Pada
suatu masa di sebuah negara yang bernama Indonesia, orang-orang hidup sejahtera
sebagaimana terlihat dari grafik peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) setiap
tahunnya. Data terakhir yang dilansir Biro Pusat Statistik (BPS 2015) di laman
daring bps.go.id menunjukkan adanya peningkatan pendapatan berdasarkan jumlah
nilai produk (barang dan jasa) yang dihasilkan Indonesia selama sepuluh tahun ini
(2005-2014).
Semua
masyarakat bekerja tanpa rintangan berarti. Penduduk desa bertani dengan suka
cita. Sementara penduduk desa yang lain bekerja dengan mengolah sumber daya
alam berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam yang tersedia. Sungguh makmur
negara itu. Sebab itu lah Koes Plus berdendang: “bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Orang
bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
***
Benar, NKRI
adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, di darat mau pun di laut.
Sebagaimana kata orang tua kita, negara ini ‘gemah
ripah loh jinawi’. Tapi tunggu dulu! Kiranya kebahagiaan berupa kelimpahan
anugerah tersebut bisa dipertanyakan kembali dengan menengok fakta-fakta lain
berikut ini.
Di depan
rumah, pemulung-pemulung bersetia memunguti sampah dan sisa makanan untuk
dijual demi mengisi perut pada hari yang sama. Setiap sudut kota dihiasi
gerombolan anak-anak miskin yang menengadahkan tangan. Anak-anak muda brutal
yang pengangguran tak ketinggalan. Sebagian mereka adalah orang desa yang lari ke
kota sebab tidak memiliki lahan untuk diolah sendiri di desa, pun dengan sistem
bagi hasil tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Pemandangan
di kota juga diselingi dengan tumpukan masyarakat yang mengantri sembako pada
hari raya. Tidak jarang menelan korban jiwa, demi untuk mendapatkan jatah
sembako yang ingin dinimaktinya di hari raya. Sebab yang mereka lihat di
televisi-televisi, kaum-kaum borjuasi merayakannya dengan pesta makanan yang
berlimpah.
Pemandangan
dari pelosok desa bercerita lain lagi. Para buruh tani berhadapan dengan
kenyataan pedih atas sistem bagi hasil yang tak jarang lebih berpihak pada tuan
tanah dan tengkulak. Mereka dirampas tanahnya oleh perusahaan-perusahaan
raksasa. Kasus perampasan tanah pertanian terjadi di Kabupaten Takalar
(Sulawesi Selatan) & Mamuju (Sulawesi Barat) pada rentang tahun yang sama
(2014). Lalu pada tahun 2013 lalu, terdapat 369 kasus konflik agraria di
Indonesia (meningkat sebanyak 171 dari 2012), dengan luas wilayah konflik
1.281.660.09 ha dan jumlah korban tewas sebanyak 21 orang (suaraagraria.com).
Sementara,
hasil bumi berupa tambang, minyak, dan gas alam jatuh ke tangan asing, yang keuntungannya
sebagian besar dibawa kabur ke luar negeri. Data terakhir yang dilansir BPS,
pada caturwulan III 2014, angka 274.733 milyar rupiah adalah capaian yang diterima
negara (PDB) dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Itu pun masih
dibedakan dengan lapangan usaha industri pengolahan migas sebesar 73.263 milyar
rupiah. Total nilai keduanya tidak kurang dari 347.996 milyar rupiah. Nilai
tersebut masih dalam rentang caturwulanan, yang artinya bahwa perusahaan
tambang & migas berpenghasilan 347.996 milyar rupiah dalam waktu empat
bulan saja.
Sebagai perbandingan,
untuk periode satu tahunan, pada 2013, perusahaan tambang & migas beserta
usaha pengolahannya berpenghasilan 1.287 trilyun rupiah. Ironisnya, angka
tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima masyarakat
di sekitar wilayah galian atau tempat perusahaan beroperasi.
Kesejahteraan
untuk skala negara pun, jika dibandingkan dengan total keuntungan yang
dihasilkan, masih jauh dari proporsional untuk perbandingan sumber daya alam
yang dikeruk. PT Freeport, misalnya. Keuntungan sebanyak 99% dari tanah Papua
yang memiliki 42 juta hektare hutan dengan keanekaragaman hayati, seperti bahan
tambang, minyak dan gas bumi, dibawa ke negara asal perusahaan PT Freeport.
Pemerintah hanya mendapatkan 1% sejak perusahaan ini berdiri (1973).
Lalu,
masih jelas terekam, pada 14 Mei 2013 lalu, terowongan PT Freeport runtuh dan
menelan 38 korban (10 diselamatkan dan 28 meninggal). Mereka adalah para
pekerja perusahaan itu sendiri. Terowongan tersebut merupakan bagian dari ruang
pelatihan PT Freeport (beritaburuhindonesia.com). Menjadi benar lah penelitian
Cahaya, dkk (2012) yang terpublikasi lewat Social
Responsibility Journal (Vol.
8, Iss. 1), bahwa “indonesian’s low concern for labors
issues”. Ini pun belum termasuk kerusakan lingkungan yang dimunculkan. Mulai
dari hilangnya biodiversity hingga
terbentuknya air asam tambang (Direktorat Sumber Daya Mineral dan
Pertambangan).
Dan
jangan tanya, tentang masyarakat di perbatasan Indonesia. Kerlap-kerlip negara
tetangga seolah menertawakan masyarakat perbatasan Indonesia yang berada di
sebelahnya.
***
“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail
dan jala cukup menghidupimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu
dan batu jadi tanaman.” Lirik
lagu Koes bersaudara tersebut, mungkin perlu direvisi.
Rubrik
Opini, Koran Fajar (Rabu, 04 Februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar