Siang
setelah saya makan di kantin bersama sahabat, saya melewati lorong-lorong
fakultas dan menemukan dua orang yang akrab di mata saya. Mencoba memastikan,
saya mendekatinya. “Dila…!”, teriak saya. Tadi malam, kami baru saja bertemu.
Malam saat adzan Isya berkumandang, saya meninggalkan kampung pemulung dengan
teriakan dari Dila, “daaaadah Kakak Andiiiiis”, yang saya yakin satu kampung
pemulung mendengar teriakannya. Selalu ada bahagia yang saya bawa pulang
setelah menjenguk mereka, sebab mereka senantiasa mencintai saya dan saya pun
mencintai mereka dengan cara sederhana yang merek ajarkan kepada saya.
Sumber : Kolekasi Pribadi/Dila Dalam Pelukan |
Kembali
ke siang tadi, setelah pertemuan yang belum cukup 24 jam, Dila agak malu-malu berbicara
dengan saya, padahal semalam dia masih merajuk manja kepada saya. Spradley,
seorang etnografer, pernah menulis bahwa kondisi antara partisipan dengan
seorang etnografer menentukan sejauh mana kedekatan yang dapat terjadi antara
keduanya. Lingkungan kampus tempat kami bertemu saat itu dengan lingkungan
rumah Dila di mana biasa kami bertemu, adalah dua lingkungan yang kontras,
mungkin begitu yang dimaksud Spradley. Saya tengah berada di kampus sebagai
bagian dari penghuni kampus, meskipun sudah berstatus alumni, tapi saya tetap
menenteng buku-buku dengan pakaian yang meskipun tidak rapi-rapi amat, tetap
saja kontras dengan pakaian Dila. Itu semua mempertebal perbedaan di antara kami,
dan membuat Dila sungkan berbicara dengan saya. Lagi-lagi, setelah bertemu
dengan Dila, saya kembali merenung. Sejauh inikah pendidikan telah memisahkan
saya dengan orang-orang papa dan tertindas, yang untuk merekalah seharusnya
pengetahuan itu diusahakan? Untuk orang-orang yang tidak sempat dan tidak
berkesempatan menikmati fasilitas pengetahuan yang saya nikmati hingga saat
ini?
Saya
melihat Dila tengah menenteng kantongan plastik kecil, yang di dalamnya ada
beberapa bungkus gorengan. Saya bertanya, “tawwa
Dila ada gorengannya, beli di mana?”. Dila tertunduk sambil berbisik, “kudapat
tadi Kak”. Haduh, ya Allah. Dapat di mana? Di tong sampah kah Dek? Saya tidak
melanjutkan pertanyaan itu sebab takut Dila semakin merasa berbeda dengan saya.
Haduh ya Allah, saya baru saja minum jus buah di kantin, dan beberapa saat sebelumnya
saya menarik uang di atm dengan perasaan yang saya-mesti-lebih-hemat-lagi-nih
melihat nominal tabungan yang kian menepis. Di tengah-tengah perasaan yang
sempat merasa kurang padahal masih bisa makan dengan uang sendiri, saya
menemukan Dila yang mendapatkan makanan dari sisa-sisa mahasiswa. Duh ya Allah,
apalah saya ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar