Selasa, 09 Februari 2016

Kata Kerja, Kata Sifat, dan Lirik Satir Roger Waters


Roger Waters, laki-laki kelahiran 6 September 72 tahun lalu, merupakan pendiri sebuah band rock asal negara kelahirannya, Inggris, bernama Pink Floyd. Hingga kini, serangkaian albumnya masih dipuji kritikus musik sekaligus masuk dalam daftar album paling laku dalam sejarah industri rekaman. Dipengaruhi oleh ayahnya yang seorang komunis dan meninggal dalam pertempuran Anzio, ia dikenal dengan lirik-lirik lagunya yang sering bertema ketidakpercayaan terhadap kekuasaan, khususnya terkait institusi pendidikan dan militer.

‘Another Brick in the Wall’ adalah satu lagu yang berhasil ditulisnya sebagai kritik atas sistem pendidikan. Lagu ini sempat dilarang beredar di Afrika Selatan oleh pemerintah apartheid, juga di beberapa negara akibat dianggap memprovokasi anak-anak didik untuk melawan. Awalnya, lagu ini dipakai anak-anak bangsa Afrika membela hak pendidikan mereka, namun kemudian menyebar hingga ke berbagai negara. Oleh anak-anak Palestina, diplesetkan liriknya dan dinyanyikan sebagai bentuk keprihatinan atas tindakan Israel terhadap Palestina. ‘We don’t need no education’, begitu isi liriknya.

Seorang guru menunjuk siswa yang sedang bersandar di dinding, siswa laki-laki itu ketakutan dan sang guru berteriak dengan kasar. Begitulah video klipnya dimulai. Salah satu adegan selanjutnya, seorang guru berjalan menuju siswa laki-laki yang sedang menulis di bukunya saat pelajaran berlangsung. Guru itu mengambil buku si siswa, membaca tulisannya sambil berteriak, lalu menertawainya di hadapan siswa-siswa yang lain. Si siswa hanya diam. Tertunduk penuh ketakutan.

***

Di Indonesia, terutama di masa orde baru, tindak intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh guru menjadi hal yang lumrah ditemukan. Penunjuk papan tulis dari kayu akrab dengan betis siswa yang tidak mengerjakan tugas, atau digunakan untuk memukul jari-jemari siswa yang kuku-kukunya memanjang. Di masa sekarang dan di beberapa tempat, tindakan itu berpenampakan lebih halus dan elegan. Tidak lagi dalam bentuk fisik, lebih ke perkataan yang dilontarkan. Di dalam maupun luar kelas.

Di lingkungan akademik seperti sekolah dan kampus, kita sering diakrabkan dengan banyak ujaran kata sifat. Bukan kata kerja. Para guru lebih senang melafalkan “dasar kamu pemalas!” dibanding “kenapa kamu tidak mengerjakan PR?”. Apa yang disalahkan adalah diri siswanya secara keseluruhan, bukan satu tindakan yang dilakukan. Dengan ini, siswa dihadapkan dengan ucapan yang membuatnya tertuduh buruk dibanding ucapan yang evaluatif.

Jalaluddin Rakhmat pernah menulis bahwa seorang guru yang lebih senang menggunakan kata sifat, selain menunjukkan bahwa guru tersebut kurang bisa mengontrol emosi, juga berdampak tidak baik bagi kejiwaan murid. Padahal, pertanyaan sejenis ‘kenapa’, ‘ada apa’ dan ‘mengapa’ akan lebih menampakkan kepedulian, perhatian, dan keinginan mau memahami. Sifat-sifat yang memang harusnya melekat pada seseorang yang mendaku sebagai seorang pendidik.

Seorang bapak, orang tua dari M. Izza Ahsin─penulis buku ‘Dunia Tanpa Sekolah’, pernah menuliskan perasaannya yang meronta saat melihat guru-guru muda dengan wajah garang menonjok hati siswa yang direndahkan di depan umum. Sementara M. Izza Ahsin sendiri, yang memutuskan berhenti mengenyam pendidikan sekolah, beralasan bahwa sekolah telah merampok kebahagiaannya. Sewaktu kelas II SD, dia diasuh oleh seorang guru yang sering mengatainya dengan goblok, dungu, dan semacamnya.

Entah sudah berapa kali, saya menemukan adik-adik damping di komunitas tempat saya bergiat, memutuskan berhenti sekolah karena salah satu alasannya dituduh oleh orang-orang di sekolah sebagai seorang pencuri. Dengan kata-kata sifat yang buruk, seorang murid akan merasa menjadi seorang pecundang.

Hal yang sebaliknya terjadi di Finlandia. Anak-anak mencintai kegiatan belajar-mengajar di kelas lebih dari kecintaan anak-anak Indonesia mengakses media sosial atau game online. Guru-guru adalah orang-orang yang siswa cintai, bukannya takuti. Peran guru adalah mengarahkan dan memantik rasa ingin tahu, bukan mendoktrin dan menyamaratakan potensi siswa.

Salah satu media baru-baru ini akhirnya merilis Finlandia sebagai negara paling bahagia dengan salah satu indikatornya sistem pendidikan yang membahagiakan. Di negera ini, lirik lagu satir Roger Waters mungkin akan ditertawakan oleh para guru dan siswa-siswanya. Akhirnya, kita memang harus bertanya, kenapa mesti mengajar dengan memperlakukan orang-orang secara kasar jika pada dasarnya kita bisa mengajar mereka dengan penuh kasih sayang dan memberikan penghormatan yang lebih pantas?


Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 05 Februari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar