Membaca ‘Metode Etnografi’ milik James P.
Spradley membuat saya gamang bertanya pada diri sendiri, “lantas untuk apa
penelitian selama ini?”. Untuk alasan apa kita perlu bersusah payah
mengumpulkan informasi kebudayaan tertentu? Untuk apa etnografi itu? Apakah
kita ingin mempelajari kebudayaan orang miskin untuk membangun teori tentang
kemiskinan? Tidak dapatkah kita melihat bahwa anak-anak mereka, pada waktu yang
sama, tengah kelaparan?
Mengutip definisi Spradley, salah satu cara untuk mensinkronkan kebutuhan
mendesak masyarakat dengan tujuan etnografi adalah melakukan konsultasi dengan
partisipan untuk menentukan topik penelitian yang penting. Jika demikian, kita
harus berinteraksi terlebih dahulu dengan masyarakat untuk dapat mengetahui
masalah apa yang ingin dan dapat dipecahkan. Jika mengikut syarat tersebut,
seorang etnografer, tidak selayaknya membawa masalah penelitiannya, dan
kemudian ke masyarakat untuk mencari komunitas yang mampu menyelesaikan masalah
penelitiannya. Penelitian ada untuk kebutuhan masyarakat, bukan malah dibalik :
masyarakat dicari untuk kepentingan penelitian kita.
Awalnya, Spradley pernah mencoba meneliti
tentang kaum gelandangan. Spradley memulainya dari lokasi pusat penyembuhan
alkoholisme. Salah satu partisipannya, seorang peminum kawakan yang menjalani
kehidupan sebagai narapidana di penjara Kota Seattle, bertanya pada Spradley
“Mengapa Anda tidak mempelajari hal-hal yang terjadi dalam penjara ini?”. Dari
sana, Spradley ‘memutar’ arah penelitiannya. Lebih mendesak baginya untuk
mempelajari budaya penjara, struktur sosial penghuni penjara, dan bagaimana
para peminum yang ada di sana ditekan oleh sistem penjara.
Omong-omong soal budaya gelandangan, saya jadi
ingat novel Orwell yang lebih mirip otobiografi, ‘Down and Out in Paris and London’. Kita tidak pernah tahu tentang
hidup para gelandangan serta apa yang ada di dalam pikiran mereka sebelum kita
menjadi atau setidaknya hidup bersama mereka, begitu menurut Orwell. Mengenal
para gelandangan dan hidup dengan mereka, paling tidak, dapat membuat Orwell
“merasa telah melihat kemiskinan lebih dari sekadar kulit luar”.
Yah, untuk kesekian kali, saya justru banyak
memahami metode penelitian kualitatif dari cerita fiksi. Bukan dalam arti bahwa
Orwell mendikte saya begini dan begitu cara meneliti etnografi yang benar. Tapi
dari cerita yang dibangun Orwell, saya dipahamkan ontologi apa yang harus
dimiliki oleh seorang etnografer.
Membaca novel, paling tidak bagi saya, selain manfaat-manfaat lainnya yang banyak, juga
meluaskan jangkauan pengetahuan saya tentang penelitian kualitatif. Sewaktu
masih jadi mahasiswa, saya pernah meminjam cerpen Eka Kurniawan untuk menjadi
pisau bagi penelitian saya.
Melalui kisah si ‘Aku’ dalam novel Orwell tadi,
kita jadi paham penyebab seseorang menjadi gelandangan dan mengapa orang yang
sama hampir tidak bisa terbebas dari lingkungan gelandangan tersebut. Melalui
‘Aku’ pula, pembaca akhirnya tahu siapa dan tindakan apa yang dapat membantu gelandangan
tersebut keluar dari lingkaran setan kehidupannya. Seperti kata Spradley,
etnografi dapat digunakan untuk menekan orang atau untuk membebaskan manusia.
Pilih mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar