Selasa, 13 November 2018

Yang Membedakan Kita Adalah Pengetahuan

Kredit Pribadi

Saya baru selesai membaca buku otobiografi ini setelah kurang lebih tiga hari menjadikannya selingan di antara kewajiban-kewajibam dan kegiatan-kegiatan saya yang lain. Awalnya saya niatkan untuk menyelesaikannya satu hari saja karena ukurannya yang tipis. Apalah daya, harapan yang tinggi tidak dibarengi dengan usaha maksimal. Itupun saya khatamkan saat menunggu jadwal antrian di Balai Pengobatan Gigi dan Mulut yang super lama dan bikin ngantuk. Saya sudah selesai baca, antrian saya masih panjang loh, saking panjangnya. Hehe...

Alhamdulillah, tadi sewaktu berangkat dari rumah masih sempat memasukkan buku ini di tas. Padahal, sempat muncul rasa malas buat memasukkan buku tadinya. Ini karena sebelum-sebelumnya ke puskesmas untuk periksa gigi kok tidak pernah sempat membaca buku karena antrian yang pendek. Baru duduk, tiba-tiba nomor antrian sudah dipanggil sama petugas registrasi. Bahkan kadang tidak sampai mengantri alias langsung saja daftar terus masuk ruang poli gigi.

Hal yang kurang saya sadari adalah kalau ke balai akan lama mengantri karena balainya merupakan balai pusat sekota Makassar, sementara tadi di puskesmas cuma sekelurahan. Ya elah, Andis mah gitu 
-_-

Ya, sekali lagi, tetap alhamdulillah, masih bawa buku. Isi bukunya, meskipun tipis, tapi amat bergizi. Ini seperti kamu ketemu orang berilmu dan bijak. Tidak banyak bicaranya, tapi kamu amat menanti sepatah-dua patah kata keluar dari mulutnya. Jika pun ada kalimat yang kamu dengar darinya, kebaikan jua isinya.

Nah begitu persis! Buku tulisan Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini tentang perjalanan hidupnya belajar di Mekah sampai menjadi khatib dan guru di Masjidil Haram. Masya Allah, al fatihah baginya.

Dia menuliskan kisah hidupnya pada masa remaja. Waktu itu bahkan Indonesia belum ada loh, masih Jawa/Melayu yang dijajah Belanda. Bayangkan deh, saking lamanya buku ini dan masih terus terjaga. Masya Allah, ngga salah yah kata Opa Pramoedya, menulis adalah kerja keabadian.

Dia ke Mekah, awalnya untuk haji bersama keluarga. Bisa ditebak dong, dia dari golongan keluarga Minangkabau yang kaya rayo. Sampai di Mekah, orang-orang tidak langsung melaksanakan ritual haji nih kayak sekarang. Namun, dimulai dengan beberapa bulan belajar Ilmu Nahwu (Bahasa Arab). Dari sini, dia terpikat untuk memperdalam ilmu agamanya.

Sekembali ke Indonesia, dia terus berharap bisa ke Mekah lagi menimba ilmu. Gayung bersambut, dia berhasil ke sana atas jasa seorang guru dari Arab yang kebetulan singgah berlayar di tanah Minangkabau.

Di Mekah, dia terus belajar. Berbagai kemudahan datang padanya. Hingga akhirnya menikah dan beranak di sana. Karirnya sebagai pengajar di Masjidil Haram amat tersohor, hingga terdengar kabar sampai di kampung halaman. Dia kemudian banyak menulis buku tentang ilmu agama Islam dan dikirim ke Indonesia, yang pada saat itu masih cukup awam dan banyak dijejali pemikiran-pemikiran dari orang Belanda.


Masya Allah, isinya banyak membahas tentang keutamaan menuntut ilmu. Betapa orang-orang yang mencintai ilmu amatlah beruntung. Mereka adalah pewaris para nabi, ketika mereka berkumpul dan belajar maka para malaikat merendahkan sayap bagi mereka, ikan-ikan di lautan mendoakan mereka, mulia diri para pencari ilmu dalam pandangan dunia, berwibawa mereka ketika dipandang, yang mencarinya adalah mujahid, yang mengajarkannya adalah para dermawan yang bersedekah. Barakallahufiykum, untuk semua para pecinta ilmu di mana pun berada, dan semoga semangat untuk terus belajar terus ada untuk kita semua ya. Doakan saya dan keluarga kecil saya bisa merawat semangat yang sama dengan yang dimiliki syaikh dari Minangkabau ini ya :)

2 komentar: