Mayesa Hafsah Kirana namanya, balita yang saat ini tengah banyak digemari pengguna media
sosial di Instagram. Bukan main, pengikutnya telah berjumlah 762 ribu saat saya
tengah menulis artikel ini. Jumlah pengikut yang bisa memenuhi tiga puluh kali
Stadion Mattoanging (Andi Mattalatta)
Makassar. Bukan hanya ibu-ibu muda, gadis-gadis remaja hingga bapak-bapak
menjadi barisan setia pengikut dan penikmat video-video dan foto-foto dari
Kirana yang diunggah oleh ibunya sendiri, Retno Hening Palupi.
Apa
pasal Kirana digemari dan belakangan menjadi tren di dunia maya? Lebih dari
sekadar lucu dengan pipi bulatnya yang menggemaskan, di usianya yang masih di
bawah lima tahun, Kirana telah banyak menyerap kata-kata yang sepertinya masih
sulit diucapkan oleh anak-anak seusianya. Kirana mampu melafalkan berbagai
jenis lagu berbahasa Inggris dan Indonesia, lengkap dengan gerakan-gerakannya.
Di usia yang kurang dari dua tahun, anak kecil pengidap eksema ini juga telah
bisa menirukan berbagai jenis suara hewan dan menyebut nama-nama hewan tersebut
dalam bahasa Inggris juga Indonesia.
Selain
kemampuan ekspresi bahasanya yang mengagumkan bagi banyak orang, kemampuan
empati yang dimilikinya juga tumbuh dengan baik. Salah satu videonya saat berusia
lebih dari dua tahun, misalnya, saat dia tengah melihat seorang laki-laki
bekerja memperbaiki jalan di depan tempat tinggalnya, dia bilang ke ibunya
dengan patahan kata yang belum begitu jelas, “Ibu… sian [kasihan] omnya. Omnya
nas [omnya panas]. Mau sih juzzz [Mau kasih jus].” Hati siapa yang tidak
meleleh mendengar anak bayi mengoceh dan mengutarakan kepeduliannya terhadap
orang lain yang bahkan tidak dikenalnya?
Di
banyak video-videonya yang lain, Kirana juga terlihat cepat akrab dengan
sebayanya. Dalam videonya baru-baru ini, dia terlihat mendekati seorang anak
balita lain yang sedang menangis. Retno, sang ibu kemudian menegur Kirana yang
berjalan mendekati si anak yang menangis. Ditegur oleh sang ibu, Kirana
berhenti lalu bertanya kepada ibunya, “kawan ngapa?... [kenapa kawan itu?]” (menunjuk
balita yang menangis). “Dimarahi dia sama ibunya, sedih dia”, jawab Retno dan
kemudian diulang oleh Kirana “Oh, dimarahi dia. Sedih dia”. Dari pertanyaan
Kirana saja, kita jadi tahu, dia melihat setiap balita baru yang sepantaran
dirinya sebagai kawan, bukan sebagai lawan atau orang asing yang harus
ditakuti. Selanjutnya, dia melihat kesedihan si kawan tadi sebagai sebuah
masalah yang membuat dia mendekat dan ingin tahu. Kenapa sang kawan bersedih?
Awal mula tumbuhnya kepedulian pada orang lain. Sesuatu yang rasa-rasanya
kering justru di dunia orang dewasa saat ini. Tengok saja kanal-kanal dunia
maya kita.
Tapi
dari mana semua nilai-nilai baik itu didapatkan Kirana? Dengan mudah kita bisa menemukan
jawaban itu: dari kedua orang tuanya, terutama Ibunya. Berbekal ilmu parenting
yang terasah saat menjadi guru di sebuah pre-school
di Jogja, Retno membentuk Kirana tumbuh sebagai balita ceria dan penuh empati. Retno
menghabiskan seluruh waktunya bersama Kirana di rumah, dengan menjadi ibu rumah
tangga tanpa bekerja atau bersekolah lanjut. Tentu tidak berarti juga bahwa
perempuan yang berkegiatan di luar akan tidak mungkin untuk melakukan
pengasuhan yang lebih baik.
Cara-cara
yang dipilih Retno berinteraksi dengan Kirana-lah yang barangkali membedakannya
dengan ibu-ibu yang lain. Tumpukan video Kirana dapat menjelaskan dengan
sendirinya bahwa obrolan antara ibu dan anak dengan sendirinya meningkatkan
kemampuan berbahasa Kirana. Dia banyak meniru kalimat-kalimat ibunya, bahkan
meski belum sepenuhnya dipahami oleh anak seusianya.
Seberapa
cepat anak-anak mulai belajar menyebut kata-kata tergantung dari kemampuan “phoenetic awareness” yang dimilikinya.
Demikian hasil penelitian yang diungkapkan seorang professor dari Stanford yang
kemudian diulas Susan Gregory Thomas dalam bukunya, ‘Buy, Buy Baby: How Consumer Culture Manipulates Parents and Harms Young
Minds”. Sebelum seorang bayi seperti Kirana dapat membaca sebuah kalimat,
dia dapat menyebutkan kata-kata tersebut dari suara-suara yang paling berkesan
yang diterimanya. Seperti inilah anak-anak belajar bahasa. Berawal dari
pengulangan-pengulangan yang tercerap di alam bawah sadarnya, lalu kemudian
diulang-ulangi hingga jelas penyebutannya.
Ketika
Kirana mendengar kata “sorry” dan “thank you” secara intens dari ibunya,
maka dia akan dengan mudah mengingatnya lalu mengulangnya. Kata Retno, dalam
salah satu wawancara atau tulisannya, dia sering mengajak Kirana bermain untuk
dengan sengaja meminta mainannya lalu mengucapkan kepadanya “thank you” dan “sorry” jika dia melakukan kesalahan. Inilah “phoenetic awareness”. Kemampuan yang hanya bisa dibangun dari
interaksi antara balita dengan orang-orang hidup di sekitarnya. Bukan dari televisi,
juga bukan dari video-video Youtube.
Beberapa
waktu ke depan, gaya parenting ala Ibu Retno Hening, sepertinya akan jadi
teladan di kalangan ibu-ibu. Buku yang ditulisnya, ‘Happy Little Soul: Belajar Memahami Anak dengan Penuh Cinta’,
bahkan telah dicetak ulang hingga enam kali tidak lebih dari dua bulan setelah
terbit pertama kali pada awal April lalu (2017).
Meski
demikian, dalam pandangan saya, setiap ibu tidak harus memaksa anak-anaknya
untuk jadi sama atau mencipta Kirana-kirana berikutnya. Mengikuti nilai-nilai
baik yang diajarkan Retno Hening kepada anaknya adalah baik, tapi membentuk
anak-anak kita untuk sama dengan Kirana, apalagi jika sampai pada tahap
membanding-bandingkan dengan kemampuan Kirana tentu akan berujung melelahkan.
Setiap
anak punya kemampuan berbeda-beda, tumbuh dan hidup di lingkungan berbeda,
dalam masa yang berbeda pula. Tapi kalau pun sudah ada yang terlanjur
melakukannya, mengutip kata Kirana, “nda
papa, itu namanya belajar!”. Sesungguhnya setiap anak merupakan pemberian
istimewa dari-Nya. Mereka terlahir spesial dengan potensinya masing-masing.
Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 23 Mei 2017)
Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 23 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar