Di
sela-sela aktivitas kampus yang agak monoton, kerap kali saya dihinggapi
keletihan dan kebosanan. Untung saja, kedua hal itu bisa sedikit diminimalisir
dengan menyeduh kopi yang dijual di kantin kampus. Namun ada yang berbeda di
sana. Para barista, sebutan untuk mereka yang bekerja di kedai kopi, senantiasa
mengedukasi pelanggan mereka sembari menyiapkan kopi yang dipesan pelanggan
tersebut. Mereka, para barista itu, mengaku menempuh pendidikan non formal
selama kurang lebih setahun untuk belajar tentang seluk-beluk kopi. Hasilnya,
para pelanggan akan benar-benar dilayani saat membeli kopi.
Saya
misalnya, lebih disarankan untuk membeli kopi Arabica dibanding Espresso. Kandungan
kafein Arabica, katanya, lebih rendah 50% dibanding Espresso. Si barista bisa
menjelaskan mulai dari sejarah munculnya kopi hingga berbagai jenis kopi di
belahan bumi ini. Mendapatkan edukasi semacam itu, mengingatkan saya pada
cerita yang mirip di cerita pendek Dee, Filosofi Kopi.
Sebagai
konsumen, ada kepuasan tersendiri dilayani sepenuh hati oleh orang-orang yang
bergelut dalam profesi yang mereka sebut sebagai barista itu. Dua tiga kedai
kopi pernah saya kunjungi, dan mereka hampir tidak pernah melihat diri mereka
sebagaimana pembuat kopi di kampus tadi. Ada kesungguhan dan kebanggaan dengan
menjalani profesinya sebagai barista, dan dengan itu ada kebahagiaan melayani
para pelanggan yang butuh energi lewat kopi yang mereka racik di kantin kampus.
Dari hasil kerja meraciknya, saya bisa masuk ke kelas belajar bersama mahasiswa
kembali dengan sedikit terbebas dari kantuk di sore hari.
***
Suami
saya, seorang apoteker, lewat tulisan dan oborolan ringan yang kami bangun,
kerap kali mengedukasi saya untuk menjadi konsumen obat yang cerdas. Dari
pengetahuan yang secuil itu, saya jadinya bisa sangat cerewet saat ke apotek
membeli atau menukar resep obat. Apatah lagi kalau apotekernya pelit
menyampaikan informasi tentang obat yang saya beli, saya bisa sampai ngedumel dalam hati. Sebagai konsumen
obat, kita punya hak mendapatkan informasi yang kita butuhkan terkait obat yang
akan kita konsumsi.
Pada
dasarnya, dalam tugas keprofesian mereka, para apoteker memang telah ditugaskan
untuk mengedukasi konsumen tentang bagaimana cara penggunaan obat yang baik dan
benar. Begitu kata suami saya. Namun nyatanya, beberapa, atau banyak malah,
apoteker yang kita temui di apotek hanya menyerahkan obat begitu saja. Tanpa
embel-embel apa pun. Tanpa menjelaskan kapan waktunya obat tersebut dikonsumsi
(apakah setelah makan atau sesudah), apakah di antara obat-obat tersebut ada
yang antibiotik sehingga konsumen harus menghabiskan semua obat meskipun
penyakit yang diderita sudah tidak tampak, makanan apa saja yang tidak dapat
dikonsumsi bersamaan dengan penggunaan obat, dan pengetahuan lain tentang obat
tersebut. Pengetahuan tentang obat-obatan yang dapat membantu para konsumen
obat berganti jadi ‘kesadaran’ sebatas tugas menjual obat saja.
***
Hampir
dua tahun lamanya, saya hidup dengan seorang calon pustakawan. Dia adalah
tetangga kamar saya. Seorang gadis belia yang mengambil kuliah di jurusan
perpustakaan. Di waktu senggangnya, dia bolak-balik ke perpustakaan umum daerah
untuk membaca apa saja. Kepadanya saya bisa berdiskusi tentang buku-buku
terbaru dan penulis-penulis yang kami kagumi.
Sekali
waktu, saya pernah iseng meminjam buku kuliahnya. Membaca beberapa halaman
membuat saya baru paham perihal banyak hal teknis yang mesti diketahui seorang
pustakawan untuk mengatur buku-buku di perpustakaan. Namun lebih dari urusan
teknis, rasa-rasanya, hal paling penting bagi seorang pustakawan, dia haruslah
cinta membaca.
Betapa
garingnya mengunjungi perpustakaan yang pustakawannya hanya duduk di depan
komputer dan sesekali bergosip dengan pustakawan lainnya. Sebaliknya, betapa
menyenangkannya menemukan pustakawan yang bisa memandu kita memilih buku yang
paling baik saat kita meminta saran dengan menawarkan tema bacaan yang kita inginkan.
Atau bahkan mampu menceritakan kelebihan dan kekurangan buku yang akan kita
baca menurut pengalaman membacanya. Jika tidak salah ingat, pustakawan seperti
itu saya temukan di cerita Haruki Murakami, Kafka
on the Shore. Perpustakaan yang diceritakan Murakami, tidak saja memiliki
pustakawan sekeren itu, bahkan ada kegiatan khusus mengelilingi perpustakaan
untuk para pengunjung yang dipandu oleh pemimpin perpustakaan.
Semoga
saja adik kos saya itu bisa, atau minimal, meniru model pustakawan yang
digambarkan Murakami dalam ceritanya. Saya percaya, dari kegiatan dan buku-buku
yang ada di dalam kamar adik kos tersebut, dia bangga dengan profesi yang akan
diembannya di masa depan. Rasa-rasanya, dia pernah bilang ke saya, “Mbak, kenapa ya pustakawan di
perpus-perpus pada nda asyik?”.
***
Dari
barista ke pustakawan, masing-masing profesi mengemban tugas-tugas khusus untuk
pelayanan. Sebagaimana setiap profesi yang baik, dia bisa jadi jalan untuk
memberikan manfaat kepada masyarakat. Namun profesi yang diemban bisa juga
hanya untuk memenuhi kebutuhan individu, hanya dipandang sebagai jalan untuk
memungut pundi-pundi rupiah yang dinikmati diri sendiri atau keluarga. Kita
sudah sering menemukan hal semacam itu. Bahkan profesi seorang pendidik sekali
pun, sebagaimana dalam tulisan Bjork (2005), ‘Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bereucracy’,
bahwa para tenaga pendidik di Indonesia
cenderung lebih mengutamakan peran mereka sebagai pegawai ketimbang sebagai
pendidik. Nah kan!
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 20 April 2016)
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 20 April 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar