Sumber : Koleksi Pribadi |
Barangkali
setengah tahun, atau malah lebih, waktu yang saya butuhkan untuk membaca buku
Saut Situmorang, ‘Politik Sastra’. Saat buku ini pertama kali sampai di kosan
saya di Semarang tahun lalu, saya langsung membacanya. Semangat menggebu saat
memiliki buku yang sudah lama saya incar dengan langsung membacanya, kerap kali
saya alami. Namun sayangnya, semangat itu tidak berlangsung lama. Demikian
halnya dengan buku Saut. Di tengah-tengah bacaan, saya mulai bosan dengan
banyaknya kalimat kritik dan cacian yang dilontarkannya. Saya bahkan sempat
berpikir, sepertinya Saut hidup hanya untuk mengurusi kebenciannya dengan
sastrawan atau budayawan yang tergabung di Salihara dan Teater Utang Kayu.
Sampai
kemudian saya menghadiri diskusi di Kafe Dialektika, Makassar (23/01/2016),
yang mengusung tema ‘Solidaritas Makassar untuk Saut Situmorang’. Sepulang dari
diskusi itu, saya mencari buku Saut di lemari. Dalam waktu tidak kurang sehari,
sisa halaman yang belum saya tamatkan di waktu yang lalu, akhirnya tamat sudah.
Ada yang berubah di pikiran saya setelah melanjutkan membacanya kembali.
Pada
dasarnya, gaya menulis Saut, mengutip apa kata M. Aan Mansyur yang ditulis di
Tempo (27/01/16)─Aan juga menjadi salah satu pembicara di diskusi yang diadakan
di Kafe Dialektika itu, “Saut termasuk sastrawan yang gamblang dalam memaknai
kata-kata”. Bagi orang-orang yang pernah membaca buku esai Saut yang baru saja
saya tamatkan itu, saya pikir akan berpendapat tidak berbeda jauh dengan Aan.
Lanjut Aan, “sejak kehadirannya [Saut] di jagat sastra Indonesia, telah membuat
hati ketar-ketir banyak pihak, terutama mereka yang termasuk kategori sastrawan
dan budayawan yang banyak melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan. Apa yang
dilakukan Saut selama ini tidak aman. Dia datang meruntuhkan hal yang sudah
dianggap mapan. Ini yang membuat Saut menemui banyak masalah”.
Tindakan
Saut untuk mengungkap perselingkuhan, bahkan sampai mengata-ngatai,
beberapa nama sastrawan yang dipuja-puji
hingga kancah internasional, saya pikir sudah sampai tahap yang benar-benar
berani─untuk tidak menyebutnya kelewat berani. Pandangan-pandangannya ‘liar’,
dan tidak pakai ba-bi-bu. Saut langsung menjurus pada persoalan.
Apa
yang ditulisnya, di beberapa halaman terakhir, juga membuktikan bahwa Saut
tidak sedang dalam rangka membela kelompoknya, sastrawan yang tergabung di cybersastra, tapi Saut sedang membela
kelompok sastrawan yang karyanya dianggap ‘remah-remah’ namun sebenarnya punya
kualitas yang tidak kalah, bahkan jauh lebih baik dibanding karya mereka yang
sudah terlanjur dianggap hebat. Salah
satu pembelaannya, misalnya, kenapa pada umumnya penilaian suatu karya sastra
di Indonesia yang dianggap artistik dan bermutu, selalu yang menyentuh
sastrawangi? Kenapa yang disebut karya bermutu kebanyakan yang mengeksploitasi
seks, yang ditulis oleh juga perempuan “cantik”, muda dan “buka-bukaan”?
Bagaimana, misalnya, dengan fiksi para pengarang Forum Lingkar Pena yang
berjilbab itu? Jadi apa sebenarnya yang jadi ukuran untuk menilai karya sastra?
Siapa yang menentukan standar-standar ini?
Rentetan
pertanyaan itu, dijawab Saut dalam bukunya. Tidak hanya soal politik sastra,
Saut juga membahas tentang rendahnya kualitas kritik sastra di Indonesia,
sebagaimana yang pernah disampaikan oleh kritikus Belanda, A Teeuw. Kritik
sastra yang ada di negeri ini, bagi Saut, tampak seperti tulisan resensi
belaka.
Menurut
Saut, selain persoalan isi, bentuk kalimat, dan hal-hal yang terkait dengan
esetetika tulisan, ada yang lebih penting dibahas dalam sebuah karya fiksi oleh
seorang kritikus. Saut, sepaham dengan Katrin Bandel─kritikus yang tidak lain
adalah istri Saut sendiri, menganggap bahwa kritik sastra juga harus menyentuh
wilayah kedalaman dari sebuah karya. Dalam bukunya, ‘Sastra Nasionalisme
Pascakolonialitas’, Katrin Bandel menulis bahwa karya sastra dapat berangkat
dari cerita non-fiksi berupa ilmu sains, sejarah, kebudayaan, bahkan luruh
dalam ideologi penulis karya itu sendiri. Wilayah-wilayah tersebutlah yang
seharusnya juga ada dalam catatan kritis seseorang yang mendaku kritikus
sastra.
Apa
dan kenapa Eka Kurniawan, bisa menulis cerita tentang makhluk supranatural? Konteks
negara di mana Eka tumbuh menjadi penulis, tidak terlepas dari kepercayaan
masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan supranatural seperti di novel ‘Lelaki
Harimau’-nya itu. Pada masyarakat Bugis, misalnya, banyak orang percaya bahwa
calon bayi yang berada di dalam rahim seorang perempuan, yang tiba-tiba saja
menghilang sebelum dilahirkan, kelak akan lahir sebagai seekor buaya. Kejadian
dan kepercayaan seperti ini, hidup dalam novel Eka Kurniawan. Seorang kritikus
berusaha memahami hal-hal demikian. Mengapa sebuah karya sastra bisa hadir
dengan jalan cerita dan tokoh-tokoh yang dipilihnya. Bacaan-bacaan apa yang
dibaca penulis dan kekuasaan macam apa yang menentukan jenis bacaan yang
mampu dijangkau penulis, pun bisa jadi bahan analisis bagi seorang kritikus
sastra.
Kalau
Saut Situmorang mampu menulis berbagai pandangan dan sikapnya tentang
penulis-penulis dan tulisan-tulisan mereka yang tidak disenanginya, Eka
Kurniawan, sependek pengetahuan saya, punya pandangan lain soal ini. Dalam
jurnalnya, Eka menulis bahwa kebanyakan dari kita terlalu banyak berantemnya,
dan itu kontraproduktif. “Sebenarnya begini, bagi saya simple aja. Kalau tidak suka dengan novel-novel
yang kita tidak suka ya nggak usah
dibaca. Kalau kita punya standar
estetika sendiri, ya kita tawarkan. Misalnya saya sendiri banyak tidak suka
dengan beberapa genre dalam sastra, misalnya novel-novel populer tidak terlalu
menarik bagi saya. Tapi daripada saya berdebat dan kemudian kita ngomong novel
seperti itu harus dilarang karena tidak mendidik dan sebagainya, itu malah
kontraproduktif.”
Tentang keberanian
bersuara, kita tidak dapat meremehkan apa yang dilakukan oleh Saut. Tidak
banyak sastrawan yang barangkali mau menanggung keonsekuensi tindakan melawan
komunitas sastra yang sudah ‘besar’ di negeri ini. Namun dalam banyak hal, saya
selalu suka dan akhirnya bersepakat dengan Eka Kurniawan. Termasuk tindakannya,
seperti apa yang dia tulis, “Bagi
saya lebih [baik] kita cari novel yang kita suka dan kita menulis novel yang
kita maui, itu malah produktif.” Tapi bisa
jadi, menulis esai kritis tentang ‘Politik Sastra’, itu juga sudah jalan
produktif bagi Saut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar