Kamis, 25 April 2019

Menjelang Dua Tahun Anak : Belajar Merapikan Barang Sendiri



Tahun 1890 silam, seorang perempuan menjadi lulusan perempuan pertama pada fakultas kedokteran, Universitas Roma, sesuatu yang tidak lazim pada masanya. Beberapa tahun setelah lulus, si perempuan kemudian bekerja di sebuah klinik, kemudian memiliki seorang anak dari kekasihnya yang juga seorang dokter yang berpraktik di klinik yang sama. Karena kegagalan dalam menjalankan hubungan dengan kekasihnya, anak semata wayang itu kemudian diserahkan kepada pasangan lain untuk menjadi orang tua angkat sang anak. Merasa bersalah karena meninggalkan anaknya dalam pengasuhan orang lain, dia bertekad membantu banyak anak difabel yang kala itu tidak diterima di masyarakat Roma, untuk memberikan ruang gerak belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode yang menekankan pada perkembangan sensori anak tersebut kemudian dicontoh oleh banyak sekolah umum, dan nama si perempuan dipatenkan sebagai penemu metode pembelajaran tersebut.

Maria Montessori, namanya. Seorang peneliti yang meluangkan banyak waktunya untuk mendampingi proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus setelah merasa gagal mendampingi anaknya sendiri. Dari rasa bersalah itu, lahirlah sebuah metode yang pada hari ini banyak menjadi percontohan di negara-negara maju sebagai metode terbaik untuk tumbuh kembang anak usia balita hingga pra-remaja.

***

Bulan April ini, saya memulai bacaan saya pada buku yang mengupas metode Montessori—setiap bulan pada tahun ini saya menargetkan membaca minimal tiga buku. Alhamdulillah, baby A sudah berusia 22 bulan. Sudah tambah besar, seiring dengan tambah banyak pertumbuhan fisik yang terlihat darinya, demikian juga perkembangan motorik dan kemampuannya untuk mulai belajar hal-hal baru. Karena alasan itu, penting rasanya untuk terus menyesuaikan kapasitas diri saya sebagai ibu dengan pertumbuhan dan perkembangan baby A dengan terus belajar.

Bukan hal-hal besar sih sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi padanya kalau dari kaca mata kita sebagai orang dewasa, tapi amat signifikan untuk kaca mata saya sebagai seorang ibu yang melihat dia setiap hari bertumbuh. Mengembalikan buku dan alat tulisnya ke meja setelah menulis, misalnya. Ini terjadi semalam setelah kami selesai beraktivitas di ruang keluarga, ruang yang berada tepat di depan kamar kami (baby A masih tidur dengan ibunya).

Biasanya, baby A suka nimbrung kalau saya sedang shalat. Entah ikutan sujud, ikutan rukuk, minta gendong, sampai naik di punggung saya (mamak-mamak pasti sudah ngerti ini kan?). Itu sudah lumayan dibanding kalau baby A nangis atau minta ditemani main pas saya izin padanya untuk shalat. Tadi malam, setelah saya selesai berwudhu, tidak seperti biasanya, dia tidak ada di depan pintu kamar mandi sambil berurai air mata menunggu saya di sana. Malah, dia sedang berbaring di lantai sambil memegang buku yang hari itu tuntas saya baca dan lupa saya masukkan di rak lemari buku. Barangkali karena mudah dijangkaunya, dia mengambil yang itu. Bukunya tipis sehingga dengan satu tangan dapat dia angkat dari meja.

Ketika saya sudah mau shalat, dia masih asyik membuka halaman demi halaman buku itu, dengan bibirnya yang komat-kamit, barangkali meniru gaya saya membaca? Tumben dia tidak ‘ngeh’ kalau saya mau shalat. Saya akhirnya memulai takbir di rakaat pertama dengan seorang bayi besar di dekat saya berbaring dan sibuk dengan buku yang belum dapat dibacanya.

Selesailah tiga rakaat tanpa terdistraksi sama sekali oleh baby A, sebuah anugerah! Setelah salam, dia masih tidak memedulikan saya. Biasanya kalau saya sudah salam, dia mulai mengajak saya bicara karena sudah paham bahwa saya sudah boleh berbicara dengannya. Akhirnya, saya memegang kepalanya, meniupkan doa di ubun-ubunnya, mengirim doa ke pemilik langit, semoga dia jadi anak yang shaleh. Robbiy habliy minasshalihiyn…

Baru setelah saya tiupkan doa itu, dia akhirnya mengajak saya bicara. “Ibu alat… (Ibu shalat)”, katanya. Saya tersenyum, dia bangkit dan duduk. Dia melanjutkan bacaannya dan membiarkan saya duduk sejenak berdoa. Saya terharu dong, pastinya.

Ketika saya berdoa, sayup suaranya terdengar, “ulis… mau ulis (tulis, mau tulis)”. Saya melirik ke meja kerja saya, lalu melihat ada stabilo hijau di sana. Segera saya meraihnya, memberikannya pada baby A, dan menutup shalat Maghrib dengan dua rakaat. Tuntas dua rakaat qabla Maghrib, eh dia masih sibuk dengan buku dan stabilonya, dengan hasil buku yang sudah penuh coretan stabilo dan celana tidur yang ikut tercoret juga.

Setelah saya merapikan alat shalat, saya mengajaknya ke kamar membaca buku cerita untuknya. Dan waw! Tanpa instruksi, dia mengembalikan buku dan stabilonya ke atas meja. Saya hening beberapa detik, dan segera menyadari sikapnya yang mulai belajar merapikan benda-benda setelah dia pakai. “Aruh i meja… (taruh di meja)”, katanya. Saya sambut dengan, “wah, anak ibu tambah pintar, sudah bisa merapikan barang ya, Nak”.

Sebenarnya itu bukan sesuatu yang tiba-tiba sih. Hampir setiap selesai membaca atau bermain, saya selalu meminta tolong padanya untuk merapikan alat-alat yang sudah dipakainya, meskipun dia hampir tidak pernah peduli dengan ajakan saya. Kadang saya sibuk merapikan mainan yang sudah dimainkan, eh dia sibuk bongkar mainan barunya. Maka cara lain untuk membuatnya paham adalah saya sengaja memilih buku cerita di serial “The 7 Habits of Happy Kids” karya Sean Covey.

Ada satu cerita dalam buku itu, tentang seekor kelinci yang bersedih kehilangan sepatu basketnya karena masalah kamar yang amat berantakan. Akibat kelamaan mencari dan harus merapikan kamar terlebih dahulu, dia kehilangan kesempatan bermain bersama teman-temannya di lapangan basket. Cerita ini, menurut saya, bagus untuk baby A agar dia tahu pentingnya merapikan barang-barang miliknya karena akan berpengaruh pada aktivitas-aktivitasnya yang lain. Jadi bukan doktrin semata seperti “kamu harus rapikan barang!” tanpa pemberian pemahaman kenapa dan apa konsekuensi dari barang yang tidak rapi. Begitu terus usaha saya, tapi dia belum bisa merapikan barangnya sampai kejadian tadi malam itu. Alhamdulillah, Nak, kamu sudah semakin pintar dan mulai belajar melakukan hal-hal sederhana dengan mandiri.

Saya tidak tahu, apakah nanti atau besok setelah menulis, menggambar atau bermain balon dia akan masih merapikan barangnya. Barangkali tidak, barangkali sudah konsisten, atau mungkin tergantung mood-nya. Hanya saja, yang (seharusnya) selalu saya ingat, saya harus tetap mendorongnya untuk merapikan barang-barangnya, bersabar jika dia tidak mendengar instruksi saya, dan terus memberi contoh di depan matanya. Iya kan, ya?
***
Saya bukan dr. Maria Montessori yang memiliki kebaikan untuk anak-anak di seluruh dunia, dan tidak juga perlu menjadi dia yang harus kehilangan seluruh momen dengan anak kandung sendiri untuk dapat menumbuhkan ide dan kemauan bermanfaat bagi orang lain. Saya kini bekerja, ayah Abdullah sedang sekolah di negeri yang jauh, tidak apa-apa kan kalau dengan perasaan egois disertai keterbatasan-keterbatasan itu saya tetap mengharapkan baby A tumbuh penuh cinta dan tetap terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang bahagia dari kami, orang tuanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar