Untuk
saat ini, saya sepenuhnya adalah seorang Ibu Rumah Tangga (IRT). Hidup bersama
keluarga kecil dengan format ayah ke kampus dan ibu di rumah bersama balitanya,
juga disibukkan pekerjaan-pekerjaan domestik yang tidak seberapa saja,
sebenarnya. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, entah tidur bersama
atau keluar rumah lengkap dengan kereta dorongnya.
Perihal
menjadi IRT, sejak memiliki anak, ada satu hal yang berubah drastis dalam hidup
saya, yang mungkin juga telah dan tengah dirasakan oleh IRT lain. Perubahan
yang banyak membuat saya terlihat banyak maunya di depan suami, barangkali.
Ini
tentang waktu membaca. Percayalah! kini waktu membaca bagi saya terasa amat
berharga. Jika pun ada yang sempat saya nikmati dari yang berharga itu, saya
lakukan dengan memaksa-maksa diri dan mencuri-curi waktu. Maka sebagai IRT,
saya ingin berbagi cerita di tulisan ini, mana tahu bisa jadi sarana berbagi
pengalaman untuk IRT lainnya. (IRT seluruh dunia, bersatulah!!! eh…)
Bagi
saya, setidaknya, ada tiga kesempatan yang bisa membuat saya menikmati waktu
membaca. Dengan sedikit terburu-buru, tentu saja.
Pertama, saat si anak sedang
tidur. Tidak peduli waktu dan tempat (kecuali saat di kendaraan sih karena saya
mual kalau membaca), jelasnya jika anak saya tidur, saya sebisa mungkin
membaca.
Jika pada siang hari dia dapat saya tidurkan di kasur, saya akan bergerak bangun dengan hati-hati untuk duduk di sekitarnya dan membaca halaman demi halaman. Karena anak saya termasuk bayi yang tidurnya pulas saat suasana tenang dan harus ada orang di sampingnya menemani, maka saya dituntut untuk membaca dengan tenang di dekatnya. Tanpa suara dan gerakan berlebih. Rata-rata tidur siangnya hanya memberi saya waktu paling lama kira-kira 15 menit saja untuk membaca. Kadang malah belum pegang buku, masih ke toilet untuk aktivitas pendahuluan sebelum membaca tanpa gangguan kebelet pipis niatnya, eh si dia sudah bangun. Waktu membaca seperti ini tidak menentu. Belum lagi jika saya ikut-ikutan mengantuk dan tidur siang bersamanya. Jadilah buku hanya menjadi penonton bagi sepasang ibu dan balitanya yang sedang pulas.
Jika pada siang hari dia dapat saya tidurkan di kasur, saya akan bergerak bangun dengan hati-hati untuk duduk di sekitarnya dan membaca halaman demi halaman. Karena anak saya termasuk bayi yang tidurnya pulas saat suasana tenang dan harus ada orang di sampingnya menemani, maka saya dituntut untuk membaca dengan tenang di dekatnya. Tanpa suara dan gerakan berlebih. Rata-rata tidur siangnya hanya memberi saya waktu paling lama kira-kira 15 menit saja untuk membaca. Kadang malah belum pegang buku, masih ke toilet untuk aktivitas pendahuluan sebelum membaca tanpa gangguan kebelet pipis niatnya, eh si dia sudah bangun. Waktu membaca seperti ini tidak menentu. Belum lagi jika saya ikut-ikutan mengantuk dan tidur siang bersamanya. Jadilah buku hanya menjadi penonton bagi sepasang ibu dan balitanya yang sedang pulas.
Sementara
saat malam, ngantuk dan mata yang lelah karena pencahayaan senter HP menjadi
godaan untuk tetap melanjutkan bacaan atau tidak. Meski begitu, pada malam hari
lah rentang waktu membaca saya yang paling panjang karena waktu tidur malam yang juga lama. Terutama untuk musim dingin seperti ini, lama gelap bisa sampai tujuh belas jam.
Kedua, saat bayi kami bersama ayahnya
atau sanak-saudara lainnya. Dengan senang hati saya memanfaatkan waktu untuk
membaca kala bayi kami dijaga ayahnya. Meski di awal-awal didahului dengan
rengekan dan ngambekan saya terlebih dahulu agar Pak Suami memberi saya waktu
untuk membaca (pssttt… sekarang beliau sudah jauh lebih pengertian 😉).
Kesempatan ini juga kadang tidak bertahan lama sebab bayi kami menangis mencari
ibunya atau sudah waktunya dia untuk minum susu dari tubuh saya. Meski begitu, waktu
membaca seperti ini merupakan yang paling nyaman bagi saya. Kenapa? Karena saya
bisa membaca dengan lebih tenang tanpa takut akan bayi yang terbangun atau
tanpa bersusah-susah menggunakan senter HP agar tidur bayi tidak terganggu di
malam hari. Ini anugerah besar buat IRT yang bodoh dan (syukurnya) terus menuntut
diri untuk tidak pernah berhenti belajar seperti saya.
Ketiga, jika sudah kebelet mau
baca dan si bayi tidak kunjung tidur dan ayahnya belum pulang dari kampus,
tidak ada cara lain, saya mengajaknya membaca. Iya, saya mendongengkannya
bacaan budgeting milik Simeon Lindstrom atau novel Max Havelar-nya Multatuli. Meski lebih banyak dia melongo melihat mulut saya yang komat-kamit.
Syukur saya, dia termasuk tipikal bayi yang akan diam mendengarkan jika ada
seseorang yang berceloteh di depannya. Namun jangan kira bisa bertahan lama,
sebab dia juga gampang bosan anaknya.
Waktu
ketiga ini, meski sangat pendek, memiliki faedah tidak hanya untuk saya tapi
juga untuk anak saya secara langsung. Selain untuk memenuhi kebutuhan saya akan
bacaan, mengeraskan bacaan di dekatnya juga dapat merangsang kemampuan
verbalnya lewat berbagai kosa kata baru yang didengar. Selain itu, harapan
saya, dia dapat melihat langsung sekaligus menyerap kegiatan-kegiatan positif
yang saya berusaha jadikan kebiasaan dalam keluarga kecil kami. Maka sebutlah
ini sebagai ‘sambil menyelam minum air sekaligus tangkap ikan’. Halah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar