Rabu, 24 Juli 2019

Ucapan yang Ditancapkan



Ada sebuah episode tidak terlupakan ketika saya menempuh kuliah sarjana yang berhubungan dengan nilai. Episode ini selalu tertanam dalam ingatan saya yang tidak seberapa kuat, dan selalu melahirkan pemikiran semacam “wah dulu bisa kayak gitu banget ya?”

Kisah ini terjadi ketika saya masih jadi mahasiswa baru, dan mengambil mata kuliah, kalau tidak salah ingat, Perekonomian Indonesia. Dosennya luar biasa galak, dan sudah terkenal seantero fakultas. Waktu itu, saya sedang sibuk-sibuknya ikut UKM Paduan Suara, dan inilah sumber masalahnya.

Ketika pertemuan ketiga, saya tidak hadir kuliah tersebab menjalankan tugas negara sebagai anggota paduan suara di luar kota. Waktu itu, pengalaman keluar kota menjadi peristiwa pertama kali bagi saya untuk berkendara pesawat terbang. Dihinggapi perasaan buncah atas pencapaian bisa naik pesawat, saya rela-rela saja bolos mata kuliah Perekonomian Indonesia.

Akhirnya, saya kembali dari tugas negara dan hadir di pertemuan ketiga kuliah Perekonomian Indonesia. Sebelum memulai kuliah, sang dosen memberikan dua pertanyaan, yang entah dapat ilham darimana malah menunjuk saya untuk menjawab salah satunya. Saya bengong, bapaknya marah-marah. Katanya, itukan sudah dibahas dipertemuan sebelumnya dengan jelas sehingga semua mahasiswa wajib memahaminya. Ya piye, saya kan tidak hadir pertemuan sebelumnya. Saya diam dan tidak mampu membantah. Lalu si bapak malah naik pitam karena menganggap saya cueki, lantas menyuruh saya berdiri di depan kelas dan di sanalah malapetaka terjadi.

Bayangkan, seorang gadis berjilbab agak panjang dengan garis wajah kusut khas anak kos-kosan, menunduk di depan hampir lima puluh mahasiswa di kelas itu—kelas besar, gabungan dari beberapa jurusan di fakultas. Medeni, kalau kata orang Jawa.

Berdiri bukan karena dielu-elukan pujian hebat atau pintar, tapi karena dihukum tidak bisa menjawab pertanyaan yang sesungguhnya saya sendiri belum pernah pelajari sebelumnya. Inti malapetakanya bukan berdiri, tapi kalimat yang kemudian sang dosen muntahkan dan akan dikenang si gadis seumur hidupnya. “Mahasiswa ini, yang kayak gini, nanti kalau tertabrak mobil ya, ngga bisa geger otak. Tahu kenapa?”. Pandangan sang dosen menyapu seluruh peserta kuliah tapi tidak ada jawaban terdengar. “Ya karena dia ngga punya otak.”

Si dosen terbahak-bahak. Saya menangis dalam hati. Ya Allah… piye, sudah dikasarin, dipermalukan di depan umum pula dan tanpa rasa bersalah, sang dosen yang terhormat menganggap dirinya sedang melucu. Saya tidak tahu apa pikiran teman-teman saya kala itu. Sungguh mengenaskan jika mengingat bahwa sebagian di antara mereka juga ikut tertawa.

Cerita ini ditutup dengan saya lulus mata kuliah pak dosen dengan mengantongi nilai A, satu-satunya mahasiswa yang berhasil membawa nilai A keluar dari mata kuliah itu. Tentu saja karena ada semacam rasa jengkel sudah diperlakukan demikian sehingga saya belajar keras mempersiapkan ujian mata kuliah tersebut.

Luka tetaplah luka. Dia bisa termaafkan, tapi akan selalu ada di sana. Saya mengingat dan membawa memori tentang sang dosen dan ucapannya selalu, sepanjang perjalanan hidup saya. Bahwa ada saja orang di luar sana yang tidak bisa menjaga mulutnya, dan kita, dipersilakan memilih untuk takluk dan terpuruk atas ucapan-ucapan demikian, atau memilih menjadi lebih baik dari sangkaan orang tersebut.

Ini menjadi pelajaran berharga pula bagi profesi saya sekarang, untuk selalu mengusahakan berkata yang baik-baik di depan mahasiswa, semenjengkelkan apapun mereka. Kalaulah saya tidak bisa memperlakukannya sebagai anak didik, maka setidak-tidaknya saya harus melihat mahasiswa saya sebagai seorang manusia yang memiliki harkat dan martabat. Sebab memang, kata Pram, tugas mendidik adalah tugas memanusiakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar