Perempuan, katanya, adalah lambang dari
keindahan yang hakiki. Umumnya di setiap zaman, perempuan senantiasa memberikan
tindakan preventif pada tiap bagian tubuh mereka. Mulai dari tindakan merawat
hingga mengantisipasi hal-hal yang dapat mengganggu keindahan ujung kaki hingga
ujung rambutnya.
Tindakan merawat tubuh oleh perempuan, pun
senantiasa bergerak dalam putaran masa, beriring kebutuhan-kebutuhan perempuan
itu sendiri. Yang sulit dihindari, kebutuhan-kebutuhan yang ada kerap kali tergantikan
oleh keinginan-keinginan belaka. Hal ini berujung pada asimilasi diri perempuan
dari lingkungan tempatnya hidup dan berasal.
Mabbedda’
pica, satu contoh kegiatan merawat dan mempercantik diri yang
dilakukan oleh banyak orang tua perempuan kita di mayoritas daerah di Sulawesi
Selatan. Mabbedda’ pica adalah
kegiatan mengoleskan bedak tradisional yang disebut bedda’ pica pada bagian-bagian tubuh yang diinginkan. Bedda’ pica berasal dari hasil tumbukan
kunyit dan beras, dua bahan utama yang didapatkan dengan menanam sendiri bakal
kunyit dan beras, masing-masing di tanah pekarangan dan di sawah si empunya.
Komposisinya dapat ditambah dengan daun-daunan yang jenisnya berbeda-beda,
menyesuaikan tanaman khas masing-masing daerah. Teman saya yang berasal dari
Barru, menambahkan Daun Mangkokan dalam gabungan dua komposisi utama bedda’ pica untuk membuat kulit yang
diolesi semakin lembut.
Di Sidrap, tempat kelahiran sekaligus tempat
saya bertumbuh hingga remaja, saya mengingat aktivitas mabbedda’ pica kerap ditempuh oleh perempuan-perempuan yang masih
lajang untuk menjaga tubuh mereka dari sentuhan langsung sinar matahari yang
mengandung sinar ultra violet. Tebaran
berbagai literatur di bidang Biologi menyatakan bahwa Curcumae Domesticae, nama latin dari kunyit, yang dikandung bedda’ pica,
merupakan bahan alami untuk menolak bakteri (anti bacterial), dan karena itu dapat digunakan untuk meminimalisir
gangguan di wajah seperti jerawat.
Selain fungsi keindahan, mabbedda’ pica diinisiasi oleh para orang tua, barangkali berangkat
dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Penemuan bedak tradisional serupa bedda’ pica di masa lalu, boleh jadi
karena mengingat letak geografis kebanyakan daerah di Sulawesi Selatan bercuaca
panas. Mabbedda’ pica dapat menghasilkan
perasaan sejuk di tubuh orang yang memakainya.
Oleh perempuan bersuamikan petani─profesi utama
kebanyakan masyarakat di daerah yang bersangkutan, sebelum berangkat ke sawah
mengantar bekal untuk sang suami atau sekadar ikut menemani bekerja, bedda’ pica tidak luput digunakan
sebagai pelindung wajah menghadapi hamparan padi yang membentang dan matahari
yang menantang. Saya tahu, karena orang tua perempuan saya melakukannya saat
menemani orang tua laki-laki saya ke sawah. Banyak pula perempuan di daerah,
pada siang hari di waktu senggang, berkumpul dan duduk-duduk di bawah rumah
panggung mereka untuk sekadar mabbedda’
pica bersama para tetangga atau kerabat, sembari mendiskusikan hasil panen
suami mereka atau harga ikan yang semakin mahal di pasar. Mabbedda’ pica rupanya, tidak terpisahkan dari kebutuhan dan
aktivitas masyarakat pemakainya, pun lahir dari jantung kebudayaan masyarakat
itu sendiri.
Namun sayangnya, kegiatan itu kian tenggelam
dihantam gempuran berbagai produk kecantikan yang dilahirkan dari rahim
penelitian-penelitian─yang katanya modern. Kejadian seperti inilah barangkali
yang merupakan salah satu sebab mengapa Aime Cesaire ngotot mendefenisikan
kebudayaan sebagai wujud dari hasil cipta suatu ras dengan menolak tipu
muslihat yang dilancarkan para kapitalis dari Barat untuk menciptakan
kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari luar disuguhkan
dan diiklankan dalam berbagai bentuk. Ditanamkan dan dipaksakan untuk dimiliki
oleh masyarakat yang pada kenyataannya memiliki hasil produksi sendiri untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Lebih jauh, wacana sejenis ini dengan
komprehensif telah ditulis Edward W. Said dalam ‘Orientalisme’, buku yang
menurut banyak pihak disebut sebagai buku babon dalam menjelaskan bagaimana
Barat mengunggulkan dirinya sendiri dan menanamkan kebudayaannya pada
masyarakat non-barat seperti para pemakai bedda’
pica.
Komoditas bedda’
pica yang merupakan hasil menumbuk, yang bahan dan prosesnya dihasilkan dari
keringat dan jerih payah sendiri, digantikan dengan produk ala pabrikan, dan
kita tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak menjadi konsumen-konsumennya.
Sementara itu, para kapitalis yang berada di balik layar perusahaan-perusahaan
produk kecantikan dengan gagasan modernismenya, tengah tertawa atas kesuksesan
mereka menggantikan bedda’ pica dengan
bedak-bedak baru di atas meja rias kita. Kita perempuan, dalam berbagai cara
meminta persamaan hak dan derajat, tapi dengan rela menjadikan tubuh-tubuh kita
sebagai objek utama dari lakunya produk-produk para kapitalis.
Perempuan, katanya, adalah lambang dari keindahan
yang hakiki. Barangkali saya sedang ngawur saja. Huh!
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 11
Maret 2016)
ibu saya juga sering melakukan hal tersebut bu'. tetapi ia memakai beras dan jagung muda yang di tumbuk.dirumah saya itu disebut ba'da mokoseo (bedak dingin, mokoseo artinya dingin dlm bhs Sorowako) hehehe
BalasHapus