Saya
belum pernah ketemua Eka, bahkan jika dia sudah dua kali datang ke Makassar
mengikuti Makassar International Writers
Festival (MIWF). Kali pertama Eka berkunjung ke Makassar, saya sedang
sekolah di Semarang. Kali kedua, saya sedang tergolek di kamar karena sakit.
Tapi, mungkin juga kalau saya sehat, saya akan tetap memutuskan untuk tidak
menemuinya. Maksud saya, kalau pun saya ke Fort Rotterdam, tempat MIWF digelar waktu itu, saya hanya akan
melihatnya di kelas-kelas di mana dia jadi pembicara. Sungguh kikuk dan
membingungkan buat saya menyapa orang lain yang saya yakin tidak mengenal saya,
bahkan jika pun saya sendiri sudah mengikuti hampir semua tulisannya.
Tapi
saya tidak kecewa juga melewatkan kelas Eka yang berharga itu di Makassar.
Justru di negeri Belanda, saya berjumpa dengan Eka dengan cara yang bagi saya
sebagai pembaca : menyenangkan.
Akhir
pekan lalu, saya dan suami berkunjung ke Zwolle, kota yang tepat bersebelahan
dengan tempat tinggal kami, Groningen. Hanya ada satu titik yang ingin kami
kunjungi, Waanders In de Broeren. Itu
adalah sebuah bangunan gereja tua yang sudah dialihfungsikan jadi toko buku.
Pintu Masuk Waanders in de Broeren (Kredit M.A.Bahar) |
Awalnya,
kami mengiranya sebagai perpustakaan. Menurut suami saya, barangkali
perpustakaan itu dikonsep sebagai ruang untuk menyerap ilmu di tempat ibadah.
Kan ilmu itu suci, jadi diambil dari tempat suci juga. Kesannya jadi kental
buat ibadah kalau pengunjung sedang membaca. Baru membayangkan begitu saja,
hati saya sudah buncah bahagia akan berkunjung ke sana.
Nanti
sehari sebelum berangkat, setelah mencari-cari informasi lewat Google mengenai
tempat itu, saya akhirnya tahu kalau itu bukan perpustakaan tapi toko buku.
Tapi ini tidak begitu mengecewakan karena mengingat bahwa rupanya tempat itu
adalah salah satu toko buku terunik di dunia. Bikin cemburunya, Zwolle malah dikenal sebagai kota industri yang aktif di negara ini. Salah seorang teman Indonesia yang sudah menetap di sana bercerita kalau pemerintah menyediakan toko buku sebagai salah satu fasilitas untuk para pekerja. Pengetahuan dianggap sebagai salah satu kebutuhan publik, yang tidak hanya milik pelajar saja.
Tampak Bagian Depan (Kredit M.A. Bahar) |
Tampak Bagian Belakang (Kredit M.A. Bahar) |
Tangga Menuju Lantai 4 (Kredit M.A. Bahar) |
Di
sanalah saya bertemu Eka Kurniawan. Pertama kali masuk, setelah mengambil
beberapa foto, kami menuju rak buku khusus berbahasa Inggris. Adanya di sebelah
kanan lantai 1.
Toko
buku ini ada empat lantai, di sisi kiri, dan dua lantai di sisi kanan. Semuanya
dijejali rak-rak buku. Selain toko buku, ada sedikit ruang untuk nongki-nongki
cantik disertai penjual makanan kecil. Jadi setelah membeli buku, pengunjung
bisa langsung membacanya di kantin tersebut.
Penampakan Rak Lantai 1 dan 2 Sebelah Kanan (Kredit M.A. Bahar) |
Di
jejeran buku berhasa Inggris bagian sastra, saya menemukan nama-nama raksasa
sastra dunia dari zaman nenek moyang hingga zaman kekinian. Dari genre sastra kiri
ke sastra kanan (kalau itu ada). Saya menemukan Ernest Hemingway dan Haruki
Murakami, juga Marxim Gorky dan Paulo Coelho. Sayangnya saya tidak menemukan
nama yang saya cari, Eka Kurniawan.
Setelah
mencari di rak-rak yang ada di lantai dua, nama Eka masih tidak saya temukan.
Waktu itu karena kebelet pipis, saya tidak menjajaki lantai tiga dan empat di
bagian kiri gedung. Lagi pula di sana hanya ada buku dengan bahasa Belanda.
Tampak Lantai I-4 Kanan Bangunan; Semua Dipenuhi Rak Buku (Kredit M.A. Bahar) |
Akhirnya
saya memutuskan mencari di katalog elektornik yang tersedia. Nah kan! Ada Eka
di gereja ini. Atau setidaknya, pernah ada nama Eka di sana. Saya selanjutnya
masih ngotot mencari Eka di jejeran rak buku sastra, mana tahu terlewat
sebelumnya, tetap saja tidak menemukannya.
Karya-karya Eka Kurniawan (Kredit M.A. Bahar) |
Puas
dengan hanya menemukan nama Eka di katalog, saya pindah ke nama lain yang juga tidak kurang
familiarnya. Adalah Pramoedya Ananta Toer, yang jumlah bukunya tentu saja sudah jauh
lebih banyak yang pernah mampir di toko buku tersebut.
***
Bahkan
jika Eka tidak mengenal saya, pun mungkin tidak pernah tahu ada pembaca seperti
saya yang hidup di belahan dunia ini, saya tetap bangga melihat namanya dan
Pram ada di sana. Bukan hanya karena daya tarik toko buku tersebut, tapi karena
negara tempat toko buku tersebut adalah negara yang tidak kurang tiga ratus
tahun pernah mengangkangi Indonesia. Ketika negara yang pernah terjajah justru
darinya berasal karya kebanggaan yang di pajang di negara yang pernah
menjajahnya. Bolehlah saya, sebagai salah satu masyarakat Indonesia untuk
sedikit mengangkat kepala, bahwa ada dua penulis kami yang tidak dapat
diremehkan—meski keduanya lahir di negara yang tidak pernah
mendukung atau bahkan pernah menyembunyikan (kita tidak pernah lupa pemusnahan
karya-karya Pram) karya-karya keduanya.
Tentu
saja, dengan kebanggaan tersebut saya sangat naïf. Saya bersembunyi di balik
karya-karya penulis besar di negara saya, sementara saya sendiri belum
melakukan apa-apa. Uh! Untuk sementara, mumpung masih Agustus, selamat ulang tahun kemerdekaan aja lah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar