Jumat, 08 Desember 2017

Jika Cemburu Pada Kehidupan Orang Lain


"Kuketahui bahwa pembagian bersumber dari Allah sejak awal, maka aku tidak iri kepada seseorang dan aku ridha puas hati dengan bagianku yang ditetapkan Allah".

Kutipan di atas saya pindahkan dari buku tulisan Quraish Shihab, Logika Agama, yang menyarikan hikmah yang disampaikan Hatim al-Asham kepada Syaqiq al-Balkhy. Di buku tersebut, sebenarnya ada delapan hikmah yang diuraikan. Kali ini, saya hanya ingin mencoba menulis hikmah kelima. Ini sebagai bagian dari upaya menghayati hikmah tersebut sekaligus untuk menjaga ingatan kala suatu hari terlupa sehingga dapat menengoknya kembali di sini.

Pernah nda sih lihat foto seorang teman di FB yang wah sekali kehidupannya? Anak pasangan pejabat kampus, lulusan FK, lanjut kuliah di Eropa, mejeng sana sini di ajang berprestasi. Sudah begitu anaknya rendah hati dan senang bergaul. Cemburu nda sih dibuatnya?

Suatu kali waktu, pernah lihat anak yang orang tuanya saya kenal. Anak pejabat di tempat saya kuliah dulu. Hidupnya muluuuuuuuuus dan kinclong deh kalau lihat riwayat hidupnya. Sekolah di tempat mentereng, pas nikah ketemunya sama sesamanya gitu pula kehidupannya. Dari mulai bangun sampai tidur, kayaknya kok bakal tenang-tenang gitu hidupnya. Paling pun kalau ada masalahnya berputar-putar di 'mau liburan ke mana ya bulan ini, bagusnya kuliah di mana, mau beli bangunan yang mana lagi buat properti, dsb-nya'.

Sudah itu, saya melihat ke diri sendiri. Rasanya pengen nangis. Perjuangan hidup saya kok banyak bangeeeeeet ya? Hiks [Sumpah jangan ditiru akhlak saya ini!]

Nah pas baca tulisan di buku Quraish Shihab tadi, bulu kuduk saya merinding. Beneran!

Ya Allah... betapa saya telah menganiaya diri sendiri dengan membanding-bandingkan hidup yang Allah telah berikan. Padahal, kehidupan masing-masing kita merupakan pembagian-Nya sejak awal. Lalu kenapa saya harus iri?

Bukankah Allah selalu bijaksana mengatur kehidupan ini? Bukankah Dia yang lebih tahu yang terbaik untuk setiap urusan, bahkan hidup hamba-hamba-Nya. Maka barangkali, yang terbaik memang, setiap usaha harus senantiasa ditutup dengan "alhamdulillah 'ala qulliy hal".

Setelah berikhtiar selama setahun melewati empat musim penuh drama demi datang ke tempat kursus Bahasa Inggris pagi, siang, malam dan ternyata pas ikut tes IELTS, poin cuma bertambah 0,5, "alhamdulillah 'ala qulliy hal”. Rupanya bagian saya dari pemberian Allah tahun itu ya segitu. Itu yang terbaik. Bisa jadi Allah menunda dulu untuk menggenapkan poin sebagai syarat S3 karena Allah punya agenda lain untuk saya yang lebih baik atau lebih penting. Pun bisa jadi Allah ingin saya belajar lebih mantap lagi Bahasa Inggris, supaya nanti pas menulis jurnal Bahasa Inggris nda keteteran lagi.

Demikianlah harusnya. Selalu ditutupi dengan kesyukuran dan berbaik sangka atas setiap penolakan dan kegagalan. Berusaha menyemai hikmah-hikmah kebaikan, sembari tidak henti untuk tetap berusaha sekuat kemampuan dan dalam batas yang halal untuk memperoleh karunia-Nya.

Jika pun segala daya upaya telah dikerahkan, rupanya hasil tidak sesuai keinginan, maka berpuas hatilah tetap. Qana'ah atas pemberian-Nya. Sebab kata Dia :


"Kami yang membagikan/menentukan di antara mereka rezeki mereka (masing-masing) dalam kehidupan dunia" (Q.S.43:32).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar