“Emm... kalau kuberi tahu hal yang tidak
kusukai dari dirimu, apa kau mau berubah?”
“Bisa ya, bisa juga nggak. Kalau kupikir
perlu diubah, ya kuubah. Kalau kupikir nggak perlu, ya, buat apa?” (hlm.
213).
***
Jika
zaman ini kita seharusnya menjadi acuh, suka melamun, tiduran, sesekali bolos
sekolah dan segala kegiatan yang barangkali dirutuki oleh manusia kebanyakan,
yang bercita-cita sukses di masa depan, saya membayangkan pasukan itu
seharusnya dipimpin oleh Sabda Armandio. Saya rasa bos pasukan semacam
itu−kalau memang harus ada dan sepertinya sih
tak akan ada sampai Mario Teguh masih menyapa pemirsanya dengan salam
supernya−memerlukan sejenis keberanian dan sekaligus sikap masa bodoh yang
sedikit kelewatan. Dan bekal itu sudah dimiliki oleh Saya, Kamu, sekaligus
penulis tokoh ini sendiri.
Dunia
hari ini adalah dunia tentang mimpi-mimpi dan kesuksesan yang dibuat-buat
standarnya. Kadangkala (atau selalu?) abstrak. Setidaknya begitu yang
barangkali ingin Dio−begitu ia disapa−muntahkan lewat novel yang terbit
Februari (2015), Kamu: Cerita yang Tidak
Perlu Dipercaya. Lewat obrolan-obrolan tokoh Saya dan Kamu, Dio sedang
meluapkan apa-apa saja yang tidak dia sepakati dengan hidup dan kehidupan ini. Bertutur
renyah seperti wafer, Dio mengangkat masalah-masalah yang dilahirkan dunia
modernitas lewat narasi yang agak konyol.
Saat
setiap orang berlomba-lomba memenangkan popularitas, penghargaan, dan nama di
jejeran terdepan, tokoh Saya menolak masuk di perlombaan itu. Ia memilih berada
di belakang saja. Tidak ingin dikenal. Biar saja dilupakan. Tak mengapa tak
diingat. Saya tak ingin jadi spesial, sebab sebenarnya menurutnya, keinginan
untuk menjadi spesial ini lah penyebab kompetisi, persaingan, dan perang.
Analogi sederhanya mungkin begini, sebab Belanda merasa spesial, dan Indonesia
dianggap hanyalah remah-remah, negara yang dihuni oleh manusia-manusia yang
layak jadi pengikut, pesuruh, dan pelayan, maka itu Belanda menjadi angkuh,
merasa pantas menduduki Indonesia. Tapi kemudian Belanda tidak sendirian,
Jepang juga merasa spesial, dan jadilah politik balas budi untuk merebut
Indonesia dari Belanda. Benarlah Nurhady Sirimorok, pemujaan terhadap individualitas, dalam bentuk benda maupun citra,
sesungguhnya dapat menjadi awal dari kehancuran kolektif.
Bersepakat
dengan Nurhady Sirimorok, barangkali Dio ingin menanamkan bibit ide di kepala
pembacanya: untuk apa kita perlu merasa spesial di mata dunia yang bahkan tidak
ada harganya ini? Keinginan menjadi spesial, bahkan menyebabkan sisi
kemanusiaan kita terdegradasi, mengacuhkan orang lain sebab selalu hanya diri
kita yang lebih di antara yang lain.
Sependek
pengetahuan saya, penulis yang banyak memasukkan ide bahkan menumpahkan
perasaannya lewat tulisan, adalah penulis yang tidak banyak omong di dunianya
yang nyata. Lebih tepatnya, tidak begitu senang terlibat dalam obrolan. Sejenis
manusia yang kalau ikut rapat, hanya sekedar isi presensi. Kalau ikut
komunitas, hanya terlihat dari kerja-kerjanya, bekas tempat duduk atau bekas
ngopinya, bukan dari suara dan bualannya. Apakah Dio termasuk penulis seperti
ini? Kalau melihat aktivitasnya sehari-hari di biodata penulis, besar
kecurigaan saya, iya. Barangkali hanya laki-laki yang tidak banyak omong, yang
betah bekerja di perusahaan periklanan digital−tempat bekerjanya saat ini. Saya
[sok] tahu, karena pernah menggunakan
jasa profesi ini. Suatu ketika, saya ditugasi dosen mengurus brosur kegiatan.
Sejak memesan hingga kembali lagi mengambil pesanan brosur, laki-laki dan
perempuan yang bertugas di tempat itu, memang penganut adigium diam lebih baik! Tapi, yah, kita tahu,
diam mereka tidak benar-benar diam. Mereka melahirkan karya, kalau boleh brosur
itu disebut karya. Dan karya mereka nyata, benar-benar ada, saya gunakan untuk
publikasi acara.
Soal
tidak banyak omong seperti itu, saya ingat wejangan Eka Kurniawan, sudah tiba
saatnya para penulis, mundur ke belakang, tidak ikut dalam kebisingan, tapi
diam dan melakukan aktivitas lain: membaca, berpikir secara matang, masuk ke
‘laboratorium’ dan sebagainya. Saat semua orang bisa berbicara, penulis harus
menahan diri untuk tidak hanya sekedar ikut arus. Entah pernah membaca wejangan
Eka itu atau tidak, sepertinya Dio telah dan tengah melakukannya. Lewat novel pertamanya
ini, dia mengeluarkan hasil penelitian dari laboratoriumnya. Proses penelitian
yang panjang, menulis dan menerjemahkan cerpen, dan membaca, tentu.
Sebagai
saran, untuk keabsahan catatan ini. Sepertinya Dea Anugrah dan tim Moka Media,
harus lebih bersabar dan tekun sebelum yakin untuk meloloskan karya ini kalau
akan dicetak lagi. Saya menemukan beberapa kata yang salah ketik. Padahal,
pemanasan untuk melahirkan novel ini cukup lama, dan saya menaruh harap lebih
bahwa novel ini akan jauh dari kesalahan ketik dan semacamnya. Menurut
penulisnya, pemanasan yang lama itu agar pembaca tidak kram. Ya tidak kram sih, hanya keseleo. Sayangnya, saya
mengingat dan membawa rasa keseleo itu sepanjang membaca cerita di novel ini.
Saya
tidak mencatat halamannya, tapi saya ingat betul kata “sebelah” yang malah
tertulis “seblah”. Parahnya, karena kata “seblah” itu berdekatan (atau malah
satu kalimat, saya lupa) dengan kalimat yang juga ada kata “sebelah” yang
benar, jadi begitu mencolok kan? Atau penggunaan di- yang tertukar fungsi
sebagai prefiks dan preposisi. Atau lagi, dua kata yang alpa diselipi spasi
seperti pada kalimat pertama paragraf 3 halaman 130. Paling tidak, kalau novel
ini cetak ulang (saya turut berharap), kesalahan teknis macam itu sudah tidak
ditemukan lagi. Kecil tapi berdampak besar, apalagi untuk tipe pembaca yang
menuntut banyak pada sebuah karya. Menyalin-tempel William Faulkner, tidak ada jalan pintas untuk menyelesaikan
sebuah tulisan, kecuali belajar dari kesalahan.
Sallluuuuut!
Saya sudah beli buku ini tapi belum sempat dibaca. saya sudah tertarik untuk memiliki buku ini sejak penulis AS Laksana memposting satu paragraf novel ini di fb, yang menurut saya sangat bagus. melihat resensi di blog ini, saya semakin yakin bahwa novel ini memang bagus.
BalasHapussalam kenal mbak Andi. saya sangat suka ulasan Anda ini, membuat saya malu karena masih sangat biasa dalam menulis resensi :)
Wah, saya juga semakin yakin dengan kecurigaan saya selama ini bahwa saya punya bakat di 'marketing'~~~
Hapusmasdio memang memang dia~
BalasHapusckck
review yang baik sekali, dan aku harus beli bukunya.
:)
Ya, beli dan baca.
Hapussiap :)
Hapus