Sore
di akhir Desember 2015, seperti Minggu biasanya, saya datang ke lokasi
kampung pemulung. Di pinggir jalan baru yang tanahnya agak meninggi, lebih
tinggi dari tanah warga, motor saya terhenti. Kali itu, saya memarkir kendaraan
di tempat berbeda. Di tanah sekitar perumahan warga, beberapa lokasi tanah
digenangi air dan beberapa yang lain berlumpur.
Saya
membuka sepatu dan kaos kaki untuk berjalan melewati genangan air menuju rumah
salah satu warga. Jika tidak, maka air bercampur sisa sampah dan plastik itu
bisa-bisa membasahi kaos kaki saya dan membuatnya lembap seharian.
Di
bagian depan pemukiman, yang merupakan rumah si pengumpul sekaligus tuan tanah, juga tergenang banjir. “Ada ular masuk di bawah televisinya karena banjir”, papar Kak Ira, salah satu warga yang rumahnya tepat di belakang rumah pengumpul. Di antara rumah warga yang
satu dengan lainnya, yang ada hanya genangan air. Di tanah yang agak meninggi,
lumpur bisa menjebak kaki-kaki mahasiswa yang datang ke sana. Tapi anak-anak
kecil, senang bukan kepalang bermain-main di sekitar genangan air dan tanah
berlumpur tersebut. Ketiadaan fasilitas bermain dan keterbatasan akses
menikmati hiburan membuat anak-anak pemulung itu menikmati melimpahnya air dari
langit yang tertahan di tanah-tanah pemukiman mereka akibat saluran drainase
air yang tidak ada. Ditambah lagi sampah-sampah plastik terkumpul di sana, baik
yang jadi hasil memulung para warga atau juga sampah-sampah plastik dari sisa
konsumsi mereka yang dibuang sekenanya.
***
Awal
April 2016, juga di akhir pekan, saya datang membawa buku cerita bilingual
untuk Dila, Sita, Aan, dan beberapa teman lainnya. Saya menghentikan sepeda
motor tepat di samping sumur warga. Sumur itu merupakan satu-satunya sumber air
‘bersih’ bagi warga. Sumur ‘bersih’ itu menghasilkan air kehitam-hitaman dan
ikan yang berenang bebas di dalamnya, kadang juga ikan mati masih menggenang di
permukaan sumur. Namun, sekotor-kotornya air di sumur itu, warga tetap
mensyukuri keberadaannya. Dari air di sumur itu, mereka bisa mandi dan mencuci
pakaian-pakaian mereka. Bukankah jika tidak ada pilihan lain, seburuk apa pun
fasilitas yang tersedia, apatah lagi jika merupakan kebutuhan mendasar, pada
akhirnya akan diterima sebagai sebuah kemewahan?
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi |
Menjelang
penghujung sore, selepas belajar bersama anak-anak di bawah jembatan di
belakang kampus poltek, kami kembali ke sekitar sumur. Masih ada Daeng Token
dengan tiga plastik besar yang membungkus pakaian kotor yang ada di hadapannya.
“Banyaknya
cucian ta’. Tidak mencari [memulung] ki’ kah hari ini?”, tanya saya memulai
percakapan.
“Mencari
ji juga Nak. Cuma menumpuk mi ini. Jadi harus mi dicuci”, jawabnya.
Cuciannya
masih banyak. Langit mendung dan rintik air sudah mulai turun. Saya berpamitan
segera, mencoba mengejar waktu agar tidak terlalu kebasahan untuk sampai
kembali di rumah. Saya meninggalkan Daeng Token dan anak-anak itu di tengah
genangan air yang tidak kunjung kering di atas tanah tempat tinggal mereka,
juga di antara air sumur yang menghitam, yang sebentar lagi akan kembali
ditumpahi air dari langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar