Senin, 28 Mei 2018

Pada Usia Satu Tahun Anak: Mendampingi Proses Makannya


Belum lagi setahun menjadi ibu, saya harus jujur bahwa begitu banyak kesalahan yang saya sengaja maupun tidak sengaja, telah mewarnai hari-hari saya bersama Abdullah, buah hati semata wayang saya. Belakangan, karena tingkahnya yang kian aktif, hampir-hampir sehari tidak terlewatkan dengan kecelakaan-kecelakaan kecil. Entah jatuh duduk saat mencoba berdiri, entah terbentur kepalanya di kursi atau tembok, entah jidatnya dipukul sendiri pakai gelas beling, dan kejadian-kejadian mendebarkan lainnya yang buat sang mamak dag-dig-dug. Sehari yang lalu malah, setelah dia bersujud dengan sengaja di lantai, dikiranya lantai itu lembut seperti kasur sehingga dihentakkannya kepala menuju lantai dengan kuat, maka keluarlah darah bercucuran mengiringi bunyi ‘dum!’ dari gesekan kepalanya dan karpet di lantai. Belum ditambah suara tangisnya yang melengking dan buat mamak-nya panik dan pengin nangis.

Selain drama-drama kecelakaan yang terjadi karena rasa awas saya padanya yang mungkin masih kurang, dalam soal makanan pun, saya juga masih banyak kurangnya. Sewaktu usia Abdullah menginjak masa pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), saya juga sempat merasa gagal dalam masa beberapa bulan. Abdullah susah sekali untuk makan. Didorongnya makanan di mangkuk dengan tangannya, dilepehkannya sari-sari buah dari mulut, atau malah menangis minta turun dari kursi makannya saat tiba waktunya makan. Waktu itu, saya kekeh memberikannya makanan yang saya racik sendiri dengan tangan saya, pula dengan campuran bahan makanan kaya nutrisi yang saya beli sendiri di pasar ikan di pusat kota Groningen. Apalah dapat dikata, Abdullah tidak menyukai hasil karya ibunya itu. Saya jadi tidak bersemangat untuk membuatkannya makanan. Jika saya berhasil memasukkan beberapa cubit roti ke mulutnya dan ditelan, itu saja sudah buat saya kadang bahagia, saking susahnya dia makan. Maka saat itu, saya pun tidak lagi memaksa diri. Toh Abdullah juga sehat-sehat saja kelihatannya dan merasa cukup dengan ASI yang dia dapatkan dari tubuh saya.

Sampai suatu ketika, saya membaca tulisan seorang dokter anak di Surabaya tentang pentingnya memberi makanan bernutrisi seimbang pada bayi. Memang, tulisnya, anak bisa saja terlihat ‘baik-baik’ saja, tapi orang tua tidak boleh lepas tangan untuk tetap memberinya makanan seimbang, karena dampaknya baru dapat terlihat setelah anak besar. Indonesia menempati salah satu negara dengan angka indeks tertinggi yang anak-anaknya menderita stunting. Stunting dapat dilihat dari ukuran tubuh yang pendek dari rata-rata anak pada umumnya dan si penderita akan mengalami masalah pada bagian sistem otaknya seperti lambat berpikir dan susah mencerna proses pembelajaran. Penyakit ini susah sekali disembuhkan, dan hanya dapat dicegah sejak anak-anak masih balita. Cara mencegahnya adalah memberikan makanan seimbang. Dalam website si dokter, disediakan hitung-hitungan seberapa banyak kandungan nutrisi yang minimal harus dikonsumsi oleh balita.

Jleb, jleb, jleb!!!

Hancurlah hati mamak membaca semua itu, mengingat Abdullah hanya mengandalkan ASI dari tubuh saya hingga usianya menginjak delapan bulan. Tidak menunggu waktu lama, saya carikan Abdullah salmon, sayur-mayur dan buah-buah ke supermarket lagi di hari yang sama. Atas saran Bude Nunung, seorang bude yang membantu kami di Groningen, saya pilihkan sumber makanan organik untuk Abdullah. Memang harganya lebih mahal sedikit dibanding makanan non-organik yang banyak dijual di toko-toko dan pasar, tapi memastikan semua yang masuk ke dalam perut Abdullah adalah makanan dan minuman yang bebas dari zat kimiawi adalah jauh lebih penting dari selisih harga tersebut.

Namun, meski sudah saya buatkan lagi makanan dengan semangat empat lima, Abdullah belum juga mau makan. Lalu saya ke supermarket lagi dan lagi, dan mulai berdamai dengan hati untuk tidak ngotot dengan makanan hand-made. Saya akhirnya membeli bubur olahan gandum dan beras organik, siapa tahu Abdullah mau memakannya. Membeli bubur bayi sebenarnya sudah sejak lama disarankan mama saya dan mertua saya di Indonesia. Akan tetapi, saya terus saja berkeras hati untuk tidak membelikan Abdullah makanan olahan.

Lantas yang terjadi adalah, setelah saya cobakan bubur tadi ke Abdullah, ternyata ludes sampai sendok terakhir! Ya Allah, ternyata anakku maunya yang olahan dan mamak-nya malah bertahan pada makanan alami buatan sendiri selama tiga bulan ini.

Melihat Abdullah makan lahap, betapa buncahnya hati saya. Gembira tiada terkira. Apa yang saya impikan bagi buah hati saya telah jadi nyata dan saya saksikan di depan mata saya sendiri. Tidak peduli ini lebay, tapi saya sungguh merasa bahagia dengan itu. Saya sampai meminta kepada orang-orang di sekitar kami untuk tidak menegur Abdullah saat makan, saking takutnya saya jika dia tiba-tiba kembali pada kebiasaan lamanya : malas makan.

Seminggu berselang, Abdullah mulai ogah-ogahan makan lagi. Mamak pun bingung lagi. Akan tetapi, waktu itu saya sudah jauh lebih kuat dan menyadari kalau makan atau tidaknya Abdullah adalah tanggung jawab orang tuanya sepenuhnya. Jika dia menolak makan, maka orang tuanyalah yang kurang kreatif dan kurang mau belajar mencari cara agar dia mau makan. Abdullah masih bayi dan belum tahu betapa pentingnya aktivitas makan untuk hidupnya.

Sampai sekarang, saat usia bayi Abdullah sudah menginjak usia yang ke-11 bulan, ritme makannya masih berubah-ubah. Kadang dia lahap, kadang antara lapar tapi malas makan. Tapi beriring hari, saya pun mulai belajar banyak untuk mendampingi bayi Abduulah makan dengan cara-cara yang lebih variatif.

Jika pagi hari, saya tidak memberi bayi Abdullah sarapan berat seperti bubur dicampur sayur dan lauk sebelum jam 9. Kenapa? Karena setiap dia bangun di sekitar pukul 6-an, dia sudah dalam keadaan kenyang dengan ASI. Dia selalu bangun dengan kondisi menyusui, atau baru saja menyusui. Butuh waktu satu hingga dua jam untuk menyerap ASI tersebut bagi tubuhnya, dan membuatnya lapar kembali. Pada rentang waktu tidak boleh diberi makanan berat itu, dia masih boleh jika mau makan yang ringan-ringan seperti buah-buah dan gorengan (ups!).

Jika siang hari, saya beri Abdullah makanan yang lebih banyak dari porsi waktu sarapan. Kenapa? Karena siang hari dia akan bangun dari tidur siangnya dalam keadaan lapar, dan dia pun butuh lebih banyak energi untuk merangkak ke sana kemari. Menu makan siangnya sering saya tambahkan yogurt dan buah-buahan sebelum atau sesudah menu utama.

Jika menjelang malam hari, waktu ini yang kadang agak tricky. Pada satu waktu dia bisa lahap sekali karena kecapaian main, di waktu lain dia menolak entah mengapa. Akan tetapi, saya tentu tidak boleh menyerah. Saya tetap harus menyuapinya sebelum ayahnya pulang ke kampus, dan dengan itu, ayahnya bisa bermain bersama Abdullah tanpa terbebani pekerjaan suap-menyuap sembari ibunya bisa mengerjakan yang lain.

Kadang kala, saat Abdullah ogah-ogahan makan, saya menyelingi dengan mengganti-ganti jenis mainan di atas meja makannya. Dia tipe bosanan pada mainan. Maka setiap kali ada mainan baru di depannya, ini akan ampuh membuatnya tidak merengek untuk menyudahi proses makannya dan akhirnya mau membuka mulutnya lagi. Namun jika itu pun tidak ampuh lagi, maka saya akhirnya mengambil telepon pintar dan memutarkan lagu-lagu anak di depannya. Yang terakhir ini paling membuatnya senang.

Saat bayi Abdullah makan, tidak boleh ada gangguan dari orang lain seperti sapaan dan colekan. Sebab jika dia melihat ada orang lain mendekatinya, dia langsung merengek minta gendong, dan itu membuat mamak bernapas lesu. Maka cara saya adalah, karena kami tinggal bersama keluarga lain, saya memasukkan bayi Abdullah ke dalam kamar kami dan kami berdua melewati proses suap-menyuap dengan romantis di dalam kamar.

Setiap kali sendokan terakhir selesai, mangkuk pun kosong, saya selalu terharu sendiri. Satu bagian dalam tahap menemani tumbuh-kembang Abdullah telah selesai di waktu itu. Ini semacam menyelesaikan satu list assignment di jurnal pribadi saya sendiri. Sebaliknya, jika saya harus menyudahi proses makan dengan terpaksa karena Abdullah bosan atau ngantuk, saya pun langsung loyo. Akan tetapi, mamak harus tetap semangat. Saat menyimpan sisa makanan itu, saya bisikkan dalam hati, “Ok Andis, nggapapa ini bersisa, nanti siang dicoba lagi, ditambah aja porsinya. Boboin aja dulu anaknya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar