Huft
Huft Huft… selesailah sudah tugas saya menginput nilai mahasiswa-mahasiswa yang
mengambil kelas yang saya ampu semester kemarin. Dua pekan pertama sejak
kedatangan saya di Groningen, Netherlands, saya habiskan untuk mengerjakan tugas
ini. Tidak semua waktu sih, maksud saya, waktu yang sedianya bisa saya gunakan
untuk belajar teralihkan ke tugas administratif seperti ini. Lumayan juga, lima
kelas dengan rerata 30 siswa per kelas.
Namun
ya namun, ada kelegaan luar biasa bisa memeriksa satu-satu tugas akhir
mahasiswa dan menemukan beberapa mahasiswa yang curang. Beberapa mahasiswa
meng-copypaste tugas temannya dan
atau mencomot langsung dari internet. Sudah saya wanti-wanti di kelas, juga di
kertas ujian, utamakanlah kejujuran. Saya pikir, menjadi orang jujur meski
dengan nilai pas-pasan jauh lebih baik daripada sejumlah nilai tinggi yang
didapat dengan ketidakjujuran.
Memeriksa
catatan satu semester ke belakang untuk memasukkan nilai Prilaku, Kehadiran,
Keaktifan, Ujian Tengah Semester, dan Ujian Akhir Semester, bisa dibilang
membuat saya sedikit harus memaksa diri melakukan tugas monoton dan super teliti
seperti ini. Saya meng-copy tugas
mahasiswa kemudian mem-paste-nya di
salah satu aplikasi internet, dan yah ada beberapa yang ketahuan sama persis di
internet. Itu saya lakukan pada hampir satu demi satu tugas mahasiswa. Hal ini
karena saya ingin memeriksa hasil akhir mereka seadil dan seobjektif mungkin.
Tidak adil dong, ada mahasiswa yang berusaha dengan jerih payah sendiri,
dinilai sama dengan yang memberi contekan atau yang tinggal menyontek punya
temannya? Dengan usaha seperti itu, saat saya mengirim nilai totalnya kepada
mahasiswa sebelum saya kirim ke petugas admisi (agar mereka bisa melihat lebih
dulu nilai masing-masing), masih banyak juga yang komplain dan tidak terima.
Tentu saja berupa-rupa isi komplain tersebut. Ada yang legowo karena merasa
bersalah memberi contekan. Ada pula yang aneh dan membingungkan: tidak pernah
terdengar suaranya di kelas, kedapatan menyontek saat ujian dan meng-copypaste tugas akhir lalu protes kok
dapat E. Saya hanya bisa mengurut dada. Mahasiswa ini, duh!
Serunya
berhadapan dengan mahasiswa adalah sekali waktu berhadapan dengan mahasiswa
yang masih kurang introspeksi diri, di waktu yang lain berhadapan dengan mahasiswa
yang (menurut saya) tetap berusaha menanggapi dengan baik bahkan jika yang
bersangkutan dapat E. Selain merasa bersalah, si mahasiswa juga
sempat-sempatnya berdoa untuk kebaikan saya. Dengan demikian, saya dengan
senang hati membalas surelnya, dan menyampaikan kekurangannya agar tidak
terulang kembali di semester berikutnya.
Rampung
membalas surel-surel mahasiswa yang berhak menngkomplain (beberapa saya ubah
nilainya karena kesalahan terjadi pada saya dan beberapa yang lain tidak), saya
mengerjakan tahap terakhir. Memeriksa tugas-tugas kebaikan mereka. Lima kelas
dengan mahasiswa berjumlah tiga puluh setiap kelas, saya harus membaca
satu-satu kisah-kisah yang mereka tuturkan saat berbuat kebaikan setiap pekan
selama satu semester berlangsung. Ada yang mengerjakan hanya satu tugas kebaikan
dan ada juga yang semangat mengerjakan tugas kebaikan setiap pekan.
Omong-omong,
apa sih itu tugas kebaikan? Jadi, saya menyebutnya semacam tugas sunnah. Jika
dikerjakan mendapat poin tambahan, jika tidak ya tidak mengapa. Setiap pekan,
para mahasiswa bertugas melakukan menimal satu tugas kebaikan. Kemudian tugas
tersebut diketik dan dikirim ke alamat surel saya. Diketik bisa di aplikasi
word, bisa juga langsung di badan surel kalau mahasiswa pakai HP pintar,
misalnya. Saya membebaskan mereka menggunakan aplikasi apa saja, tidak ada
aturan pengetikan atau aturan penulisan. Saya mempersilakan mereka menulis
kejadian saat mereka melakukan kebaikan dan apa yang mereka rasakan setelah
melakukannya dengan bahasa sederhana yang mereka mampu.
Awalnya,
banyak yang protes. “Kok kebaikan ditulis sih Bu?” atau “kebaikan kan harusnya
si pelakunya saja yang tahu Bu”. Tapi bukankah hal-hal baik harus selalu
diusahakan dan dibiasakan? Kira-kira begitu ajaran seorang dosen yang pernah
saya ikuti kelasnya waktu kuliah di Universitas Hasanuddin dan juga memberi
tugas kebaikan seperti yang saya lakukan sekarang. Ini tidak dalam rangka riya’ atau ujub diri. Tugas kebaikan
hanya sedikit upaya mengaktualisasikan tugas pendidik untuk menemani mahasiswa
berproses menjadi manusia, menyebar kebaikan kepada semesta. Kalau kata Pram, “tugas
mendidik adalah tugas kemanusiaan”.
Tentu
pula, di antara tugas-tugas kebaikan yang saya baca, ada yang tampak hanya
sekadar formalitas belaka. Namun yang begitu membahagiakan adalah ada yang
konsisten menulis tugas kebaikannya panjang lebar. Ada yang melakukan kebaikan
yang sepele tapi sangat berarti. Mengembalikan dompet seseorang yang ketinggalan
di gereja saat si mahasiswa sedang ibadah, misalnya. Ada juga yang bahkan
barangkali saya sendiri tidak bisa lakukan. Meminjamkan teman uang untuk
pembayaran SPP semester berjalan yang merupakan tabungannya untuk pembayaran
semester depan. Oh, they are the lovely
student, aren’t they?
Kredit : Alya Natami |
Kredit : Windi Islamaetia |
Akhirnya,
dengan kebaikan-kebaikan yang konsisten itu, ada yang bisa lebih baik nilainya.
Dari yang tadinya E berubah jadi D. Atau dari yang tadinya C+ berubah jadi B-.
Lumayan kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar