“… kita harus mentransendenkan semua model
pendidikan sehingga diperoleh model pendidikan di mana mengetahui (to
know) dan merubah (to transform) realitas merupakan syarat yang timbal balik.”
(Paulo Freire)
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi/ Pinggir Utara Danau Unhas |
Kebahagiaan,
pikir saya yang tengah berada di antara dua gadis yang sedang menghitung
sampah-sampah plastik yang berhasil kami kumpulkan. Jika keadaan ini adalah
awal sebuah puisi, saya ingin menyebut perasaan ini sebagai “kebahagiaan”.
Seandainya
orang-orang yang tengah berkoar-koar tentang keselamatan lingkungan melihat semangat
Fitri dan Dila memungut plastik-plastik yang bertebaran di pinggir Utara Danau
Unhas sore itu, mereka mungkin bisa sedikit lebih lega menyaksikan adegan
tersebut. Fitri dan Dila sebenarnya tidak sedang dalam rangka sengaja menjaga
lingkungan dengan turun tangan memungut sampah-sampah yang dibuang sembarangan
oleh para penghuni kampus yang katanya berpendidikan itu. Mereka berdua hanya sedang
belajar menghitung bilangan dari 1 sampai 30-an dengan menggunakan perangkat
belajar yang mudah didapatkan: sampah.
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi/ Fitri (Baju Hijau) & Dila (Baju Kuning) |
Mereka
sudah lancar menyebutkan angka satu sampai sepuluh, meski masih tertatih-tatih
mengingat nama bilangan di atas angka sepuluh. Akhirnya, keduanya cukup keras
menyebut ekor bilangan yang berulang seperti “belas”. Misalnya, saya menyebut
“dua”, mereka menyambung “belas”. Saya menyebut “tiga”, mereka menyambung lagi
dengan “belas”. Begitu seterusnya.
Selama
lima menit sebelumnya, kami bertiga bersepakat mengumpulkan plastik-plastik di
sekitar kami. Sebanyak-banyaknya. Plastik-plastik itu lalu dikumpulkan dan
dihitung sembari dimasukkan ke kantongan hitam besar untuk jadi “oleh-oleh”
bagi orang-orang rumah. Lumayan ‘kan untuk ditimbang?
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi/ Sampah yang Dikumpulkan |
Kami
berhasil mengumpulkan 73 botol-botol plastik, dengan rincian : Dila 34 buah,
Fitri 14 buah, dan saya sendiri 25 buah. Dila berhasil mengumpulkan yang paling
banyak. Di antara kami, memang Dila yang saban hari menemani kakek dan neneknya
ke kampus mencari plastik sehingga dia lebih lincah dan mahir mencari. Dila
bahkan sudah mampu mengenali jenis plastik yang bisa dia bawa pulang. Beberapa
jenis plastik tidak dapat ditimbang dan ditukar dengan uang untuk makan. Maka
kepada Dila, saya bertanya, “plastik ini bisa diambil ya, Dila?” Dari Dila saya
belajar tentang plastik yang nantinya bisa didaur ulang. Maka benarlah sebuah
kutipan tak bernama, “setiap ruang adalah kelas, dan setiap orang adalah guru.”
Berbeda
dengan Fitri, kebanyakan waktunya dihabiskan di rumah. Ibu Fitri bekerja
sebagai tukang bersih-bersih di lima kosan yang berjejer di dekat kampung
pemulung. Dengan bekerja setiap hari, tanpa libur meski hari Minggu, ibu Fitri
menerima upah sebesar 1,2 juta per bulan. Ayah Fitri sendiri, awalnya bekerja
sebagai cleaning service di kampus. Sekarang
sudah diangkat sebagai pengawas cleaning
service. Memang, di antara beberapa keluarga yang tinggal di kampung
pemulung, keluarga Fitri sudah hidup secara lebih manusiawi dibanding keluarga
lainnya yang masih menggantungkan kehidupan mereka dari hasil memulung semata.
Menjelang
penghujung sore hari, segera setelah plastik-plastik itu kami kumpulkan, kami
bertiga meninggalkan danau Unhas. Di bagian depan wilayah kampung pemulung, ada
lahan khusus tempat warga mengumpulkan barang-barangnya sehabis mencari, dan di
sanalah kami singgah. Biasanya, plastik-plastik dikumpulkan terlebih dahulu di
sana, setelah sepekan dikumpulkan lalu ditimbang dan dijual kepada pengumpul. Di
tempat itu, sedang ada dua perempuan yang sedang membersihkan plastik-plastik
hasil mencarinya. Salah seorang di antara keduanya adalah nenek Dila, dan kepadanyalah
kami menyerahkan hasil memungut sampah─sekaligus alat belajar─kami hari itu.
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi/ Menyerahkan 'Oleh-oleh' |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar