Roger
Waters, laki-laki kelahiran 6 September 72 tahun lalu, merupakan pendiri sebuah
band rock asal negara kelahirannya,
Inggris, bernama Pink Floyd. Hingga kini, serangkaian albumnya masih dipuji
kritikus musik sekaligus masuk dalam daftar album paling laku dalam sejarah industri
rekaman. Dipengaruhi oleh ayahnya yang seorang komunis dan meninggal dalam
pertempuran Anzio, ia dikenal dengan lirik-lirik lagunya yang sering bertema
ketidakpercayaan terhadap kekuasaan, khususnya terkait institusi pendidikan dan
militer.
‘Another Brick in the Wall’ adalah
satu lagu yang berhasil ditulisnya sebagai kritik atas sistem pendidikan. Lagu ini sempat dilarang beredar di
Afrika Selatan oleh pemerintah apartheid, juga di beberapa negara akibat
dianggap memprovokasi anak-anak didik untuk melawan. Awalnya, lagu ini dipakai
anak-anak bangsa Afrika membela hak pendidikan mereka, namun kemudian menyebar
hingga ke berbagai negara. Oleh anak-anak Palestina, diplesetkan liriknya dan
dinyanyikan sebagai bentuk keprihatinan atas tindakan Israel terhadap
Palestina. ‘We don’t need no education’, begitu
isi liriknya.
Seorang
guru menunjuk siswa yang sedang bersandar di dinding, siswa laki-laki itu
ketakutan dan sang guru berteriak dengan kasar. Begitulah video klipnya
dimulai. Salah satu adegan selanjutnya, seorang guru berjalan menuju siswa
laki-laki yang sedang menulis di bukunya saat pelajaran berlangsung. Guru itu
mengambil buku si siswa, membaca tulisannya sambil berteriak, lalu
menertawainya di hadapan siswa-siswa yang lain. Si siswa hanya diam. Tertunduk
penuh ketakutan.
***
Di
Indonesia, terutama di masa orde baru, tindak intimidasi dan kekerasan yang
dilakukan oleh guru menjadi hal yang lumrah ditemukan. Penunjuk papan tulis
dari kayu akrab dengan betis siswa yang tidak mengerjakan tugas, atau digunakan
untuk memukul jari-jemari siswa yang kuku-kukunya memanjang. Di masa sekarang
dan di beberapa tempat, tindakan itu berpenampakan lebih halus dan elegan.
Tidak lagi dalam bentuk fisik, lebih ke perkataan yang dilontarkan. Di dalam
maupun luar kelas.
Di
lingkungan akademik seperti sekolah dan kampus, kita sering diakrabkan dengan
banyak ujaran kata sifat. Bukan kata kerja. Para guru lebih senang melafalkan
“dasar kamu pemalas!” dibanding “kenapa kamu tidak mengerjakan PR?”. Apa yang
disalahkan adalah diri siswanya secara keseluruhan, bukan satu tindakan yang
dilakukan. Dengan ini, siswa dihadapkan dengan ucapan yang membuatnya tertuduh
buruk dibanding ucapan yang evaluatif.
Jalaluddin
Rakhmat pernah menulis bahwa seorang guru yang lebih senang menggunakan kata
sifat, selain menunjukkan bahwa guru tersebut kurang bisa mengontrol emosi,
juga berdampak tidak baik bagi kejiwaan murid. Padahal, pertanyaan sejenis
‘kenapa’, ‘ada apa’ dan ‘mengapa’ akan lebih menampakkan kepedulian, perhatian,
dan keinginan mau memahami. Sifat-sifat yang memang harusnya melekat pada
seseorang yang mendaku sebagai seorang pendidik.
Seorang
bapak, orang tua dari M. Izza Ahsin─penulis buku ‘Dunia Tanpa Sekolah’, pernah
menuliskan perasaannya yang meronta saat melihat guru-guru muda dengan wajah
garang menonjok hati siswa yang direndahkan di depan umum. Sementara M. Izza
Ahsin sendiri, yang memutuskan berhenti mengenyam pendidikan sekolah, beralasan
bahwa sekolah telah merampok kebahagiaannya. Sewaktu kelas II SD, dia diasuh
oleh seorang guru yang sering mengatainya dengan goblok, dungu, dan semacamnya.
Entah
sudah berapa kali, saya menemukan adik-adik damping di komunitas tempat saya
bergiat, memutuskan berhenti sekolah karena salah satu alasannya dituduh oleh
orang-orang di sekolah sebagai seorang pencuri. Dengan kata-kata sifat yang
buruk, seorang murid akan merasa menjadi seorang pecundang.
Hal
yang sebaliknya terjadi di Finlandia. Anak-anak mencintai kegiatan
belajar-mengajar di kelas lebih dari kecintaan anak-anak Indonesia mengakses
media sosial atau game online. Guru-guru adalah orang-orang yang siswa
cintai, bukannya takuti. Peran guru adalah mengarahkan dan memantik rasa ingin
tahu, bukan mendoktrin dan menyamaratakan potensi siswa.
Salah
satu media baru-baru ini akhirnya merilis Finlandia sebagai negara paling
bahagia dengan salah satu indikatornya sistem pendidikan yang membahagiakan. Di
negera ini, lirik lagu satir Roger Waters mungkin akan ditertawakan oleh para
guru dan siswa-siswanya. Akhirnya, kita memang harus bertanya, kenapa mesti
mengajar dengan memperlakukan orang-orang secara kasar jika pada dasarnya kita
bisa mengajar mereka dengan penuh kasih sayang dan memberikan penghormatan yang
lebih pantas?
Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat,
05 Februari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar