La
Sa’ade’ namanya, seorang laki-laki paruh baya yang dari kasat mata sekira
berumur 70 tahun. Badannya telah dipenuhi kerutan. Namun saat mengangkat barang
dengan bambu yang ditaruh di atas bahunya bersama pasangan kerjanya, saya
menjadi ragu ia telah setua itu. Sudah lebih dari tiga bakul ikan yang
diangkutnya masuk ke pasar. Tanpa lelah.
Mulai dari
sekitar jam 8 pagi, ia sudah siap menawarkan jasa bagi para penjual yang
membutuhkan jasa angkut barang masuk ke dalam pasar Baranti−kecamatan yang
berjarak sekitar 120 km dari Makassar. La Sa’ade’ dan beberapa kawannya siap
menjemput dari gerbang pasar, lalu mengangkatnya masuk sampai ke tempat
berjualan orang yang memakai jasanya.
Pria
yang sejak kanak sudah akrab dengan pandangan mata saya saban Senin dan Kamis−hari
operasi pasar Baranti−itu, mengangkat barang apa saja. Dalam bahasa Bugis, profesinya
dinamai “pangessang” (porter). Mulai
dari ikan, sayur-mayur, barang campuran (bahan dapur & alat rumah tangga),
sandal, alat kosmetik, hingga pakaian, semua diangkatnya.
***
Di
masa itu, aktivitas menemani mama ke pasar adalah aktivitas yang lekat dengan
kenangan masa kanak bersama orang tua perempuan. Kita bisa dengan mudah
menemukan gambaran kedekatan anak-anak dengan pasar di berbagai serial TV anak.
Upin-Ipin misalnya. Keduanya selalu bergembira saat kakak mereka, Kak Ros,
mengajak ke pasar.
Pada
konteks lain, pada waktu pelajaran membaca di sekolah, kita mungkin akrab
dengan teks, ‘ini ibu Budi. Ibu Budi pergi ke pasar’. Sosok orang tua perempuan
dijelaskan dalam teks: ia ke pasar. Berbeda dengan ayah yang berangkat ke
kantor. Semenjak kecil, anak-anak ditanamkan pemahaman, pekerjaan berbelanja ke
pasar adalah milik seorang wanita.
Selanjutnya,
tugas seorang anak perempuan berada di sekitar itu. Menemani mama ke pasar.
Sementara anak laki-laki, menemani ayah ke kebun atau berladang. Anak perempuan
memang dinarasikan dekat dengan wilayah domestik dapur sehingga perihal
tetek-bengeknya, juga menjadi urusan anak maupun orang tua dengan jenis kelamin
perempuan. Berikutnya, jika ada perempuan yang bergerak ke ladang, atau
beraktivitas di luar itu, ia akan dianggap lebih tangguh dibanding perempuan
lainnya.
***
Kembali
ke aktivitas menemani mama ke pasar, kali itu saya dan mama datang untuk
berbelanja sayur dan ikan. Mama saya dan beberapa ibu-ibu sungguh gaduh saat
memilih ikan-ikan yang akan mereka bawa pulang. Ikan-ikan itu sesekali melompat
dari meja jualan, meliuk-liuk di kaki pembeli. Penjual ikan itu menangkapnya,
lalu mematahkan sesuatu di kepala ikan. “krekk”, bunyi dari kepala ikan yang
ditekan si penjual. Lalu berhentilah ikan itu meliuk, pertanda ia telah
kehilangan nyawa.
Belum
sempat memilih ikan dengan baik, datang La Sa’ade’. Dengan teriakan khasnya: tabeeeee’. Ia melenggang, membelah kerumunan
ibu-ibu.
Barangkali,
hanya di pasar lokal pembeli begitu betah memilih dan menawar harga ikan meski
selisihnya hanya 5-ribu rupiah. Berlama-lama berinteraksi dengan sesama
pembeli, saling menunjukkan ikan terbaik yang akhirnya mereka dapatkan. Dan
sesekali mencandai penjual ikan agar menurunkan harga ikannya, adalah kepuasan lain
yang pembeli dapatkan.
Sekian
detik setelah La Sa’ade’ meninggalkan ikan yang diangkatnya, tiba-tiba para
pembeli yang tadinya mulai memencar, kembali lagi berkerumun. Mereka saling
berebut ikan, meskipun pada akhirnya tidak semua jadi membeli ikan tersebut. Kesimpulan
kecil saya, menemani mama ke pasar adalah aktivitas yang ternyata juga melatih
kesabaran dan kesetiaan perihal menunggu.
***
Tak
lebih satu kilometer dari kegaduhan pasar tersebut, telah dibangun dua gerai
minimarket. Di sana, juga terjadi transaksi jual beli. Seorang pembeli masuk,
memilih barang yang ingin dibeli, membawa ke kasir, membayarnya, lalu pulang.
Begitulah pola yang terus berulang.
Pembeli
tidak perlu berlama-lama memilih barang, sebab semua telah ditata sesuai jenis
barangnya. Kalau pun ada yang berdiam di dalam toko, memilih barang terlalu
lama, paling tidak akan membuat pembeli merasa risih sendiri. Entah karena
mulai dicurigai oleh karyawan atau merasa bingung. Tidak akan ditemukan
tetangga yang juga datang berbelanja lalu saling menunjukkan barang yang mampu
ditawar dengan harga paling murah. Lagipula, beberapa barang telah ditawarkan
dengan harga yang terlalu murah dibanding yang dijual eceran di pasar dan usaha
rumahan−dalam strategi bisnis, ini disebut sebagai predatory pricing (Lihat jurnal Elzinga, Predatory Pricing and Strategic Theory. 2008).
***
Di tempat
yang bersih dan ber-AC tersebut, kita menemukan wajah kehidupan yang bisu dan
sendiri-sendiri. Sementara, di kegaduhan pasar tadi, kita menemukan kehidupan
yang saling menghidupi dan memanusiakan. Dan yang jelasnya, La Sa’ade’ dan
kawan-kawannya tak akan bisa menghidupi keluarganya lagi saat pasar-pasar lokal
tidak lagi beroperasi. Saat kita lebih memilih berbelanja di minimarket dan
berbondong-bondong meninggalkan aktivitas “menemani mama ke pasar”.
Rubrik
Opini, Koran Fajar (Jumat, 27 Februari 2015)
dmna tinggal di baranti???
BalasHapusbagus loh tulisaannya (jempol)
Jatuh cintaka kurasa..
BalasHapusDengan tulisan ta ckck