Jumat, 14 Juli 2017

Sepertinya Saya Terlalu Semangat


Kredit : P.Q.Duy/ Peserta dan beberarapa dosen sekolah musim panas

Kata orang, sesuatu yang terlalu itu tidak baik. Kali ini, boleh dikata itu terjadi pada saya saat memutuskan untuk mengikuti sekolah musim panas di Universitas Groningen tahun ini. Sekolah tentang melakukan penelitian eksperimen di negara berkembang.

Waktu itu, saya membuka-buka laman web kampus, dan saya menemukan sekolah musim panas di Fakultas Ekonomi sedang terbuka. Judulnya : Experiment in Developing Countries. Di sinilah masalahnya datang. Tidak ada kata 'research' di sana, sehingga saya jadi salah kapra. Saya mengira kata 'experiment' sebagai eksperimen yang sejajar arti dengan 'pengalaman'. Luput saya pahami bahwa yang dimaksud 'experiment' di sana adalah sebuah metode penelitian. Bagaimana bisa ini terjadi? Bisa jadi karena, selama ini, fokus studi penelitian saya berada di area kualitatif, sementara 'eksperimen' merupakan satu dari alat penelitian dengan pendekatan kuantitatif.

Jadilah saya mengikuti kursus ini dengan biaya yang dikonversi ke rupiah lebih dari dua bulan gaji penuh suami saya di Indonesia. Sungguh mahal bagi kami, tapi karena Pak Suami bilang demi pendidikan itu layak, maka saya patuh juga. Belum cukup sampai di situ pengorbanan yang dibutuhkan. Pun saya mengikuti kelas tersebut dengan kondisi yang masih belajar berjalan. Sebulan sebelumnya, saya melahirkan dengan operasi sesar--setelah melalui pembukaan 10. Bukan hal yang mudah menempuh perjalanan dari rumah menuju Academic Building, tempat pembelajaran berlangsung, dengan berjalan kaki ditambah dua kali naik bus. Lebih sering saya naik taksi, yang sekali jalan saya menghabiskan kurang lebih € 10. Nyeri dan ngilu masih terasa akibat guncangan bus dan taksi, yang juga ikut mengguncang-guncang kantung keuangan keluarga kami.

Enam hari terlewati dengan disesaki kalimat-kalimat yang asing bagi saya. Regresi, PSM, TRC, double difference, power, assertion, dan sejumlah idiom yang berhubungan dengan ekonometrik memborongi saya di dalam kelas. Saya harus menguatkan-nguatkan hati untuk menuntaskan apa yang sudah saya mulai sendiri. Beratnya, selain tidak mengerti materi, saya juga ngantuk luar biasa akibat, setelah seharian di kelas, di rumah saya harus siap siaga menyediakan anak saya ASI.

Sepanjang kursus, saya juga tidak banyak berani bicara dengan peserta. Tidak sekali pun saya bersuara di ruangan saat sesi diskusi. Persoalannya adalah, selain karena kemampuan berbahasa Inggris saya tidak selancar mereka (padahal sudah satu tahun kursus bahasa di Belanda), saya juga takut kalau ditanyai tentang materi pelajaran. Saya bukan tidak mengerti. Tepatnya, ini bukan bidang saya (hiks). Materi yang bisa saya terima terbatas di isu-isu masalah negara berkembang yang mereka bahas. Saat pemateri memasuki area metode, saat itu raut wajah saya sudah menyedihkan.

Jika waktunya jeda istirahat, saya selalu bersama seorang peserta dari Kongo. Saya memanggilnya Lif. Seorang peserta dari India bernama Meenakshe juga kadang bergabung bersama saya dan Lif. Pembicaraan kami bertiga berputar-putar di lingkaran soal pernikahan hingga soal bentuk rambut, tidak seperti yang lain, yang barangkali mendiskusikan materi atau penelitian yang akan mereka lakukan. Betapa!!!


Kalau ada kesempatan kedua mengikuti kursus ini, saya pasti akan bilang: tidak lagi! Namun demikian, betapa meruginya saya jika tidak mengambil manfaat dari sini. Setidaknya, kemampuan 'listening' saya jadi lebih baik (semoga) dengan dicekoki materi-materi dalam Bahasa Inggris. Manfaat kedua, nanti jika saya aktif lagi mengajar di kampus, saya bisa lebih familiar dengan istilah statistik ketika harus menguji mahasiswa yang ujian skripsi. Hikmah paling penting dari sekolah musim panas 'berharga' ini adalah jangan lakukan sesuatu yang tidak kamu tahu betul apa itu, apalagi jika harus melakukannya kamu butuh banyak pengorbanan. Lakukan yang kamu sukai, dan pelajari sesuatu yang kamu cintai.

2 komentar: