Kalau
tidak salah, di Bumi Manusia-nya, Pram pernah bilang bahwa sesuatu yang besar
lahir dari syarat pengalaman yang luar biasa sulitnya. M. Aan Mansyur juga
pernah menyatakan hal yang serupa, bahwa tidak ada sesuatu yang indah yang
terlahir dari sesuatu yang mudah. Kira-kira seperti wejangan ini : pelaut yang
hebat lahir dari terpaan ombak, bukan dari lautan yang tenang. Demikian juga
dengan jurnal ilmiah, mestinya dia lahir dari kumpulan berbagai pengetahuan
sebelumnya yang kemudian menghadirkan pengetahuan baru. Begitu bukan sih?
Dulu
di kepala saya, jurnal yang kanon itu harusnya memunculkan banyak referensi,
ngutip sana-sini pendapat dan hasil penelitian orang. Tapi Morgan
mencungkirbalikkan pemahaman saya itu. Sebutlah artikelnya yang berjudul ‘Accounting As Reality Construction: Towards
A New Epistemology for Accounting Practice’.
Pada
halaman pertama di jurnal tersebut (abstrak dan sebagian pendahuluan), tidak
muncul satu pun hasil penelitian sebelumnya sebagai pembanding. Bagaimana
mungkin ini terjadi, sementara dulu waktu mengambil mata kuliah metodologi
penelitian, saya selalu diwanti-wanti sama dosen bahwa pendahuluan minimal
harus memuat latar belakang teoritis. Penelitian harus mengisi bagian pada
badan pengetahuan (body of knowledge), atau
bahasa kerennya turut menyumbang pengetahuan, dan karena itu seharusnya ada
rujukan dari artikel sebelumnya yang menjadi penjelas tema mana yang kita bahas
dan kekurangan penelitian mana yang dilengkapi oleh penelitian kita. Ok! Fix, saya bingung sama Morgan!
Mari
lanjut ke halaman kedua. Pada halaman ini, pembaca malah disuguhi sebuah gambar
dari seniman M. C. Escher ini :
Sumber : Google |
Kualitatif
gitu ya, apa aja bisa jadi datanya (kata orang begitu). Pada halaman kedua juga
belum ada kutipan yang dimunculkan satu pun. Baru pada halaman ketiga, Morgan
memunculkan empat referensi. Dari empat referensi itu, tiga di antaranya adalah
referensi yang menggunakan namanya sendiri sebagai penulisnya. Nah kan,
langsung menghantam ini sih jadinya. Pembaca mana yang tidak akan dibuat paham
kalau Morgan sudah ahli di bidang yang ditulisnya tersebut dengan merujuk
langsung pada tiga penelitian yang dihasilkannya sendiri sebelumnya? Alih-alih
meremehkan tulisannya sebagai abal-abal atau asal bunyi karena pada halaman
awal tidak ada satu pun kutipan, hanya dipenuhi argumen, berikutnya malah
membuat pembaca harus tersenyum kecut dengan kecerdikannya memunculkan tiga
hasil penelitiannya sebagai sodoran. Betapa Morgan sudah mendalami masalah yang
ditulisanya itu jauh hari sebelumnya.
Lanjut
ke halamana kelima, kembali tidak ada satu pun sumber yang dikutipnya. Baru
kemudian pada halaman keenam (halaman keempat dari terakhir), Morgan
memunculkan para pendahulu dan rekannya secara runut sebanyak empat belas
referensi artikel dan buku. Sebutlah beberapa di antaranya berasal dari tulisan
Paton, Littleton, Belakoui, Tinker, Gambling, dll. Siapa sih yang berani-berani
mengaku sudah membaca dengan baik hasil penelitian akuntansi dengan pendekatan
kualitatif tanpa pernah menemukan satu pun nama-nama itu sebagai rujukan?
Dengan
hanya delapan halaman ditambah satu daftar pustaka, tulisan Morgan menjadi
raksasa bagi penelitian kualitatif khususnya yang butuh penguat argumen terkait
akuntansi sebagai realitas yang subjektif. Hayo, siapa bilang menulis jurnal
bagus harus lebih dari dua puluh halaman? Menurut saya yang bacaannya belum
banyak ini, benar bahwa Morgan tidak banyak mengambil referensi sebagai penguat
argumen, namun kekuatan dari tulisan itu sendiri yang membuat artikel tersebut
menjadi kanon hingga saat ini (tulisan tersebut terbit tahun 1988).
Morgan
hadir ke belantara pengetahuan akuntansi yang sudah mapan dengan pemahaman
bahwa akuntansi adalah sesuatu yang objektif dan bebas nilai dengan pernyataan “akuntansi
yang subjektif dan bebas nilai itu mitos!”. Sangar tidak? Menurut Morgan,
akuntansi terpengaruh oleh banyak hal. Budaya, misalnya, sangat berpengaruh
pada bentukan akuntansi itu sendiri. Belakangan ini, semakin banyak penelitian
yang membenarkan hal tersebut.
Dengan
menggunakan gambar Escher di halaman kedua, Morgan mengajak pembaca berpikir
tentang cara memandang realitas. Sebagaimana gambar Escher yang sedang
menggenggam bola, gambar tersebut kita lihat sama persis seperti cara
pelukisnya memandang. Pemandangan yang dilihat si pelukis kemudian digambar dan
kita lihat bersama hasilnya sebagai sebuah gambar, sebuah realitas. Dengan
demikian, apa yang kita lihat dari gambar tersebut, sedetail dan sebanyak apa
pun yang kita tangkap, hanya sebatas cara pandang si pelukis yang menuangkannya
dalam bentuk gambar. Katakanlah ada orang lain, sebutlah si B yang sedang berdiri
100 meter dari jarak si pelukis saat menggambar dan disuruh menggambar
pemandangan yang sama dari tempatnya berdiri, tentu hasil gambarnya akan
berbeda. Dan gambar itulah akuntansi, yang selalu dipertahankan sebagai sebuah
kebenaran objektif. Padahal, setiap realitas terbentuk dari sebuah cara pandang
tertentu. Beda cara pandang (beda tempat memandang dalam konteks gambar
Escher), akan menghasilkan realitas yang berbeda. Pendeknya, "In a broad sense, all knowledge is a
matter of perspective", ngono ik kata Morgan. Bukan kata saya loh ya,
kata Eyang Morgan.
Akhirnya,
bagaimana Morgan masih berdiri kuat di tengah-tengah melimpahnya penelitian
akuntansi, tidak lain barangkali karena hasil pemikirannya yang menjadi dasar
bagi hampir semua bangunan pengetahuan akuntansi yang memandang realitas akuntansi
sebagai sesuatu yang dapat dikonstruksi. Pertanyaannya adalah, bagaimana Morgan
bisa mencapai pemikiran tersebut, mealampaui pemikiran umum pada zamannya?
Tentu bukan karena mengejar banyak kutipan ya, tapi melihat dari daftar
pustakanya, bisa ditebak kalau Morgan membaca bacaan-bacaan terbaik pada
zamannya. Aih, guru yang baik lahir dari guru yang jauh lebih baik. Penulis
yang baik lahir dari melimpahnya bacaan dari penulis-penulis terbaik pula. Dan
barangkali itu juga berlaku bagi hasil-hasil penelitian akuntansi, apa pun
metode pendekatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar