Kamis, 02 Agustus 2018

Pada Usia Satu Tahun Anak: Mengenalkan Buku



Salah satu hal yang justru membuat saya dihinggapi perasaan bahagia jika mengingat bahwa saya sudah terhitung lambat melanjutkan sekolah lagi adalah anak saya sendiri. “Nggapapa deh, belum sekolah sekarang, mungkin memang ini justru yang Allah pilihkan sebagai jalan paling baik buat saya sebagai ibu”, begitu pikir saya. Mungkin justru kalau saya sekolah dengan kondisi suami juga sekolah, apalagi jika di luar negeri dengan pressure yang jauh lebih berat, saya akan lalai menunaikan tugas sebagai ibu. Meksipun sekarang juga, saya belum menjadi tipikal ibu yang ideal sih, tapi paling tidak, dua hal baik yang bisa saya berikan untuk anak saya adalah: waktu dan keberadaan. Dua hal yang mungkin akan sangat sulit saya bagi kepadanya jika saya sibuk dengan kewajiban-kewajiban sebagai mahasiswa.

Well, mungkin banyak ibu-ibu di luar sana yang bisa sembari sekolah dan tetap bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak mereka, atau mungkin justru lebih baik daripada yang bisa saya lakukan untuk anak saya. Sayangnya, saya bukan ibu yang bisa melakukan itu. Maksud saya, setelah belajar dari sekian pengalaman kursus singkat yang saya jalani di kampus, saya sadar tidak mampu menjalani dua peran yang meminta waktu yang tidak bisa disambi dalam rentang waktu bersamaan. Intinya, meskipun di awal-awal saya cukup bersedih hati karena belum bisa lanjut sekolah lagi sebagaimana orang-orang di sekeliling saya saat ini, sekarang perasaan sudah jauh lebih baik. Waktu memang adalah obat terbaik ya?

Bahkan, tidak jarang saya mengucap syukur justru karena Allah beri waktu untuk bisa mendampingi tumbuh kembang anak saya sepenuhnya. Hal yang mungkin jadi mahal bagi ibu-ibu lain di luar sana, dan justru luang bagi saya dan anak saya. Alhamdulillah, selalu ada hikmah dan hal baik yang dapat dipetik dari setiap kejadian, bahkan jika pun itu tidak sebagaimana yang kita inginkan kan?

Nah, salah satu hal positif yang langsung terasa dampaknya sejak saya mendampingi tumbuh kembang anak saya dari dia lahir hingga sekarang adalah melihatnya suka sekali dengan buku. Sekarang ini, kalau dia melihat buku-bukunya, dia akan mengambilnya lalu minta dibacakan. Karena masih satu tahun dan belum bisa bicara, dia meminta dengan cara menaruh buku di tangan salah satu dari kami, orang tuanya, lalu menunjuk-nunjuk buku dan berkata “uuuh uhhh…!”. Maksudnya barangkali, “bacakan itu, please!”. Hehe… Melihat tingkah polanya seperti itu, membuat kami tertawa bahagia, tentu saja.

Dulu, sebelum dia berusia setahun, saat bangun tidur, sering sekali terjadi dia bangun-bangun langsung tunjuk rak lemari buku yang berada tepat di samping tempat tidur kami. Maksud dia barangkali, “Itu Ibu, buku adek, tolong ambil dan bacakan!”. Lucunya, pas saja yang ditunjuk jemari mungilnya adalah jejeran buku-buku di mana saya sering meletakkan bukunya di sana. Dia baru berhenti menunjuk-nunjuk ketika kami mengambilkan dan membacakannya.

Saat saya menulis tulisan ini, usianya sudah menginjak 14 bulan kurang 3 hari. Sehari sebelumnya, dia menunjukkan kemampuan baru, yakni meminta dibacakan oleh orang lain selain orang tuanya. Kejadiannya kira-kira pada sore hari, ketika saya dapati dia masuk di kamar Bu Rini lalu menunjuk buku Mas Riffat (anak Bu Rini yang berusia 5 tahun). Bu Rini adalah ibu kos kami, dan beliau memang dekat dengan anak kami. Seisi rumah mengajarinya memanggil Bu Rini dengan sebutan “bude”. Karena itu, mungkin masih wajar jika setelah orang tuanya, beliaulah yang kemudian menjadi alternatif untuk jadi orang yang bisa diaminta agar dibacakan buku. Meskipun dekat dengan Bu Rini, bagi saya, kemampuan anak kami untuk secara otomatis meminta dibacakan buku selain dari dua orang tuanya, yang memang secara sengaja mendekatkannya dengan buku, adalah satu hal yang teramat membahagiakan. Kecil tapi membekas di ingatan saya sebagai ibu, insya Allah. Ini artinya dia sudah bisa berhubungan dengan orang lain untuk belajar bersama buku. Pengalamannya dibacakan buku-buku sudah mulai meluas, di luar lingakaran keluarga utama. Alhamdulillah.

Sejak usia satu tahunnya pula, saya sudah dua kali membawanya ke perpustakaan umum di dekat rumah, semata untuk mengenalkannya pada perpustakaan. Di lain waktu, saya ingin menulis tentang perpustakaan yang ada di negara Belanda ini (doakan ya semoga bisa benar-benar ditulis).

Sebenarnya, sebelum usia satu tahun pun, beberapa kali saya sudah membawanya ke perpustakaan secara tidak sengaja. Misalkan, saat saya mengikuti library tour dan ketika saya dan ayahnya mendaftarkan dia sebagai anggota perpustakaan. Di negara ini, sejak bayi sudah keluar dari perut ibunya, dia sudah boleh jadi anggota perpustakaan umum dengan fasilitas peminjaman 25 buku nyata dan 10 buku digital sekali pinjam yang durasinya selama empat pekan sekali peminjaman. Itu semua gratis sampai usia si anak 18 tahun.

Kredit Pribadi : salah satu sudut perpustakaan umum untuk anak-anak


Dua kali kunjungan ke perpustakaan, dua kali dia menikmati suasana yang penuh dengan buku-buku dengan aneka ragam bentuk dan tekstur yang disediakan untuk anak-anak. Dia senang dan sumringah. Gigi-gigi putihnya kelihatan melulu gara-gara bahagia sekali bisa ke sana. Hehe…

Kredit Pribadi : Bayi A pegang buku di perpustakaan


Alhamdulillah, bayi A juga sekarang sudah bisa mengenal benda-benda lewat buku-buku bergambarnya. Dia bisa menunjuk-nunjuk benda-benda yang saya atau ayahnya sebutkan. “Mana matahari, Nak? Mana singa, Nak? Kalau Knuffie si kelinci yang mana?”. Lalu dia akan menunjuk sambil bilang “Uuuuh, uuhhh”. “Oooooh, itu! Pintar anak ibu”, puji saya, membesarkan hatinya.

Kredit pribadi : Buku Bayi A yang berada di atas buku ibunya


Alhamdulillah, percakapan-percakapan seperti itu menjadi warna yang cerah di hari-hari saya. Mungkin bayi A tidak akan mengingat masa-masa ini, sebab masih terlalu kecil untuk dapat merekam pengalaman-pengalaman di memorinya. Jadi, apa yang saya lakukan sebenarnya untuk kebahagiaan diri saya sendiri sebagai seorang ibu, mencipta kenangan-kenangan manis bersama bayi A, anak saya.

Soal membaca, saya punya sedikit tips untuk dapat meningkatkan kemampuan verbal anak ketika orang tua membacakannya buku. Saya dapat dari artikel yang ditulis Anne C. Hargrave dan Monique Sénéchal (2000) yang dipublikasikan di jurnal, ‘Early Childhood Research Quarterly’. Menurut penelitian tersebut, anak-anak akan lebih cepat merekam kata-kata dan kemampuan verbalnya pun meningkat ketika dibacakan dengan cara membaca dialogis (dialogic reading) dibanding membaca seperti biasa (regular reading). Apa sih membaca dialogis itu?

Program membaca dialogis ini, pertama-tama dikembangkan oleh seorang peneliti bernama Whitehurst bersama para koleganya. Programnya punya tiga prinsip utama. Apa saja?

Pertama, mendorong anak untuk berpartisipasi. Orang tua harus kreatif mendorong anaknya untuk turut serta sebagai peserta belajar, bukan cuma penerima materi. Menjadi peserta artinya si anak juga turut aktif berperan ketika orang tuanya membacakan buku, bukannya jadi pasif. Hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mendorong anaknya adalah memberi pertanyaan sederhana seperti “mana buku, Nak?”. Untuk usia setahun, anak-anak sudah bisa menunjuk, dengan orang tua mencontohkan terlebih dahulu. Jangan langsung berharap anak tahu setelah sekali mencontohkan ya! Anak suka dengan pengulangan. Beriring kemampuan anak menerima dan mencerna bahan bacaan, orang tua sudah bisa meningkatkan pertanyaan dengan, “apa nama binatang ini, Nak?”, misalnya. Sampai nanti sudah bisa ditanya dengan pertanyaan yang butuh jawaban yang lebih panjang seperti: “kenapa ini kucingnya nangis, Nak?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lebih baik dibanding pertanyaan yang hanya butuh jawaban “yes-no” saja. Pertanyaan-pertanyaan aktif seperti itu juga akan meningkatkan kemampuan berbahasa anak, sebab dapat melatihnya berbicara lebih banyak ketika menjawab pertanyaan yang diajukan orang tuanya.

Kedua, berikan tanggapan (feedback). Tanggapan ini sebagai tanda bahwa kita, orang tua, memperhatikan dengan baik si anak. Tanggapannya bisa berupa memuji ketika dia bisa menjawab dengan benar, menambahkan informasi-informasi tambahan ketika dia menjawab secara singkat, atau mengoreksi kesalahannya.

Ketiga, menyesuaikan kemampuan anak membaca dari waktu ke waktu. Anak yang sudah mahir menunjuk-nunjuk benda, bisa diajarkan untuk menyebutkan sendiri benda-benda yang ditunjuk. Dengan ini, kemampuan anak akan bertambah seiring waktu.

Saya juga masih mempraktikkannya. Kadang juga, dalam sehari kelupaan membacakan anak kami buku. Tapi sepanjang kami mampu, kami mengusahakan anak kami dekat dengan buku. Sekarang, ketika kami keluar kota dengan perjalanan jauh, kami membekali bayi A dengan buku untuk dibaca di kereta atau saat sedang ikut pengajian.

Sebenarnya, usaha mendakatkan anak kami dengan buku sudah kami lakukan sejak awal-awal bulan kelahirannya. Dimulai dengan buku-buku yang bisa digigit dan diremas untuk merangsang motorik halusnya. Bahkan, sejak dalam kandungan, meski saya bukan mahasiswa yang wajib memegang buku, saya biasakan membaca sambil memegang perut atau mengeraskan suara agar dia mendengarnya di dalam janin. Usaha-usaha semacam ini terus kami lakukan sebagai orang tua, untuk memenuhi haknya sebagai seorang anak. Semoga kami bertiga bisa tumbuh bersama. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar