Kredit : Najmiatul Fitria/ Saat tengah Mengikuti Seminar Kekonsuleran KBRI |
Sore hari pada 20 September 2016, saya meneteskan air mata di dalam toilet. Dua garis melintang di tengah-tengah alat tes kehamilan.
Menghindari
keraguan, esok paginya saya menggunakan sisa satu alat tes kehamilan. Kembali
mengulangi proses yang sama. Masih ada dua garis di sana. Benar, saya sungguh
sedang mengandung calon buah hati.
***
Setahun
lebih sebelumnya, kira-kira dua-tiga bulan sebelum pernikahan kami di bulan
Agustus 2015, sebuah bercak merah muncul di kakiku. Waktu itu, di Semarang,
karena masih disibukkan dengan urusan tesis, tidak kuhiraukan bercak merah itu.
Meski rasa gatal mengiringi kehadirannya, tindakan yang kuberikan hanya garukan-garukan
kecil saja. Kupikir, barangkali gatal karena terlalu sering menggunakan kaos
kaki dan sepatu.
Beberapa
hari menjelang pernikahan, rasa gatalnya mulai mengganggu. Bercak merah itu
semakin melebar. Namun kesibukan menyiapkan segala hal tentang pernikahan,
membuatku masih abai.
Dua
bulan setelah pernikahan, luka merah itu semakin melebar, hampir menutupi setengah
permukaan telapak kaki kiri bagian atas, juga pada jari-jari dan sela-selanya,
serta mulai muncul memar merah pula di kaki kiri. Rasa gatalnya mulai tidak
tertahankan.
Setengah
tahun berlalu setelah pernikahan dan empat bulan hidup berpisah dengan suami,
waktu itu di rumah orang tuaku, tiba-tiba ada nanah keluar dengan derasnya saat
tengah malam di tidur lelapku. Kakiku basah dengan nanah dan campuran keringat.
Malam itu sendirian di kamar, kubangun dengan ketakutan. Menangis.
Esoknya,
kuminta pada mama untuk mengambilkan daun-daunan yang dikenal sebagai obat
tradisional untuk luka ringan yang ada di depan rumah. Perih luar biasa saat
air pada batangnya menetesi kakiku yang luka. Tapi perih itu jauh lebih baik dibanding
rasa gatal yang menyerang dan membuat tanganku tidak mampu menahan untuk tidak
menggaruk. Setelah cairan dari ramuan mengering, kulit kakiku pun ikut mengering
dan kaku, dan yang tersisa hanya bekas luka kecoklat-coklatan.
Hampir
seminggu, ramuan obat-obatan itu kugunakan. Etta, yang saat itu juga sedang
sakit dengan lengan dan badan sebelah kiri yang tidak berfungsi, bersusah payah
mencarikan obat itu keliling kampung. Pasalnya, daun-daunan yang di dekat rumah
sudah habis diambili mama kemarin untuk lukaku. Kakiku masih gatal juga saat luka
basah dengan rasa perih yang ditimbulkan tetesan air daun itu telah kering.
Kekhawatiranku semakin menjadi.
Libur
usai, saya kembali ke Makassar untuk mengajar di kampus. Tidak menunggu lama
lagi, saya putuskan ke puskesmas terdekat untuk berobat. Oleh dokter,
diresepkannya obat telan dan beberapa obat oles. Obat habis, kakiku masih luka.
Semakin parah. Terciprat air sedikit saja, perihnya luar biasa. Kalau mandi
mesti membungkus kaki dengan kantongan plastik, dan kalau shalat bersuci dengan
tayammum. Kuputuskan kembali lagi ke dokter di puskesmas. Dokter umum di
puskesmas akhirnya memberi rujukan ke dokter spesialis kulit.
Di
saat yang bersamaan, saya tengah mengikuti kursus bahasa sebulan lamanya dengan
sistem asrama. Saya meninggalkan rumah mertua menuju tempat kursus dalam
keadaan sakit pada kaki, hingga membuatku berjalan terpincang-pincang. Tapi
sebisa mungkin, selalu berjalan normal agar tidak menimbulkan perhatian dan kekhawatiran
berlebih. Sementara mempersiapkan diri sebulan untuk tes IELTS di asrama,
setiap minggu saya berobat ke dokter spesialis yang berpraktek di Balai
Kesehatan Kulit dan Kelamin Makassar. Obat sudah habis, dan lukanya
berangsur-angsur hilang. Lega luar biasa.
Namun,
beberapa hari setelah obat habis, luka itu kembali lagi. Saya ke dokter lagi.
Dokter mulai stress juga melihat luka yang datang lagi dan akhirnya tidak bisa
sembuh total. Oleh dokter, obat ditambah, dosisnya pun bertambah.
Pada
masa itu, selain mengikuti kursus dan mengerjakan kewajiban-kewajiban di kampus
seperti mengajar dan meneliti, saya sedang aktif-aktifntya juga bekerja di
komunitas. Belum lagi menyelesaikan berkas-berkas beasiswa dan
persyaratan-persyaratan administratif untuk lanjut S3. Waktu seakan berburu dan
beradu cepat dengan kekuatanku yang tersisa, setelah terkuras oleh emosi
yang naik turun karena melihat luka di badan yang tidak kunjung sembuh, juga
dengan bumbu-bumbu baper karena ditinggal suami ke luar negeri.
Akhirnya,
hasil tes IELTS datang dari Jakarta. Ini membawa masalah baru bagi saya. Penyakit
yang tidak kunjung sembuh ditambah gagal mencapai target tes IELTS membuatku
lumayan tertekan. Gagal mencapai nilai IELTS sebagai syarat mendaftar beasiswa,
berarti juga gagal untuk mendaftar sekolah S3 di tahun tersebut, dan artinya
gagal berangkat menyusul suami untuk sekolah bersama. Mencoba menguat-nguatkan
diri, sebisa mungkin. Mengencangkan doa, menguatkan pengharapan, menebalkan
prasangka baik, berharap memanen hikmah dari semua ujian demi ujian. Meski
kadang sulit juga untuk membendung air mata di kala sendiri, sulit juga untuk
tidak melampiaskannya pada suami. Maka saat itu, tidak ada tempat yang lain,
kecuali kepada-Nya, mengadu sebagai selemah-lemahnya hamba.
Dua
bulan bolak-balik dokter spesialis kulit, bukannya membaik, malah kian parah.
Selain obat dokter, obat-obatan tradisional juga kugunakan, sebagaimana saran
dari ibu mertua. Namun, luka itu masih juga bertahan di kedua kakiku, malah
berpindah ke bibir dan tangan. Akhirnya, karena mertua semakin khawatir, coba
diobati oleh ibu mertua sendiri. Ibu mertua saya bisa sedikit mengenal penyakit
non-medis. Malam itu, saya berteriak histeris saat diobati ibu. Dalam keadaan
sadar, saya tahu, ada yang salah dengan diri saya. Namun yang bisa saya lakukan
di saat yang sama, hanya menangis dan beristighfar. Pada titik itu, saya pun
sadar, saya sungguh sangat lemah.
Akhirnya,
hari-hari berlalu dengan rutinitas berobat non-medis. Berbagai jalan ditempuh.
Silih-berganti orang ‘ahli’ didatangi. Mulai dari yang pengetahuan agamanya
sangat matang untuk mengobati penyakit non-medis dan paling terkenal di
Makassar, sampai orang tua-orang tua yang katanya punya ilmu lebih dalam
mengenali penyakit yang tengah saya derita. Tak dinyana, luka baru kami
dapatkan sekeluarga, seperti ledakan bom, vonis itu kami terima. Si pengobat
mengatakan kalau yang mengirim penyakit menginginkan saya dan suami tidak
berketurunan. Rahim saya mulai diganggu, astaghfirullah.
Semakin banyak porsi perhatian yang menyita konsentrasi. Hidup terasa
seperti benang kusut.
Tiba
saatnya suami datang ke Indonesia untuk menjemput saya. Satu bulan lamanya, bersamanya,
hari-hari kami dipenuhi dengan pengobatan ke dokter dan pengobatan alternatif. Untuk
sembuh, tidak terbilang sudah, pada berapa tempat dan berapa jenis pengobatan
yang saya datangi. Kesimpulan sumber penyakit pun berbeda-beda, tapi yang
paling dicurigai adalah akibat penyakit hati dari mereka yang tidak senang
dengan pernikahan kami setahun yang lalu. Kemudian juga baru saya sadari,
kenapa penyakit yang saya alami hampir bersamaan dengan lumpuhnya tubuh bagian
kiri ayah saya. Menurut si ahli, penyakit kami datang dari sumber yang sama.
Duhai
perempuan, amat penting untuk menjaga diri rupanya. Mempersiapkan ruh sebelum
pernikahan. Bukan hanya hal-hal materi dan pembelajaran diri serta hal-hal
teknis, tapi ruh itu terutama, perlu untuk dikuatkan dan dibentengi dengan
zikir senantiasa.
Belum
kurang sibuk rupanya kami dengan pengobatan untuk saya sendiri, ternyata kabar
baru datang. Suami juga menderita penyakit pada salah satu alat inderanya.
Akhirnya, kami saling menemani untuk mengkonsultasikan dan mengobati penyakit
kami, saling bergantian. Rutinitas berangkat ke dokter setelah shalat Subuh dan
ketiduran di tempat praktek menunggu antrian, jadi cerita tersendiri untuk
dikenang. Mengingat ini membuat saya sulit untuk tidak menangis. Betapa awal
pernikahan ini adalah jalan terjal, yang mengharuskan kami saling bergandengan
erat jika tidak ingin menyebabkan kami terpisah dan terjatuh salah satunya. Perjalanan
panjang ini baru dimulai.
Tibalah
waktunya, saya berangkat ke Belanda. Bukan sebagai calon pelajar. Murni sebagai
seorang istri yang merelakan dan mengikhlaskan diri untuk hidup bersama suami, sebagaimana
seharusnya seorang istri. Mudahkah bagi saya?
Dalam
waktu yang cukup lama, mulai dari S1 hingga S2, sebagai parantau, saya terbiasa
hidup berdikari dan mandiri. Cukup sulit untuk pada akhirnya bergantung
sepenuhnya pada suami. Maka, setelah sakit fisik yang mendera, tibalah ujian
bagi hati. Ujian untuk menurunkan ego diri, meleburkannya menjadi ego bersama.
Dua
bulan pertama di rantau, setiap hari belajar, belajar, dan belajar sebagai
sepenuhnya istri bagi suami di negeri yang jauh. Cuaca yang makin hari makin
meranggas ke musim dingin. Penyakit kulit yang masih tersisa. Rasa rindu yang
mendalam disertai rasa bersalah meninggalkan orang tua berdua saja di rumah, di
kampung halaman. Namun pada akhirnya, beratnya perjalanan ini, yakin akan
beriring dengan banyaknya kebaikan-kebaikan yang kelak dituai. Tidak mudahnya
jalan cerita yang kami punya akan menguatkan kami seiring waktu, dan semoga di
sanalah cinta bersemi dengan caranya sendiri. Subur karena disirami perjuangan,
kuat karena berakar kesabaran yang senantiasa diupayakan.
Lagipula,
mengalah tidak selamanya berarti lemah. Harus ada yang bersedia memikul
tanggung jawab untuk membangun masa depan kemanusiaan yang gilang-gemilang, dan
itu dimulai dari keluarga. Pada akhirnya, peran perempuan dalam rumah tangga
adalah awal dari perbaikan kondisi masyarakat yang ideal. Maka, mulailah sembuh
hati ini beriring berangsur-angsurnya penerimaan atas keberadaan diri sebagai
istri penuh waktu.
Puja-puji
Ilahi, kabar baiknya, dalam masa dua bulan, penyakit yang bersemayam di tubuh
selama setahun belakangan, berangsur-angsur juga sembuh. Tentu dengan semakin
merutinkan zikir pagi dan petang, setiap hari meruqyah diri sendiri, dan tidak
lupa penanganan medis dengan rutin ke dokter. Puja-puji Ilahi. Rupa-rupanya,
Tuhan hanya sedang ingin memanggil hamba-Nya yang lemah ini, untuk semakin
mengingat-Nya. Setiap waktu.
Lalu
tiba jualah saya, sebagai istri, mulai memikirkan hal yang diidam-idamkan
sebagaimana istri pada umumnya. Apalagi jika bukan memiliki keturunan. Tanggal
03 Agustus 2016, saya pikir akan jadi hari bahagia yang super. Selain merayakan
setahun pernikahan, di tanggal itu, saya merasa mengalami tanda-tanda
kehamilan. Sering mual dan pusing, juga nafsu makan meningkat, serta telat
menstruasi. Tapi, anugerah Tuhan bukan matematika yang bisa dikalkulasi dan
disesuaikan dengan tanggal pernikahan. Saya belum hamil di bulan Agustus.
Urusan
kali ini, sempurna adalah keputusan-Nya, tentu setelah ikhtiar telah diberikan.
Maka jika pun belum datang anugrah itu, menguatkan keyakinan, insya Allah hadir di waktu yang tepat.
Sesungguhnya,
meski hanya berstatus hidup di negeri orang sebagai istri, saya masih punya
banyak kesempatan belajar. Awal kedatangan, saya kerap kali menghabiskan waktu
lowong di perpustakaan kampus suami. Bulan September, saya juga mengambil
kursus singkat sampai akhir tahun nanti. Sering pula suami mengajak saya
mengikuti kegiatan atau kuliah non-formal di kampus. Selain menyiapkan makanan
suami dan mencucikan baju untuknya, saya sejujurnya, beruntung sekali, memiliki
suami yang mau membereskan tempat tidur, mencuci piring dan mengepel rumah,
meski statusnya sebagai mahasiswa PhD tidak kurang-kurang sibuknya. Maka di
akhir-akhir ini, barulah kesyukuran itu membuncah-buncah. Barangkali kegagalan
kemarin adalah untuk menambah kenikmatan sebagai istri, dan sakit panjang
kemarin, untuk mendekatkan kepada-Nya semata.
Syukur
itu, kian membuncah. Saat di tanggal 20 September 2016, pagi setelah menghadiri
kuliah umum di kampus bersama suami, setelah bersungut-sungut ditinggal suami
di jalan karena dia buru-buru ingin kembali menghadiri presentasi, saya menuju
tempat belanja. Sengaja membeli alat tes kehamilan dan yah, terburu-buru saat
sampai di rumah, rasa kesal itu sirna dengan dua garis merah. Berganti jadi
kesyukuran mendalam, dan bahagia luar biasa.
Ada
kamu Nak, di sana. Kuatlah Nak, semoga rahim ibu pun hangat dan kuat untuk
menampungmu sementara waktu di sana. Ilahi
Aamiin…
Kita menangis, dan bersedih atas setiap kejadian yang tidak menyenangkan. Seolah setiap usaha menjadi sia-sia. Tapi kemudian, pada akhirnya, kita tahu, Dia tidak pernah pergi. Dan ketetapan-Nya adalah selalu yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar