Selasa, 03 Februari 2015

Koes Plus Bilang, Tanah Kita Tanah Surga



Pada suatu masa di sebuah negara yang bernama Indonesia, orang-orang hidup sejahtera sebagaimana terlihat dari grafik peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya. Data terakhir yang dilansir Biro Pusat Statistik (BPS 2015) di laman daring bps.go.id menunjukkan adanya peningkatan pendapatan berdasarkan jumlah nilai produk (barang dan jasa) yang dihasilkan Indonesia selama sepuluh tahun ini (2005-2014).

Semua masyarakat bekerja tanpa rintangan berarti. Penduduk desa bertani dengan suka cita. Sementara penduduk desa yang lain bekerja dengan mengolah sumber daya alam berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam yang tersedia. Sungguh makmur negara itu. Sebab itu lah Koes Plus berdendang: “bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

***

Benar, NKRI adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, di darat mau pun di laut. Sebagaimana kata orang tua kita, negara ini ‘gemah ripah loh jinawi’. Tapi tunggu dulu! Kiranya kebahagiaan berupa kelimpahan anugerah tersebut bisa dipertanyakan kembali dengan menengok fakta-fakta lain berikut ini.

Di depan rumah, pemulung-pemulung bersetia memunguti sampah dan sisa makanan untuk dijual demi mengisi perut pada hari yang sama. Setiap sudut kota dihiasi gerombolan anak-anak miskin yang menengadahkan tangan. Anak-anak muda brutal yang pengangguran tak ketinggalan. Sebagian mereka adalah orang desa yang lari ke kota sebab tidak memiliki lahan untuk diolah sendiri di desa, pun dengan sistem bagi hasil tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.

Pemandangan di kota juga diselingi dengan tumpukan masyarakat yang mengantri sembako pada hari raya. Tidak jarang menelan korban jiwa, demi untuk mendapatkan jatah sembako yang ingin dinimaktinya di hari raya. Sebab yang mereka lihat di televisi-televisi, kaum-kaum borjuasi merayakannya dengan pesta makanan yang berlimpah.

Pemandangan dari pelosok desa bercerita lain lagi. Para buruh tani berhadapan dengan kenyataan pedih atas sistem bagi hasil yang tak jarang lebih berpihak pada tuan tanah dan tengkulak. Mereka dirampas tanahnya oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Kasus perampasan tanah pertanian terjadi di Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan) & Mamuju (Sulawesi Barat) pada rentang tahun yang sama (2014). Lalu pada tahun 2013 lalu, terdapat 369 kasus konflik agraria di Indonesia (meningkat sebanyak 171 dari 2012), dengan luas wilayah konflik 1.281.660.09 ha dan jumlah korban tewas sebanyak 21 orang (suaraagraria.com).

Sementara, hasil bumi berupa tambang, minyak, dan gas alam jatuh ke tangan asing, yang keuntungannya sebagian besar dibawa kabur ke luar negeri. Data terakhir yang dilansir BPS, pada caturwulan III 2014, angka 274.733 milyar rupiah adalah capaian yang diterima negara (PDB) dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Itu pun masih dibedakan dengan lapangan usaha industri pengolahan migas sebesar 73.263 milyar rupiah. Total nilai keduanya tidak kurang dari 347.996 milyar rupiah. Nilai tersebut masih dalam rentang caturwulanan, yang artinya bahwa perusahaan tambang & migas berpenghasilan 347.996 milyar rupiah dalam waktu empat bulan saja.

Sebagai perbandingan, untuk periode satu tahunan, pada 2013, perusahaan tambang & migas beserta usaha pengolahannya berpenghasilan 1.287 trilyun rupiah. Ironisnya, angka tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima masyarakat di sekitar wilayah galian atau tempat perusahaan beroperasi.

Kesejahteraan untuk skala negara pun, jika dibandingkan dengan total keuntungan yang dihasilkan, masih jauh dari proporsional untuk perbandingan sumber daya alam yang dikeruk. PT Freeport, misalnya. Keuntungan sebanyak 99% dari tanah Papua yang memiliki 42 juta hektare hutan dengan keanekaragaman hayati, seperti bahan tambang, minyak dan gas bumi, dibawa ke negara asal perusahaan PT Freeport. Pemerintah hanya mendapatkan 1% sejak perusahaan ini berdiri (1973).

Lalu, masih jelas terekam, pada 14 Mei 2013 lalu, terowongan PT Freeport runtuh dan menelan 38 korban (10 diselamatkan dan 28 meninggal). Mereka adalah para pekerja perusahaan itu sendiri. Terowongan tersebut merupakan bagian dari ruang pelatihan PT Freeport (beritaburuhindonesia.com). Menjadi benar lah penelitian Cahaya, dkk (2012) yang terpublikasi lewat Social Responsibility Journal  (Vol. 8, Iss. 1), bahwa “indonesian’s low concern for labors issues”. Ini pun belum termasuk kerusakan lingkungan yang dimunculkan. Mulai dari hilangnya biodiversity hingga terbentuknya air asam tambang (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan).

Dan jangan tanya, tentang masyarakat di perbatasan Indonesia. Kerlap-kerlip negara tetangga seolah menertawakan masyarakat perbatasan Indonesia yang berada di sebelahnya.

***

“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Lirik lagu Koes bersaudara tersebut, mungkin perlu direvisi.

Rubrik Opini, Koran Fajar (Rabu, 04 Februari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar