Apa
sih hebatnya artikel Creswell dan Miller yang diterbitkan penerbit jurnal lembaga
kampus Ohio: Theory Into Practice, 39
(3), 124-130? Bahkan sependek ingatan saya dan sepanjang pembacaan saya, belum
pernah saya menemukan dan membaca jurnal dari penerbit yang sama. Entah saking
tidak bermutunya, atau justru saking sedikitnya bacaan yang telah saya
habiskan. Tapi penulis amatiran mana sih yang mau disalahkan?
Artikel
konsep dengan judul “Determining Validity
in Qualitative Inquiry” ini dibuka dengan paragraf yang memaparkan
banjirnya penelitian-penelitian sebelumnya yang senada dengan tema yang dibahas
keduanya. Dengan kerendahan hati, Creswell dan Miller secara tersurat
menyebutnya sebagai “flood the pages of
books”. Tidak kurang dari tujuh rujukan ditunjukkan dalam satu kalimat saja.
Namun dari sana, keduanya hendak membalikkan paparan tersebut dengan (kira-kira
begini) : “eiitttts, tunggu dulu, meskipun sudah banjir referensi, selama ini
mereka selalu punya standar berbeda untuk mengukur kredibilitas dan validitas
penelitian kualitatif”. Dan di sanalah Creswell dan Miller mengisi celah, setelah
dengan sengaja membentuknya, menawarkan gagasan baru: bagaimana kalau dibuat
satu standar yang berlaku umum?
Creswell
dan Miller menulis artikel ini dengan paduan kata yang sungguh memikat, menarik
pembaca dan berusaha membuat pembaca yakin bahwa apa yang ditawarkan mereka
memang sangat dibutuhkan. Lihat saja pada paragraf ketiga, tidak malu-malu
ditulis dengan kalimat pembuka : “As
helpful as they are…” (di paragraf yang ke empat, frase ‘helps researchers’ juga masih perlu
untuk diulang). Lalu dilanjutkan dengan penjelasan kenapa artikelnya akan lebih
membantu peneliti dibanding referensi yang sudah ada sebelumnya. Cukup dengan
tiga paragraf pendek saja, dengan argumentasi yang padat dan kuat, Creswell dan
Miller sudah menjelaskan apa pentingnya dan kenapa pembaca harus menyelesaikan artikel
tersebut.
Dilanjutkan
pada paragraf selanjutnya, sedikit penjelasan tentang apa-apa saja inti dari
keseluruhan yang dibahasnya. Sialnya, keduanya sangat lihai mengolah alur.
Pertama, keduanya memaparkan inti dari keseluruhan artikel. Kemudian
menjelaskan dari mana mereka memulai lalu mengakhirinya. Boleh dibilang, alur
yang dipakai bolak-balik dalam keteraturan yang terencana. Hebatnya lagi, penjelasan
tentang apa isi keseluruhan artikel tadi dipaparkan tidak cukup sampai dua
paragraf. Ah, bagaimana mereka bisa melakukan hal semacam ini?
Selanjutnya,
pada paragraf kelima sebagai penutup dari bagian pendahuluan, Creswell dan
Miller menyimpulkan, “we make the
assumption that validity refers not to the data but to the inferences drawn
from them”. Kesimpulan itu merujuk pada penelitian sebelumnya, yang artinya
bukan ide yang dibangun dari artikel ini. Lalu apa sih gunanya artikel ini
kalau toh tidak memiliki kesimpulan sendiri? Dengan kebingungan inilah, pembaca
seperti saya ditarik untuk menghabiskan artikel ini sampai akhir. Dan dari sana
pula kita tahu, kesimpulan kedua penulis terpapar di sepanjang pembahasan.
Teknik menyebarkan kesimpulan yang pastinya harus dilakukan dengan sangat
hati-hati.
Cukup
pada lima paragraf pembuka itu, cara Creswell dan Miller untuk membuka setiap
kalimat agar bersambung dengan kalimat sebelumnya sudah dapat terlihat. Kata
ganti selalu muncul pada awal paragraf, kecuali paragraf satu. Oleh karena
tidak mungkin kata ganti berdiri sendiri, maka kata ganti tersebut secara
otomatis merujuk pada paragraf sebelumnya, dan inilah yang menghubungkan antar
paragraf. Jarang sekali Creswell dan Miller menggunakan kata hubung seperti “that is why, consequently, although that,…dll.”,
pada awal paragraf. Justru, kata hubung seperti itu terselip di antara kalimat-kalimat
dalam satu paragraf. Sepertinya memang, hubungan antar paragraf lebih kuat
dengan menggunakan kata ganti. Satu kata ganti “they” saja misalnya (lihat pada paragraf tiga), telah mampu menggantikan
subjek yang dibahas di kalimat panjang yang menutup paragraf sebelumnya.
Kalimat ini sampai membutuhkan lima baris loh. Bayangkan, satu kata “they” menggantikan kalimat lima baris
pada paragraf sebelumnya. Dan akhirnya, pertanyaan saya sebelumnya yang
“bagaimana mereka bisa melakukan hal semacam ini?”, terjawab sudah.
Creswell
dan Miller menulis artikel pendek saja. Tapi tidak ada kalimat yang tidak
bunyi. Pembaca, saya kira, harus
cerdas-cerdas memahami artikel ini. Lihat saja pada tabel yang dibuat. Tabel
tersebut merupakan susunan dari penjelasan panjang yang tertuang di pembahasan.
Usaha untuk mengkotak-kotakkan atau memisahkan bagian-bagian dari cara mengukur
kredibiltas sesuai asumsi dan pendekatan penelitian dalam tabel tersebut, tidak
tertulis sedikit pun pada pembahasan. Apa yang ditulis pada pembahasan hanya
penjelasan rincian terkait masing-masing isi tabel. Sekali lagi tanpa
penjelasan hubungan isi kotak tabel yang satu dengan yang lain. Tapi, jika
pembaca mau sedikit saja menaruh perhatian—bukankah setiap peneliti memang
harus serius?—pada gambar tabel lalu mengkonfrimasi penjelasannya pada
pembahasan, dengan mudah pembaca dapat mengerti hubungannya.
Menulis
dengan gaya seperti ini, saya kira, lahir dari usaha keras untuk memahami
taktik menulis ilmiah yang baik. Baik maksud saya, bukan merujuk pada data yang
tervalidasi atau kesimpulan yang benar. Kita tahu, setiap penelitian memang
wajib memiliki keduanya. Namun, kualitas tulisan ilmiah yang tidak membosankan
dan dikerjakan dengan serius, seperti teknik mengolah kalimat, hubungan antar
pargaraf, menaktisi alur, hingga yang paling tidak terpikirkan: membuat tabel
berbicara dan punya peran penting dalam sebuah artikel, saya pikir jarang
ditemukan untuk saat ini. Dengan hasil secemerlang itu, bahkan jika pun
misalnya benar artikel ini diterbitkan oleh penerbit yang tidak keren, saya
kira tidak mengherankan jika sampai hari ini tetap menghiasi penjelasan pada
bagian metode di berbagai artikel penelitian dengan pendekatan kualitatif.
***
Setelah
tiga tahun mempelajari dengan serius metode penelitian kualitatif, dan oleh
karena itu sudah sering menemukan nama Creswell dan Miller di artikel-artikel
kualitatif, baru sehari yang lalu saya membaca dan menamatkannya semalaman.
Tentu bukan tanpa alasan kenapa akhirnya saya mau membacanya. Ini karena dua
artikel berturut-turut yang saya baca sebagai referensi utama penelitian saya,
menyebut nama Creswell dan Miller secara berulang-ulang. Sebagai penulis pemula
yang sedang tertatih-tatih belajar dan akhirnya tidak ingin melewatkan
tulisan-tulisan hebat untuk dipelajari, saya tentu saja langsung mengunduh dan
menitip pada suami untuk di-print di
kampusnya. Maklum, saya belum lagi jadi mahasiswa dan urusan print-menge-print di Groningen hanya tersedia di kampus. Bagi para mahasiswa
PhD seperti suami saya, mereka dibekali kartu yang dapat digunakan untuk mengakses
mesin print secara gratis. Dalam hal ini, saya pasti lebih memilih membaca
kertas daripada berhadapan dengan layar laptop seharian. Lagipula kan gratis. *Teteeeeup.
Enam
belas tahun berlalu setelah artikel tersebut terbit. Tepat saat saya sedang membaca
artikel Creswell dan Miller ini, saya coba mengecek di Google Cendekia berapa
jumlah sitasinya. Angka 3.901 muncul dari Google Cendekia. Lalu apa kabar yang
tidak terdeteksi Google Cendekia? Angkanya bisa lebih besar tentu saja.
Satu
lagi, menjawab judul tulisan ini, jika pertanyaan itu sampai pada Creswell dan
Miller, kira-kira kita sudah dapat membayangkan reaksi mereka. Selain bahagia,
di pikiran saya, mereka juga akan dengan santai bilang “oh dulu kami memang kerja
keras menulis untuk kualitas sehebat itu kok”. Artinya? Penulis seperti saya, yang
masih bocah ingusan dan belum belajar dengan keras malah mengharap publikasi di
level internasional apalagi tersitasi hingga empat ribuan, silakan bangun dari
tidur nyenyak Anda. Belajar dulu yang benar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar