“Kadang-kadang, hal yang terwujud hari
ini, [t]nampak sebagai hal
yang biasa saja sehingga kita lupa untuk bersyukur.” (Kalis Mardiasih)
Saya
mengingat-ingat apa yang saya rasakan dulu saat duduk di bangku kuliah,
mendengarkan dosen memberikan ceramah kuliahnya. Kerap kali, dosen menjelaskan
sesuatu yang menurut saya “duh, ini ‘kan ajaran Keynesian”, atau “ya ampun, positivistik
dan materialistis an sih banget
doktrinnya”. Dalam lingkar pengetahuan dan disiplin akuntansi konvensional,
sebagai bagian dari pengetahuan ekonomi konvensional, doktrin yang bersumber
dari kapitalisme dan disokong oleh pandangan hidup yang materialistis, begitu
kental adanya. Pada materi tentang obligasi atau utang jangka panjang lainnya,
misalnya. Kita akan diajarkan di pelajaran yang ada di mata kuliah (biasanya)
Akuntansi Madya atau lebih dikenal dengan Intermediate
Accounting itu, bagaimana cara menghitung nilai utang masa kini dan masa
depan. Ya tidak bisa tidak, kita akan berhadapan dengan yang namanya bunga.
Pendapatan dari nilai atas uang. Uang sebagai komoditas, bukan lagi sebagai
alat tukar. Saat itu, kita bisa saja lupa, bahwa yang benarnya adalah
penghasilan selalu merupakan hasil dari kerja. Tidak ada penghasilan tanpa
kerja. Tapi buku-buku teks tidak membahas itu. Buku teks akan memandu kita
untuk menghitung “jadi berapa keuntungan dari mengeluarkan surat utang ini dan
itu dengan menggunakan nilai nominal sekian dan sekian?”
Itu
baru satu contoh. Di mata kuliah lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya
dengan hitung-hitungan, doktrin materialisme tetap saja berkibar-kibar lewat
buku-buku kuliah para mahasiswa. Mata kuliah ‘Corporate Governance’, misalnya. Di permukaan sih iya, tata kelola
yang baik akan mensejahterahkan semua pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan. Tapi kalau dikaji lebih dalam lagi, ujung-ujungnya, yang
mendapatkan keuntungan terbesar dari adanya tata kelola perusahaan yang baik
adalah para pemegang saham. Segelintir manusia bermodal besar yang tinggal
ongkang-ongkang kaki dan sekali buka gadget bisa lihat pendapatan deviden mereka
dari kerja-kerja buruh yang memeras keringat nun jauh di pabrik sana.
Kalau
sudah begitu, saya diam-diam berdoa, sambil menatap dosen, “Ya Allah, beri saya
kesempatan biar besok-besok bisa mengajarkan sesuatu yang benar, yang tidak
menindas, yang bermanfaat untuk orang-orang papa di sekitar.” Atau paling
sederhana, “Ya Allah, semoga saya jadi dosen yang mencerahkan.” Kalau
dipikir-pikir, ada sedikit keangkuhan di sana. Merasa lebih baik daripada dosen
yang sedang mengajar pada waktu itu. Tapi, semata-mata doa itu ada untuk
sesuatu yang diyakini benar. Jangan sampai, secara tidak sadar, jadi dosen yang
mendukung doktrin kapitalisme dan materialisme nantinya. Walya’udzubillah.
Baru
berbilang dua tahun setelah doa itu dipanjatkan, Tuhan dengan Maha Baik-Nya,
memberi kesempatan untuk berdiri di depan para mahasiswa mengenalkan akuntansi
dari sisi yang berbeda. Kini, saya sangat bahagia bisa melakukan hal-hal yang
pernah saya minta kepada Tuhan secara diam-diam itu. Tapi ada yang mengganggu
saya untuk pertanyaan yang senada. Apakah dalam semua hal yang sudah jadi nyata
hari ini, saya sudah benar-benar bersyukur?
Apakah
saya sudah bersyukur atas laki-laki yang Tuhan datangkan jadi teman hidup?
Apakah
saya sudah bersyukur untuk penjagaan yang saya pinta lewat ikatan suci
pernikahan?
Setengah
tahun sudah. Semoga tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Selamat
tanggal 3,
Yours
Tidak ada komentar:
Posting Komentar