Kalau
disuruh pilih tidur di rumah atau jalan-jalan, saya akan lebih memilih tidur di
rumah saja. Saya lebih suka di rumah, intinya. Hanya soal pilihan dan kesukaan
saja sebenarnya. Mungkin karena kebiasaan dari kecil yang diwariskan orang tua,
sepulang sekolah membekam di rumah. Bikin apa sih di rumah? Oh, sebagai anak
rumah, saya bisa memasak, membaca, dan tidur sepuas-puas yang saya suka.
Mungkin bagi orang-orang yang suka jalan-jalan lain lagi, dan punya alasan-alasannya
sendiri kenapa lebih menikmati sensasi melihat bangunan, pemandangan, dan atau
bertemu banyak orang. Bagaimana pun, tiap orang punya preferensi yang
berbeda-beda.
Setelah
membaca buku biografi Benedict Anderson, saya jadi kepikiran sendiri, sehatkah
gaya hidup saya? Beberapa bulan lalu, waktu seorang mahasiswa dari Prancis
tinggal di rumah kami, dia sempat menuduh gaya hidup saya tragis, katakanlah
begitu. Katanya, bukan begitu caranya hidup (tinggal di kamar dan tidak
kemana-mana). Waktu itu memang, saya sedang tidak sehat selama berbulan-bulan,
tapi merasa stress dengan tinggal di rumah, rasanya tidak juga. Menghabiskan
waktu berbulan-bulan di kamar tidak begitu buruk bagi saya. Saya bisa
bayangkan, bagaimana pikiran si mahasiswa tadi membimbingnya untuk menuduh gaya
hidup saya yang salah barangkali karena dibandingkan dengan bagaimana dia
melihat cara hidup yang “benar” selama ini. Keluar olahraga, akhir pekan keluar
kota, bertemu teman-teman untuk kongkow-kongkow, dan masuk ke kampus pada pagi
hari atau di perpustakaan seharian saat dikejar tenggat pegumpulan tugas kuliah.
Begitulah.
Kita kan memang kebanyakan melihat orang lain, bahkan parahnya melakukan
penilaian, dari kaca mata kita sendiri. Ini loh salah, itu loh salah,
indikatornya dari mana? Dari yang kita pahami semata? Sungguh menjengkelkan
bukan saat bertemu atau mengobrol dengan orang yang sudah dari awal ngotot sama
pemikirannya? Menutup diri dengan pemikiran orang lain.
Buku
Ben, saya kira, tidak menitikberatkna persoalan tempat dan saya sebagai “anak
rumah” cukup lega mengetahui ini. Meskipun Ben sendiri banyak bercerita tentang
bagaimana dia berpindah-pindah negara dan dari setiap tempat ia belajar berempati
dengan perbedaan. Namun, yang jauh lebih penting adalah titik yang ada di batok
kelapa kita. Bagaimana kita mau terbuka dan belajar memahami orang lain dengan
pikiran terbuka.
Berpikir
bahwa kita yang paling benar, barangkali inilah yang dimaksud Ben dengan membuat
cangkang tempurung kita tertutup. Tiada lain tiada bukan, kita sendirilah yang
tanpa sadar melakukannya.
Kita juga mungkin kerap menemukan diri kita, yang
sudah jauh melancong ke mana-mana, sudah berfoto dengan latar negara dan daerah
yang berbeda-beda, dan ironisnya tidak pernah belajar apa-apa dari
tempat-tempat yang kita datangi. Tidak pernah mengajak pikiran dan hati kita
untuk terbuka dan mau memahami perbedaan. Kita asyik-masyuk menuduh orang lain
yang berbeda itu salah dan kita yang paling benar. Kita tidak pernah mau
keluar, dan hidup di luar tempurung yang kita buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar