Jumat, 27 Februari 2015

Menemani Mama ke Pasar



La Sa’ade’ namanya, seorang laki-laki paruh baya yang dari kasat mata sekira berumur 70 tahun. Badannya telah dipenuhi kerutan. Namun saat mengangkat barang dengan bambu yang ditaruh di atas bahunya bersama pasangan kerjanya, saya menjadi ragu ia telah setua itu. Sudah lebih dari tiga bakul ikan yang diangkutnya masuk ke pasar. Tanpa lelah.

Mulai dari sekitar jam 8 pagi, ia sudah siap menawarkan jasa bagi para penjual yang membutuhkan jasa angkut barang masuk ke dalam pasar Baranti−kecamatan yang berjarak sekitar 120 km dari Makassar. La Sa’ade’ dan beberapa kawannya siap menjemput dari gerbang pasar, lalu mengangkatnya masuk sampai ke tempat berjualan orang yang memakai jasanya.

Pria yang sejak kanak sudah akrab dengan pandangan mata saya saban Senin dan Kamis−hari operasi pasar Baranti−itu, mengangkat barang apa saja. Dalam bahasa Bugis, profesinya dinamai “pangessang” (porter). Mulai dari ikan, sayur-mayur, barang campuran (bahan dapur & alat rumah tangga), sandal, alat kosmetik, hingga pakaian, semua diangkatnya.

***

Di masa itu, aktivitas menemani mama ke pasar adalah aktivitas yang lekat dengan kenangan masa kanak bersama orang tua perempuan. Kita bisa dengan mudah menemukan gambaran kedekatan anak-anak dengan pasar di berbagai serial TV anak. Upin-Ipin misalnya. Keduanya selalu bergembira saat kakak mereka, Kak Ros, mengajak ke pasar.

Pada konteks lain, pada waktu pelajaran membaca di sekolah, kita mungkin akrab dengan teks, ‘ini ibu Budi. Ibu Budi pergi ke pasar’. Sosok orang tua perempuan dijelaskan dalam teks: ia ke pasar. Berbeda dengan ayah yang berangkat ke kantor. Semenjak kecil, anak-anak ditanamkan pemahaman, pekerjaan berbelanja ke pasar adalah milik seorang wanita.

Selanjutnya, tugas seorang anak perempuan berada di sekitar itu. Menemani mama ke pasar. Sementara anak laki-laki, menemani ayah ke kebun atau berladang. Anak perempuan memang dinarasikan dekat dengan wilayah domestik dapur sehingga perihal tetek-bengeknya, juga menjadi urusan anak maupun orang tua dengan jenis kelamin perempuan. Berikutnya, jika ada perempuan yang bergerak ke ladang, atau beraktivitas di luar itu, ia akan dianggap lebih tangguh dibanding perempuan lainnya.

***

Kembali ke aktivitas menemani mama ke pasar, kali itu saya dan mama datang untuk berbelanja sayur dan ikan. Mama saya dan beberapa ibu-ibu sungguh gaduh saat memilih ikan-ikan yang akan mereka bawa pulang. Ikan-ikan itu sesekali melompat dari meja jualan, meliuk-liuk di kaki pembeli. Penjual ikan itu menangkapnya, lalu mematahkan sesuatu di kepala ikan. “krekk”, bunyi dari kepala ikan yang ditekan si penjual. Lalu berhentilah ikan itu meliuk, pertanda ia telah kehilangan nyawa.

Belum sempat memilih ikan dengan baik, datang La Sa’ade’. Dengan teriakan khasnya: tabeeeee’. Ia melenggang, membelah kerumunan ibu-ibu.

Barangkali, hanya di pasar lokal pembeli begitu betah memilih dan menawar harga ikan meski selisihnya hanya 5-ribu rupiah. Berlama-lama berinteraksi dengan sesama pembeli, saling menunjukkan ikan terbaik yang akhirnya mereka dapatkan. Dan sesekali mencandai penjual ikan agar menurunkan harga ikannya, adalah kepuasan lain yang pembeli dapatkan.

Sekian detik setelah La Sa’ade’ meninggalkan ikan yang diangkatnya, tiba-tiba para pembeli yang tadinya mulai memencar, kembali lagi berkerumun. Mereka saling berebut ikan, meskipun pada akhirnya tidak semua jadi membeli ikan tersebut. Kesimpulan kecil saya, menemani mama ke pasar adalah aktivitas yang ternyata juga melatih kesabaran dan kesetiaan perihal menunggu.

***

Tak lebih satu kilometer dari kegaduhan pasar tersebut, telah dibangun dua gerai minimarket. Di sana, juga terjadi transaksi jual beli. Seorang pembeli masuk, memilih barang yang ingin dibeli, membawa ke kasir, membayarnya, lalu pulang. Begitulah pola yang terus berulang.

Pembeli tidak perlu berlama-lama memilih barang, sebab semua telah ditata sesuai jenis barangnya. Kalau pun ada yang berdiam di dalam toko, memilih barang terlalu lama, paling tidak akan membuat pembeli merasa risih sendiri. Entah karena mulai dicurigai oleh karyawan atau merasa bingung. Tidak akan ditemukan tetangga yang juga datang berbelanja lalu saling menunjukkan barang yang mampu ditawar dengan harga paling murah. Lagipula, beberapa barang telah ditawarkan dengan harga yang terlalu murah dibanding yang dijual eceran di pasar dan usaha rumahan−dalam strategi bisnis, ini disebut sebagai predatory pricing (Lihat jurnal Elzinga, Predatory Pricing and Strategic Theory.  2008).

***

Di tempat yang bersih dan ber-AC tersebut, kita menemukan wajah kehidupan yang bisu dan sendiri-sendiri. Sementara, di kegaduhan pasar tadi, kita menemukan kehidupan yang saling menghidupi dan memanusiakan. Dan yang jelasnya, La Sa’ade’ dan kawan-kawannya tak akan bisa menghidupi keluarganya lagi saat pasar-pasar lokal tidak lagi beroperasi. Saat kita lebih memilih berbelanja di minimarket dan berbondong-bondong meninggalkan aktivitas “menemani mama ke pasar”.


Rubrik Opini, Koran Fajar (Jumat, 27 Februari 2015)

2 komentar:

  1. dmna tinggal di baranti???
    bagus loh tulisaannya (jempol)

    BalasHapus
  2. Jatuh cintaka kurasa..
    Dengan tulisan ta ckck

    BalasHapus