membantu saya. Aamiin.

Karena langkah-langkah pengajuannya agak nganu, jadi saya mau bagikan langkah-langkah yang ditempuh dan berkas apa-apa saja yang disiapkan para dosen baru. Semoga bisa membantu teman-teman dosen di kampus agar tidak salah langkah dan salah arah melewati halangan, rintangan yang membentang, tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran (auto nyanyi lagu kerasakti).

Peringatan! Langkah-langkah yang akan saya jabarkan hanya bisa berlaku khusus untuk kampus poltek (Politeknik Negeri Ujung Pandang) tempat saya mengabdi. Di kampus lain mungkin prosedurnya berbeda. Karena oh karena, sebenarnya yang saya tahu, di kampus lain macam kampus ayam di sebelah, dosen tidak perlu mengajukan kriterium tapi langsung mengajukan berkas permohonan jabatan fungsional pertama (asisten ahli). Setahu saya, dari pusat uga gitchu… langsung saja tanpa perlu pengajuan kriterium karena kriterium diajukan langsung oleh kajur di rapat senat (begitu kata pejabat kampus yang menangani berkas kriterium di kampus saya). Sabar ya wan-kawan! Kampus kita memang ber be da.

Baeq. Berkas-berkas yang akan dilampirkan masing-masing 4 semester (2 tahun). Tapi ya tapi, saya ada yang tidak 2 tahun karena saya mulai masuk kerja di poltek pada semester genap 2018/2019, sehingga saya tidak membuat LKD di akhir tahun 2018 karena LKD dibuat Ganjil dan Genap. Termasuk juga EUB saya cuma 2 semester karena ternyata waktu CPNS, saya tidak bisa mendapatkan EUB ini. Untuk lebih jelasnya, saya akan jelaskan satu per satu, yakni:

1.     Lembar Kinerja Dosen (LKD). Untuk LKD, yang dikumpul hanya bagian pengesahannya saja, gaes. Untuk normalnya, ada 4 semester yang dikumpul. Akan tetapi, seperti yang sudah saya jelaskan di awal, saya hanya mengumpulkan 2 semester. Berkas ini tidak perlu disahkan lagi atau diapa-apakan. Langsung diprint saja lembar pengesahan yang sudah discan dulu waktu pengumpulan BKD.

2.     Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan atau yang biasa disingkat DP3, yang dilengkapi SKP dan capaian SKP sesuai tahun DP3-nya. Kalau yang ini, alhamdulillah, saya mengumpulkan dua tahun (2019 dan 2020). Nah ini, difotocopy saja berkas aslinya, yang diambil di kepegawaian. Hasil fotocopynya yang kemudian disahkan di kepegawaian juga.

3.     Pengajaran. Ini adalah kumpulan mata kuliah yang kita ampu. Saya mengumpulkan empat semester pengajaran, yang kemudian divalidasi oleh ketua jurusan. To make sure kalau KBK dan Mata Kuliah Kriterium yang kita ajukan ada di daftar mata kuliah yang sudah kita ampu ya. Paling tidak dua semester pengajaran.

4.     Karya ilmiah. Nah ini, dibikinkan list saja, yang sebenarnya sudah ada formatnya juga. Kita tinggal mengisi. Apakah perlu melampirkan bukti penerbitan? That’s depend on your Pak Kajur… Kajur saya baik hati dan percaya sepenuhnya pada apa yang saya masukkan di daftar karya ilmiah tersebut, sehingga saya tidak perlu melampirkan bukti-buktinya ketika akan divalidasi di jurusan.

5.     EUB (dibaca I yu bi, padahal ternyata kepanjangannya Evaluasi Umpan Balik. Harusnya dibaca: e u be dong yaaaa… macam mana pulak). Nah ini, didapatkan di UP3MP alias Unit Pusat Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Berkas ini yang bikin saya deg degan, karena ternyata saya tidak memiliki Umpan Balik dari mahasiswa selama jadi CPNS karena belum memiliki akun Simak. Ya piye, anak CPNS di jurusanku masih mendampingi dosen utama selama setahun itu jadi belum sentuh-sentuh Simak di kala itu. Urusannya, agak-agak ribet juga khaaan… Jadi, daripada tidak ada sama sekali, yasud, saya ambil data yang ada saja, sambil berdoa semoga berkas saya tetap memenuhi persyaratan.

Well, itu saja sih sebenarnya… kalau sudah lengkap, nah tinggal diajukan di jurusan. Nanti di jurusan dibuatkan surat permohonan pengajuan kriterium yang akan dikirim ke wakil direktur melalui staff bagian akademik, dan ditembuskan juga satu rangkap ke senat. Jadi, semua berkas di atas, dibuat dua rangkap. Kalau mau simpan satu untuk pribadi, berarti bikin tiga rangkap ya, temans.

Semoga urusan kita semua dipermudah oleh Allah, dan diberkahi pula oleh-Nya. Aamiin.

Kamis, 24 Desember 2020

Menjadi Ibu Itu…

 

Hari ini, saya bangun pagi dengan keadaan loyo. Beberapa hari ke depan, insya Allah, saya akan melewati satu lagi fase paling penting dalam hidup saya sebagai seorang ibu. Harusnya dan idealnya, saya sudah ada di jalan di depan rumah, seperti kemarin pagi, berjalan-jalan bersama Abdullah. Tapi badan dan semangat saya, terasa lowbat.

 

Tadi malam, saya tidur lebih awal karena badan sudah tidak bisa diajak kompromi. Abdullah? Main sama ayahnya. Dia juga tidur dalam ayunan dengan bantuan tangan sang ayah. Sesuatu yang jarang terjadi, karena biasanya dia maunya tidur sama ibunya.

 

Akibat main dan dijaga ayahnya semalam, well, bisa ditebak, rumah berantakan. Sepasang bantal guling Abdullah bagai habis dihempas gelombang bersama dengan segambreng mainan legonya. Saya yang terbangun pagi ini, mendapati kehancuran itu, semakin loyo.

 

Setelah shalat Subuh, saya kembali melekatkan punggung saya di tempat tidur. Tapi yah, dasar kehidupan mamak-mamak, belum sempat terpejam, anak sudah bangun. Dengan segala macam remah-remah keinginan, mau dibikinin perahulah pagi-pagi, mata saya mustahil terpejam lagi. Mo nangis rasanya…

 

Padahal, sedikit saja, sedikit saja loh Nak, Ibu mau tiduran biar badannya enakan. Hiks.

 

Akhirnya, dengan merasa terpaksa, saya bangun. Setelah Abdullah anteng bersama legonya, saya mulai bekerja dengan membereskan perintilan yang tidak pada tempatnya, termasuk alat shalat saya sehabis Subuhan juga belum saya rapikan tadi. Ketika tangan saya tiba di meja kerja saya dan suami, merapikan pulpen dan kertas-kertas bekas prakarya Abdullah, saya mendapati buku tulis lusuh saya.

 

Sebuah buku lama, yang pernah saya sayang-sayang ketika kuliah di Semarang dulu. Beberapa pekan lalu, ketika saya men-declutter buku-buku dan kertas-kertas bekas di lemari buku, saya hendak membuangnya juga. Tapi, entah bagaimana, saya tergoda juga mengambilnya lagi dari tumpukan buku yang sudah hendak ditimbang dan dijual, lalu menyimpannya di atas meja kerja saya.

 


Di depan buku itu, sebuah sticky note berwarna hijau lusuh di antara kumpulan sticky notes yang lain, berhasil mengubah mood saya yang loyo-loyo. Kalimat di dalamnya bertuliskan:

            

“menjadi manusia, berkonsekuensi untuk tidak pernah berhenti belajar dan berjuang.”

 

Jleb! Kalimat itu adalah kalimat yang saya tulis sendiri, dari batok kepala saya sendiri, beberapa tahun silam. Kalimat tanpa nama di ujungnya, yang artinya saya tidak mengutipnya dari siapa-siapa. Mungkin, di masa itu, saya sedang sadar sesadar-sadarnya diri, tugas kehambaan saya. Mungkin saat itu, saya sedang berada pada sebuah momen kontemplasi dan berhasil menuliskan sebuah kalimat sebijak itu.

 

Kalimat, yang di masa lalu menjadi pegangan saya untuk tidak boleh loyo dalam belajar di perantauan. Kini, kalimat itu, masih juga maknyus, meskipun saat ini saya tidak lagi seorang gadis yang merantau untuk sekolah.

 

Sekarang, saya seorang ibu, yang mendapati kekacauan di pagi hari akibat ulah anak dan suaminya yang habis main semalam. Pada detik ini, ketika saya mendapati tulisan lama itu, saya masih harus tetap belajar dan berjuang. Ya, saya masih harus melakukannya.

 

Belajar bukan semata dari buku-buku dan ucapan para dosen, tapi belajar bisa juga dari masalah-masalah sehari-hari yang saya hadapi sebagai istri dan ibu. Belajar bersabar ketika rumah tidak rapi. Belajar legowo ketika suami kecapekan habis begadang menidurkan anak plus kerja tengah malam. Belajar dan belajar… perjalanan belajar dan berjuang saya tidak berhenti hanya karena saya telah memakai toga di Semarang.

 

Pelajaran yang saya cecap pada hari ini adalah, well, saya kini seorang ibu. Seorang perempuan dalam rumah yang ketika saya loyo, benar tidak ada hubungannya dengan nilai di rapor, tapi amat memengaruhi kondisi seisi rumah saya. Saya tahu, dampak perjuangan saya pagi ini tidak bisa mengguncang dunia atau membawa saya pada sebuah panggung pencapaian sebagai seorang manusia. Tapi saya juga tahu, kalau saya menuruti hawa nafsu saya untuk rebahan, memilih menyudutkan suami agar dia yang bangun menemani anak saya bermain, mungkin saya akan mendapati rumah dan perasaan saya kacau seharian ini. Setelah berjuang melawan loyo-loyo ini, saya sudah cukup bahagia bisa melewatinya dan bahkan sampai berhasil duduk beberapa puluh menit di meja kerja untuk sekadar menulis di blog ini, tentang ini.

 

Terima kasih, Andis. Pagi ini, kamu sudah berjuang dan belajar menjadi ibu dan istri.

Terima kasih, Andis. Pagi ini, kamu tidak cengeng dengan mengutuk keadaan dan memilih membereskan rumahmu.

Kamu hebat, Andis. Kamu hebat!




Senin, 13 Juli 2020

Ikhlas pada yang Tidak Sempurna


Masya Allah, hari ini (Selasa, 14 Juli 2020), saya dan teman-teman angkatan VI Gelombang II Kemendikbud sudah masuk di pekan kedua, hari kedua, latsar CPNS virtual. Masih tersisa satu pekan, empat hari, lagi. Sedikit lagi sudah separuh jalan, alhamdulillah.

Orang-orang boleh bilang “enak ya latsar dari rumah”. Ya kan ceunah, enak duduk depan laptop jam 8 pagi sampai jam 6 sore lewat. Andai kau tahu penonton, pantat terasa panas, laptop apalagi, ngamuk-ngamuk sampai kadang error. Jangan tanya pada teman yang online pakai kuota, hampir tiap hari update di group WA hari ini habis berate giga. Hehe, kesyian...

Tapi, memang tidak buruk selalu. Meski di satu sisi kami tidak bisa makan siang prasmanan gratis di asrama, atau kumpul-kumpul ha ha he he menyanyi bareng lagu yel yel, di sisi lain kami bisa ngumpet di balik laptop sambil ngemil. Kami juga bisa lipsing ketika menyanyi yel yel, asal ada teman yang keluar suaranya, saya mah gerak-gerakin mulut aye. Ha ha ha

Selain itu, untuk saya pribadi, saya bisa melakukan hal-hal baru yang tiba masa tiba akal. Misal, lipat cucian pas menyimak materi. Ketika mata saya fokus menatap pemateri di laptop, tangan saya sibuk lipat pakaian di bawah meja dan tara ketahuan e eh.

Materi Selasa, 14 Agustus 2020

Di rumah, mencuci malam hari sedang tidak dibolehkan karena krisis stok air. Nah, penghuni rumah hanya boleh mencuci pagi sampai siang. Lah piye, pagi sampai sore saya latsar, dan ayah Abdullah bagian ngemong anak. Mon maap nih, si ayah belum terlatih multitasking. Jadi tidak mampu si doi ngemong sambal menyalakan mesin cuci. Jadi apa yang kulakukan pada tumpukan cucian yang sudah meluber, tumpah-tumpah keluar dari ember saking banyaknya?

Jiwa mamak-mamak dalam diriku bergejolak. Ketika mandi pagi, saya ambil sebagian cucian. Tidak bisa sekaligus karena nanti kelamaan di kamar mandi dan PIC panitia latsar sudah teriak-teriak mau mengabsen. Nah, ketika break 15 menit jam 10 pagi, saya buru-buru ke kamar mandi lagi sambil membawa empat lembar baju untuk dicuci. Empat lembar kira-kira bisalah ya dicuci 15 menit.

Setelah saya selesai mencuci nih, suara pemateri e eh sudah nyaring terdengar. Belum sempat kujemur, padahal. Tapi, matahari sedang terik-teriknya. Tak rela kubiarkan si mentari pergi tanpa menghangatkan cucianku. Maka, kuikhlaskan diriku terlambat 5 menit muncul on di video zoom demi menyelamatkan cucianku bertemu matahari.

Saat kuburu-buru menjemur, baru kulihat baik-baik, ih kok masih ada nodanya ini daster. Ya ampun, karena buru-buru, pakaian ini tidak bersih deh. Ternyata, Rin*o tidak mampu menghempas semua noda di pakaian. Baeqlah.

Nah, setelah kupikir-pikir ya. Latsar virtual ini, selain meningkatkan skill multitasking-ku, juga membuatku belajar ikhlas pada yang tidak sempurna. Saya sadar, saya tidak sedang menjalani hidup di mana 100% waktu dapat diberikan untuk mengurusi keluarga. Saya adalah seorang istri yang bekerja, yang mesti memberi waktu pada pekerjaanku juga. Maka, saya tidak perlu maruk dan menuntut diri sendiri menjadi istri dan ibu shalihah yang sempurna. Ada yang tidak sempurna pada hal-hal yang sifatnya tidak substansial, maka saya harus belajar mengikhlaskannya.

Nanti kalau selesai latsar, bisa cuci baju lebih bersih lagi. Noda sedikit di kala latsar tidak apa-apalah. 

Semoga Allah ridha pada yang tidak sempurna ini. Insya Allah ya, Allah melihat semuanya, termasuk usaha mamak bekerja ini yang berusaha untuk tetap jadi istri yang baeq di dalam rumah dengan tetap mengurusi kotoran yang hinggap di pakaian suami dan anak-anaknya.

Tidak sebersih hasil laundry. Tidak sebersih hasil cuci ibu-ibu rajin dan telaten di luar sana. Tapi, dikerjakan dengan terengah-engah ketika sedang mengikuti latsar yang bikin kepala penat dan mata ngantuk bukan main. He he he…

Mamah, curhat dong mah!

Rabu, 08 Juli 2020

Waktu yang Allah Kasih

Sumber: FB Fauzan Mukrim


Sebelum pandemi Covid_19 ini menyerang hampir setiap penjuru bumi, kerap kali ketika saya harus menginap di luar rumah untuk tugas kampus, sepenuhnya selalu saya usahakan membawa anak semata wayang saya: Abdullah. Dalam benak saya, selain karena ‘beban’ sebagai orang tua tunggal sementara kala itu karena ayahnya masih sekolah di Belanda, saya menyadari bahwa waktu bersama Abdullah tidak akan lama. Iya, tidak akan lama.

Anak kita tumbuh cepat sekali, kan?

Ketika dia memasuki usia sekolah, dia akan mulai meluaskan pergaulannya, setidaknya punya beberapa teman. Dia mulai akan membagi waktunya, untuk tugas, untuk bermain bersama teman-temannya. Mungkin saja, hanya akan ada sedikit waktu yang tersisa di malam hari untuk bercengkrama dengan orang tuanya.

Anak kita, ketika sudah remaja, mulai akan mengenal dunia yang lebih luas lagi. Ketika sudah kuliah, sudah bekerja, sudah menikah. Mereka akan memiliki dunianya masing-masing, dan kita tetaplah orang tua yang masih melihat mereka seperti anak kecil yang dapat kita peluk. Tinggallah kita tetap sebagai orang tua dengan hati yang masih sepenuhnya menaruh ruang untuk anak-anak kita dengan penuh, seperti ketika mereka baru saja dilahirkan. Padahal masa itu sudah lewat.

Maka hanya pada masa kecilnya ini saja, detik-detik emas membersamai Abdullah dapat saya nikmati dari pagi hingga pagi lagi. Istilah neneknya Abdullah, “hanya pada masa kecilnya, anak-anak dapat kita miliki”.

Menginsyafi itu, selalunya hati saya tidak pernah rela jika harus pergi tanpa membawa Abdullah. Saya sadari, bahwa saya akan rempong dan tidak maksimal pada pekerjaan saya. Tapi kita tidak bisa memiliki semua, dan saya memilih kehilangan beberapa hal dalam pekerjaan saya dibanding kehilangan waktu emas yang Allah kasih.

Tentu saja, kasus pada setiap ibu bekerja tidak selalu sama. Tidak berarti juga yang meninggalkan anak menjadi otomatis buruk. Tidak begitu.

Ini hanya tentang pilihan yang kita ambil, dan setiap pilihan punya alasannya masing-masing. Tapi, kita memilih satu hal, dan akan kehilangan hal lain. Ini tentang di mana hati kita menaruh porsi yang lebih banyak.

Maka ketika saat ini saya menjalani latsar (pelatihan dasar) CPNS secara virtual di rumah, saya percaya itu juga adalah bagian dari ‘waktu emas’ yang Allah kasih. Dengan segala kerempongan ini, saya patut bersyukur bahwa sejauh ini saya masih bisa setiap malam mengajak Abdullah berdoa sebelum tidur dan kepalanya terlelap di atas lengan saya, yang mungkin akan sulit saya lakukan jika latsar atau prajabatan ini dilaksanakan di asrama-asrama seperti di kala normal. Mengutip kata Fauzan Mukrim, “setiap detik sangat berharga karena ada yang terus berjatuhan tanpa bisa kita cegah”.