Setiap
tubuh butuh makanan untuk terus bertahan hidup. Sebagai umat beragama,
pemeluknya meyakini bahwa bukan hanya badan dan otak yang memerlukan makanan
untuk terus bertumbuh dan bertahan dengan hidup. Roh juga.
Konsumsi
roh jelas berbeda dengan fisik. Jiwa manusia, sebagaimana sifatnya yang
non-materi, juga memerlukan asupan yang tidak berbentuk fisik. Salah satu
penumbuhnya adalah ritus ibadah yang dilakukan dengan penuh makna, yang pada
akhirnya makna akan memuaskan batin pemiliknya.
Dalam
penanggalan agama Islam, bulan ke-9 hijriah diyakini sebagai bulan dihimpunnya
setiap kebaikan dengan nilai berlipat-lipat di sisi Ilahi. Berangkat dari
motivasi inilah, mayoritas muslim menyambutnya dengan gegap gempita. Keriangan
yang mendalam atau sekadar meramaikan pesta simulakra iklan-iklan produk
Ramadan di televisi, tiap penyambut memilih caranya.
Tapi
kemudian kita tahu dan belajar dari tahun ke tahun, bahwa semangat beribadah
itu kebanyakan hanya menyeruak di awal kedatangannya saja. Setidaknya begitu
kesimpulan sederhana yang tidak terelak secara kasat mata.
Mengamati
kecenderungan ini membuat ingatan saya terpanggil menuju abad awal kemunculan
ilmu ekonomi. Adalah marginal utility, yang
dalam padanan bahasa dikenal dengan konsep batas kepuasan. Margin yang berarti batas dan utility
yang merujuk pada kepuasan konsumen.
Ide
tentang bagaimana manusia mengukur tingkat kepuasannya terhadap suatu produk
ini pertama kali saya jumpai lewat buku wajib Mata Pelajaran Ekonomi saat berada
di bangku tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Konsep marginal utility adalah salah satu yang paling melekat dalam
ingatan saya hingga kini, saat tanpa terasa delapan tahun sudah saya melepas
seragam SMA. Namun, dulu saya mengenalnya sebagai ide autentik yang dipelopori
oleh seorang ekonom berkebangsaan Inggris, Alfred Marshal (1842-1924).
Pengenalan saya tentang konsep kepuasan manusia terhadap barang dan jasa
tersebut akhirnya sedikit berubah, meski tidak mendasar. Perubahan ini terjadi
setelah membaca buku asyik tulisan akademisi dari London School of Economics, The
United of Kingdom, Niall Kishtainy.
Buku
yang baru saja terbit awal tahun 2017 tersebut membahas sejarah perkembangan
ilmu ekonomi hingga kini—meskipun sejauh yang saya baca, meminjam istilah
Edward Said, buku ini berkiblat dari sejarah ‘barat’ dan memandang timur
sebagai yang pinggir. Kishtainy, sebagai pengajar di bidang sejarah ekonomi, menerangjelaskan
bahwa sebenarnya konsep marginal utility
dibangun oleh ekonom Inggris yang lain. Namanya William Jevons (1835-1882).
Marshall hanya orang berikutnya yang turut membangun konsep marginal utility setelah kematian Jevon,
begitu tulis Kishtainy.
Tapi
bagaimana pun sejarah dan politik pencatatan membentuk kedua nama tersebut,
baik Jevon maupun Marshall sama-sama berdiri pada kesepakatan bahwa marginal utility setiap manusia sebagai
manusia ekonomi (homo-economicus) bersifat
tidak tetap. Pada suatu titik bahkan akan mengalami penurunan.
Sesuka
apa pun saya pada cokelat merek A, misalnya, jika dalam satu waktu saya
mengkonsumsinya terus-menerus, akhirnya tingkat kepuasan saya akan berkurang,
atau malah bosan. Pertama-tama, tingkat kepuasan saya mengemil cokelat bisa
saja delapan (tingkat 1-10). Pada bungkusan cokelat kedua, lidah saya
mengenalinya dan makin merasakan enaknya, maka kepuasan saya bertambah menjadi
sembilan. Sampai akhirnya di bungkusan selanjutnya titik kepuasan saya mulai
menurun. Jika saya belum juga berhenti meski sudah tidak merasakan kenikmatan
dalam gigitan cokelat tersebut, pada titik itulah kepuasan terhadap konsumsi
saya berada di bawah ambang batas normal. Atau dalam gambar kurva marginal utility-nya, nilai kepuasan itu
telah berada di titik-titik bagian kanan bawah kurva. Minus.
Pertanyaannya
sekarang, apakah konsep yang sama dapat terjadi pada cara manusia mengasupi
roh? Terutama jika kita kembali mengamati bagaimana muslim beribadah sepanjang
bulan Ramadan? Apakah kecenderungan euforia awal yang selanjutnya semakin
menurun pada pertengahan bulan bahkan cenderung kehilangan makna sebagai bulan
spesial di akhir Ramadan, dengan sendirinya membenarkan bahwa konsep marginal utility juga berlaku dalam cara
kita ‘bertransaksi’ dengan Ilahi?
Ketika
disandarkan dengan doa yang dinukilkan dalam Hadits Riwayat Tirmidzi 3522,
Ahmad 4/302 dan al-Hakim 1/525 dalam Shohih
Sunan Tirmidzi III (2792) yang mengangkat doa “yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik” (Wahai yang
membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu), maka dengan
sederhana dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan manusia dalam mengkonsumsi
ritus ibadah untuk rohnya sangat bisa naik. Juga turun. Mudah terbolak-balik.
Dengan demikian, apakah Jevons dan Marshall sedikit keliru bahwa ternyata ide
tentang marginal utility tidak hanya
sejalan dengan konsep manusia sebagai manusia ekonomi namun juga sebagai
manusia beragama?
Tunggu
dulu! Hal ini masih bisa didiskusikan kembali tersebab dua hal. Pertama, doa
meminta ditetapkan hati pada kecondongan beragama tersebut belandaskan
kepasrahan manusia sebagai hamba. Doa tersebut berdiri di atas keyakinan bahwa
hanya dan hanya Tuhan saja yang pada akhirnya menentukan pergerakan hati
manusia.
Namun
demikian, kepasrahan akan kuasa Tuhan tentulah dengan syarat telah didahului
akumulasi usaha yang sungguh-sungguh. Maka sejauh mana usaha menjaga
konsistensi ibadah Ramadan, juga ikut andil dalam menggerakkan garis marginal utility manusia yang
bersangkutan. Sebagaimana dalam Al-Quran: tidak akan berubah suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri yang mengusahakan perubahan yang ada pada diri mereka (Al
Quran Surah Ar-Ra’d: 11).
Kedua,
meminjam istilah Prof. Quraish Shihab, sebaik-baik transaksi adalah dengan
Tuhan. Adam Smith, David Ricardo dan para pengikutnya percaya bahwa penjual dan
pembeli senantiasa digerakkan oleh kepentingan pribadinya. Dan kita tahu, Dia
tidak pernah butuh penghambaan untuk menjadi sempurna.
Jika
ibadah Ramadan adalah bentuk transaksi untuk mengambil hati Tuhan, meminta
perhatian-Nya sembari mengasupi roh sendiri, maka tingkat kepuasan itu
mungkinkah dapat berkurang? Bukankah Dia yang ketika manusia mendekati-Nya
dengan berjalan maka Dia datang dengan berlari?
Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 09 Juni 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar