Sabtu, 22 Desember 2018

Pada Usia Satu Tahun Anak: Memahami dan Menghargai Keinginannya


“Dia sudah banyak maunya. Sudah bisa pilih-pilih mainan sendiri. Dia juga sudah bisa menolak hal yang tidak disukainya dan mengerti bahwa kata no! yang kerap diucapkanya adalah kata untuk sebuah penolakan.” Demikianlah kira-kira balasan pesan singkat melalui media WA ketika seorang teman di Groningen bertanya tentang kabar anak saya, bayi A.

“Oh bagus, itu artinya dia tambah pintar. Dengan adanya keinginan, itu menandakan bahwa dia sudah jadi manusia seutuhnya”, jawab si teman. Lalu saya pun luluh dan terharu.

Kenapa ya, saya tidak berpikir positif begitu? Saya malah cenderung merasa ribet ketika anak saya telah bertumbuh diiringi dengan keinginan dan hajat yang kian meningkat. Sudah terbayang kerempongan di sana-sini untuk meladeni keinginannya. Padahal benar kata si teman tadi, yang adalah lulusan sarjana psikologi, bahwa munculnya kemauan-kemauan sang anak adalah proses dari tumbuh kembangnya. Seharusnya disyukuri dan didukung ke arah-arah yang positif. Iya kan?

Pendidikan di dalam rumah, bukankah harusnya menempatkan sang anak juga sebagai subjek? Yang dengan itu, kita sebagai orang tua menghargai keinginan-keinginannya dan bukannya malah memaksakan keinginan-keinginan kita saja kepadanya. Pendidikan yang berakar dari lingkugan keluarga, bukankah harusnya menanamkan nilai egaliter sejak dini? Yang dengan itu, menghitung dan menganggap keinginan sang anak, bukannya malah menyepelekannya dengan dalih “kan dia masih kecil”.

Rasulullah sendiri, amat menghargai anak-anak. Suatu ketika beliau sedang shalat mengimami para jamaah. Ketika sujud, para sahabat merasa heran karena beliau tidak juga memberi aba-aba untuk duduk di antara dua sujud. Lalu, seorang sahabat bernama Ubay memutuskan bangkit dari sujudnya, kemudian mendapati seorang bocah di pundak Rasulullah dan akhirnya sang sahabat sujud kembali. Setelah rampung shalat jamaah itu, ditanyalah Rasulullah, “Engkau telah memanjangkan sujudmu, ya Rasul Allah. Kami mengira telah terjadi sesuatu padamu ataukah telah turun wahyu kepadamu saat itu.”

“Tidak benar semua itu. Cucuku (Hasan dan Husain) naik di atas punggungku. Karenanya, aku tidak ingin segera (menurunkannya) sampai dia menyelesaikan hajatnya”, jawab Rasul agung itu.

Nah kan. See? Hiks… Rasulullah saja, seorang yang hidupnya amat sibuk dengan perjuangan menyebarkan kebaikan, tidak keberatan memanjangkan sujudnya ketika ada anak kecil yang ingin bermain-main di punggungnya, bahkan ketika saat itu dia tengah shalat. Lalu kenapa sih saya ini, mamak yang nongkrong di rumah, suka ribet sendiri meladeni anak semata wayangnya. Hiksss…

Malam ini, ketika saya menulis tulisan ini, bayi A sedang tidur lelap. Sebelum tidur, sempat terjadi drama yang membuat bayi A menangis sedih. Pasalnya, si mamak mengambil paksa sikat gigi bayi A ketika dia masih ingin menyikat giginya dan si mamak merasa benar sendiri dengan berdalih sudah waktunya tidur dan waktu sikat gigi sudah habis. Padahal tidak ada susahnya memberi waktu bayi A sedikit lagi dan membiarkan dia menyelesaikan hajatnya. Padahal apa salahnya bersabar menunggu sebentar si bayi A yang sedang bahagia menyikat giginya. #MamakMenyesal

Karena kepikiran sama kejadian itu dan merasa bersalah, sehabis menidurkan bayi A, langsung ambil buku “Cara Nabi Menyiapkan Generasi” karya Syaikh Jamal Abdurrahman (terima kasih pak suami sudah belikan buku ini). Langsung tertohok-tohok baca isinya, terutama ketika baca kisah nabi yang pas sujud lama tadi, demi menunaikan hajat sang cucu. Ada juga kisah ketika beliau memimpin shalat jamaah, lalu mempercepat shalatnya ketika mendengar ada bayi yang menangis.

Sumber : Kredit Pribadi

Teringat peristiwa dua hari lalu, ketika bayi A menangis ingin menyusu dan saya buru-buru mau shalat lalu ditegur sama mama dan tante di rumah. “Susui dulu anakmu, baru shalat. Tidak sah shalatmu jika kamu membiarkan anakmu menangis begitu.” Ternyata memang benar, bahkan nabi pun menyegerakan untuk menyelesaikan shalatnya ketika ada bayi menangis karena khawatir di antara jamaahnya ada ibu sang bayi yang sedang menangis. Masya Allah, allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Sungguh engkau mulia dan paling pantas menjadi panutan kami dalam setiap tindak-tanduk, ya Rasul kami, Muhammad bin Abdullah.


Well, saya mungkin belum mampu dikenang sebagai ibu penyabar yang mampu mengerti dan memahami keinginan anak bayinya sebagaimana akhlak Rasul pada cucu-cucunya. Setidak-tidaknya, ketika suatu waktu bayi A membaca tulisan ini, dia tahu bahwa saya selalu berusaha untuk memantaskan diri menjadi ibu terbaik baginya, dengan terus berusaha dan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sudah saya lakukan. Ibu sayang kamu, Nak! Maaf ya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar