Berbincang
dengan seorang sahabat di kantin kampus hari ini, membawa saya pada perenungan
yang panjang. Kami sedang berbincang-bincang tentang apa rencananya setelah
beberapa pekan lalu menyelesaikan studi S1-nya. Apakah dia mau menikah dulu,
kerja dulu, atau lanjut sekolah. Akhirnya, kami tiba pada perbincangan
pilihan-pilihan selanjutnya yang akan diambil oleh seseorang saat setelah
menikah.
Dia
bercerita tentang adik sepupunya yang masih SD tapi kelakuannya sudah sangat
dewasa. Setelah mengusut, dia menyadari bahwa memang si anak tumbuh dalam
keluarga yang kedua orang tuanya sibuk. Ayahnya bekerja di luar kota dan ibunya
bekerja dari Senin sampai Jumat (pagi hingga sore hari). Sementara si anak
sendiri sekolah dari pagi hingga siang, yang artinya si anak akan bertemu
ibunya setelah ibu pulang kerja pada sore hari, dan itu pun ibunya sudah dalam
keadaan lelah. Bersamaan dengan itu, segala bentuk media menjadi asupan utama
si anak. Tayangan televisi menjejali kepalanya dengan tingkah laku anak-anak
berkelakukan dewasa seperti dalam sinteron-sinetron yang semakin marak
hari-hari ini.
Duhai
para (calon) orang tua, apa sebenarnya yang kita ingin cari?
Saya
juga jadi ingat, beberapa hari sebelum itu, saya membaca kisah seorang
perempuan yang sedang kuliah di salah satu negara di Eropa. Dia sedang
melanjutkan studinya. Di tengah-tengah perjalanan studi, dia hamil, dan
akhirnya anaknya berjumlah dua orang selama masa studinya. Dia pun memilih membawa
kedua anaknya ke Indonesia, meninggalkan kedua anak itu bersama suaminya, demi
untuk merampungkan sekolahnya. Di saat dia sedang sibuk dengan jurnal dan
penelitiannya, anak bungsunya tiba-tiba sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Saya tidak tahu persis bagaimana perasaan si ibu akhirnya melihat foto anaknya
dipasangi selang infus dengan hanya berbekal foto dan video yang disambungkan
lewat dunia maya. Dia menulis betapa dia sangat sedih tidak berada di sana, dan
akhirnya dia mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dia cari? Status?
Pekerjaan? Karir? Uang? Pada saat itu, dia sudah terlambat menyadari. Dia
begitu menyesal dan jika saja boleh memilih, dia hanya ingin berada di samping
anaknya, menemani anaknya yang sedang terbaring di rumah sakit.
Demikianlah
kisah seorang ibu yang kehilangan, bukan hanya waktu, tapi apa-apa yang terjadi
selama waktu itu berjalan. Orang-orang yang memilih pergi meninggalkan anaknya
untuk alasan karir, pekerjaan dan pendidikan, yang pada dasarnya bisa dilakukan
dengan tetap dekat dengan si anak, mungkin menggunakan alasan “ini kan hanya
sebentar” atau “saya cuma pamit sebentar saja”. Tapi hai, berapa banyak tawa,
kesedihan, sakit, dan momen yang hilang di waktu yang sebentar itu? Ada banyak
hal yang terlewati, yang tidak bisa diganti hanya dengan bertukar kabar lewat
dunia maya. Ada peran tidak tergantikan dengan foto-foto dan kalimat-kalimat
yang saling ditukar. Dan kata teman saya yang sedang menemani saya makan di
kantin siang itu, “memang sih sebentar, tapi efeknya jangka panjang”. Tentu
saja saya menyepakatinya dengan mengingat banyak kasus anak yang jauh dari
orang tuanya karena ditinggal pergi demi alasan sekolah. Waktu beberapa tahun,
atau bahkan hanya beberapa bulan, berdampak jangka panjang antara hubungan
orang tua dan anak. Seorang ibu yang akhirnya tidak dapat bercerita dengan
terbuka kepada putrinya di masa-masa tuanya, karena di masa lalu si ibu lebih
memilih prestise untuk sekolah ke luar negeri dibanding merawat cintanya untuk
si putri. Seorang ayah yang akhirnya harus menunggu waktu yang lama untuk dekat
kembali dengan putrinya yang padahal ‘hanya’ sembilan bulan pergi untuk
kepentingan penelitian. Orang-orang itu, kejadian-kejadian menyedihkan itu,
terjadi di depan mata saya sendiri.
Kita,
para orang tua yang sudah merasa dewasa, mungkin akan punya lebih banyak
pengetahuan untuk menimbang dan berusaha untuk bersikap dewasa dan karena itu
boleh dikata punya banyak pertimbangan untuk tetap “legowo” dengan waktu yang
hilang bersama pasangan kita. Tapi anak-anak? Anak-anak yang bahkan mungkin
bicara pun belum bisa, tentu tidak dapat mengerti dengan masa depan,
kehormatan, karir, dan sederet alasan-alasan yang jadi pembenaran untuk pergi.
Jika orang tuanya tidak hadir pada masa tumbuh kembangnya, seorang anak belum
dibekali kemampuan memahami ke mana dan untuk apa orang tuanya pergi. Hal yang
mungkin anak-anak pahami, “apa yang membuat orang tuaku harus pergi
meninggalkanku?”
Sungguh
saya sedih, setiap kali menemukan anak yang kehilangan waktu dan hak untuk
dididik dan disayangi akibat pilihan-pilihan sepihak yang dibuat orang tuanya.
Kesedihan itu bukan saja karena saya menemukan anak yang ditinggal pergi, tapi
beberapa orang yang saya kenal, toh ternyata bisa membawa anaknya ke kota
tempat dia sedang sekolah, dengan banyak sekali hal yang perlu dikorbankannya,
tentu saja.
Seorang
teman, yang kini tengah menempuh pendidikan di UK, memboyong anak dan suaminya
untuk tinggal bersama di sana. Dia menghabiskan tiga harinya di kampus, tiga
harinya di rumah mengurus anak (lalu suami dibiarkan untuk belajar, membaca,
menulis dan sebagainya pada saat dia di rumah), dan satu hari tersisa dinikmati
untuk berkumpul bertiga. Lihatlah, kalau diupayakan toh tetap bisa kan? Saya
percaya, tidak semudah dan sesederhana itu yang terjadi di banyak keluarga.
Tapi di saat yang sama, saya juga percaya, kebersamaan bukan sesuatu yang harus
dikorbankan jika kita benar-benar ingin mengusahakannya. Entah itu menunda
waktu, kehilangan banyak tabungan, atau pengorbanan-pengorbanan lainnya. Ada
jalan kalau kita mau mengusahakannya, insya
Allah.
Pada
dasarnya, tulisan ini hanya bentuk refleksi dari percakapan saya dengan sahabat
saya tadi. Saya sedang tidak ingin mengubah siapa-siapa dan siapa pula saya ingin ikut campur dengan pilihan-pilihan para orang tua di luar sana. Hanya berharap pada diri sendiri, dengan belajar dari banyak kisah yang terjadi di
depan mata, saya bisa tetap istiqomah menjaga niat untuk menjadi sebijak-bijak
ibu bagi anak-anak saya kelak. Memberikan mereka hak-hak dari apa yang harus
saya berikan, dan belajar lebih banyak untuk mendampingi tumbuh kembang mereka.
Semoga selalu istiqomah, seistiqomah Khadijah yang tetap mendampingi Fathimah
mengaji di tenda-tenda pengungsian, bahkan di saat para muslim diusir dan
diboikot oleh kaum Quraisy dari tanah kelahirannya sendiri! Aamiin allahumma aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar