Kata
orang, sesuatu yang terlalu itu tidak baik. Kali ini, boleh dikata itu terjadi
pada saya saat memutuskan untuk mengikuti sekolah musim panas di Universitas
Groningen tahun ini. Sekolah tentang melakukan penelitian eksperimen di negara
berkembang.
Waktu
itu, saya membuka-buka laman web kampus, dan saya menemukan sekolah musim panas
di Fakultas Ekonomi sedang terbuka. Judulnya : Experiment in Developing
Countries. Di sinilah masalahnya datang. Tidak ada kata 'research' di sana,
sehingga saya jadi salah kapra. Saya mengira kata 'experiment' sebagai eksperimen yang sejajar arti dengan 'pengalaman'. Luput saya pahami
bahwa yang dimaksud 'experiment' di sana adalah sebuah metode
penelitian. Bagaimana bisa ini terjadi? Bisa jadi karena, selama ini, fokus studi
penelitian saya berada di area kualitatif, sementara 'eksperimen' merupakan
satu dari alat penelitian dengan pendekatan kuantitatif.
Jadilah
saya mengikuti kursus ini dengan biaya yang dikonversi ke rupiah lebih dari dua
bulan gaji penuh suami saya di Indonesia. Sungguh mahal bagi kami, tapi karena
Pak Suami bilang demi pendidikan itu layak, maka saya patuh juga. Belum cukup
sampai di situ pengorbanan yang dibutuhkan. Pun saya mengikuti kelas tersebut
dengan kondisi yang masih belajar berjalan. Sebulan sebelumnya, saya melahirkan
dengan operasi sesar--setelah melalui pembukaan 10. Bukan hal yang mudah
menempuh perjalanan dari rumah menuju Academic Building, tempat pembelajaran
berlangsung, dengan berjalan kaki ditambah dua kali naik bus. Lebih sering saya
naik taksi, yang sekali jalan saya menghabiskan kurang lebih € 10. Nyeri dan
ngilu masih terasa akibat guncangan bus dan taksi, yang juga ikut
mengguncang-guncang kantung keuangan keluarga kami.
Enam
hari terlewati dengan disesaki kalimat-kalimat yang asing bagi saya. Regresi,
PSM, TRC, double difference, power, assertion, dan sejumlah idiom yang
berhubungan dengan ekonometrik memborongi saya di dalam kelas. Saya harus
menguatkan-nguatkan hati untuk menuntaskan apa yang sudah saya mulai sendiri.
Beratnya, selain tidak mengerti materi, saya juga ngantuk luar biasa akibat, setelah seharian di kelas, di rumah saya harus siap siaga menyediakan anak
saya ASI.
Sepanjang
kursus, saya juga tidak banyak berani bicara dengan peserta. Tidak sekali pun
saya bersuara di ruangan saat sesi diskusi. Persoalannya adalah, selain karena
kemampuan berbahasa Inggris saya tidak selancar mereka (padahal sudah satu
tahun kursus bahasa di Belanda), saya juga takut kalau ditanyai tentang materi
pelajaran. Saya bukan tidak mengerti. Tepatnya, ini bukan bidang saya (hiks).
Materi yang bisa saya terima terbatas di isu-isu masalah negara berkembang yang
mereka bahas. Saat pemateri memasuki area metode, saat itu raut wajah saya
sudah menyedihkan.
Jika
waktunya jeda istirahat, saya selalu bersama seorang peserta dari Kongo. Saya
memanggilnya Lif. Seorang peserta dari India bernama Meenakshe juga kadang
bergabung bersama saya dan Lif. Pembicaraan kami bertiga berputar-putar di
lingkaran soal pernikahan hingga soal bentuk rambut, tidak seperti yang lain,
yang barangkali mendiskusikan materi atau penelitian yang akan mereka lakukan.
Betapa!!!
Kalau
ada kesempatan kedua mengikuti kursus ini, saya pasti akan bilang: tidak lagi!
Namun demikian, betapa meruginya saya jika tidak mengambil manfaat dari sini.
Setidaknya, kemampuan 'listening' saya jadi lebih baik (semoga) dengan dicekoki
materi-materi dalam Bahasa Inggris. Manfaat kedua, nanti jika saya aktif lagi
mengajar di kampus, saya bisa lebih familiar dengan istilah statistik ketika harus
menguji mahasiswa yang ujian skripsi. Hikmah paling penting dari sekolah musim
panas 'berharga' ini adalah jangan lakukan sesuatu yang tidak kamu tahu betul
apa itu, apalagi jika harus melakukannya kamu butuh banyak pengorbanan. Lakukan
yang kamu sukai, dan pelajari sesuatu yang kamu cintai.
Semangat Andisku :*
BalasHapusInsya Allah :*
Hapus