Rabu, 08 Juli 2020

Waktu yang Allah Kasih

Sumber: FB Fauzan Mukrim


Sebelum pandemi Covid_19 ini menyerang hampir setiap penjuru bumi, kerap kali ketika saya harus menginap di luar rumah untuk tugas kampus, sepenuhnya selalu saya usahakan membawa anak semata wayang saya: Abdullah. Dalam benak saya, selain karena ‘beban’ sebagai orang tua tunggal sementara kala itu karena ayahnya masih sekolah di Belanda, saya menyadari bahwa waktu bersama Abdullah tidak akan lama. Iya, tidak akan lama.

Anak kita tumbuh cepat sekali, kan?

Ketika dia memasuki usia sekolah, dia akan mulai meluaskan pergaulannya, setidaknya punya beberapa teman. Dia mulai akan membagi waktunya, untuk tugas, untuk bermain bersama teman-temannya. Mungkin saja, hanya akan ada sedikit waktu yang tersisa di malam hari untuk bercengkrama dengan orang tuanya.

Anak kita, ketika sudah remaja, mulai akan mengenal dunia yang lebih luas lagi. Ketika sudah kuliah, sudah bekerja, sudah menikah. Mereka akan memiliki dunianya masing-masing, dan kita tetaplah orang tua yang masih melihat mereka seperti anak kecil yang dapat kita peluk. Tinggallah kita tetap sebagai orang tua dengan hati yang masih sepenuhnya menaruh ruang untuk anak-anak kita dengan penuh, seperti ketika mereka baru saja dilahirkan. Padahal masa itu sudah lewat.

Maka hanya pada masa kecilnya ini saja, detik-detik emas membersamai Abdullah dapat saya nikmati dari pagi hingga pagi lagi. Istilah neneknya Abdullah, “hanya pada masa kecilnya, anak-anak dapat kita miliki”.

Menginsyafi itu, selalunya hati saya tidak pernah rela jika harus pergi tanpa membawa Abdullah. Saya sadari, bahwa saya akan rempong dan tidak maksimal pada pekerjaan saya. Tapi kita tidak bisa memiliki semua, dan saya memilih kehilangan beberapa hal dalam pekerjaan saya dibanding kehilangan waktu emas yang Allah kasih.

Tentu saja, kasus pada setiap ibu bekerja tidak selalu sama. Tidak berarti juga yang meninggalkan anak menjadi otomatis buruk. Tidak begitu.

Ini hanya tentang pilihan yang kita ambil, dan setiap pilihan punya alasannya masing-masing. Tapi, kita memilih satu hal, dan akan kehilangan hal lain. Ini tentang di mana hati kita menaruh porsi yang lebih banyak.

Maka ketika saat ini saya menjalani latsar (pelatihan dasar) CPNS secara virtual di rumah, saya percaya itu juga adalah bagian dari ‘waktu emas’ yang Allah kasih. Dengan segala kerempongan ini, saya patut bersyukur bahwa sejauh ini saya masih bisa setiap malam mengajak Abdullah berdoa sebelum tidur dan kepalanya terlelap di atas lengan saya, yang mungkin akan sulit saya lakukan jika latsar atau prajabatan ini dilaksanakan di asrama-asrama seperti di kala normal. Mengutip kata Fauzan Mukrim, “setiap detik sangat berharga karena ada yang terus berjatuhan tanpa bisa kita cegah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar