Edmund
Dene Morel adalah seorang pekerja di perusahaan Elder Dempster milik Raja
Leopald II Belgia yang menguasai luas wilayah Kongo. Luas negeri ini sama
dengan semua negara di daratan Eropa Barat, dan atas semua kekayaan alam yang
dihasilkan dari negeri ini, Raja Leopald lah yang menerima keuntungan luar
biasa tersebut. Morel kemudian melihat ada yang salah dengan sistem kerja yang
dilakukan Raja Leopald. Di tempatnya bekerja, Morel melihat pelecehan,
pemukulan, hingga pembunuhan. “Cukup hanya dengan melihat bagaimana para buruh
melakukan kerja paksa, dalam keadaan yang sangat mengenaskan dan nyaris tanpa
istirahat, sudah menjelaskan jenis keuntungan macam apa yang diperoleh dari
sana…” Demikian pengakuannya melihat kelakuan sang majikan atas pekerja warga
Kongo.
Bukan
hal yang mudah untuk melawan majikan, apatahlagi seorang raja penguasa. Tapi
Morel menolak untuk tetap diam. Morel tidak tergoda dengan segala macam suap
yang dilancarkan oleh sang Raja.
Sekali
lagi bukan hal yang mudah melawan Raja Leopald bersama para pengikut butanya.
Apatahlagi bagi seorang Morel yang hanya seorang pekerja di perusahaan raksasa
milik Sang Raja. Berbagai tipu daya dilakukan oleh pengikut raja untuk melawan
pengungkapan yang dilakukan Morel, hingga khalayak dibuat bingung dan akhirnya
meragukan pengakuan Morel. Tapi Morel tidak berhenti bekerja keras, begitu tulis
Steve Crawshaw & John Jackson dalam ‘Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan’.
Tidak
kehabisan akal, Morel mengambil sebuah Kodak. Secara sembunyi-sembunyi Morel
memotret pembunuhan berkedok kerja yang dilakukan Raja Leopold. Sebuah benda
yang menghasilkan gambar yang tidak dapat mengatakan satu kata pun, tapi
menghantam habis Raja beserta pengikutnya. Terbeberkanlah tindak penindasan
Raja Leopold.
Tahun
1924, Morel akhirnya meninggal. Kongo yang kini bernama Republik Demokratik
Kongo tersebut masih dalam konflik yang belum juga usai. Sumber daya alamnya
yang melimpah seperti gading gajah, karet dan hasil-hasil hutan lainnya, masih
juga diperebutkan. Keserakahan itu masih ada, tapi tindakan teguh Morel untuk
melawan bukan berarti tidak punya arti. Tidak serta merta upaya Morel di masa
lalu menjadi sia-sia. Justru, tindakannya jadi mercusuar bagi orang-orang Kongo
untuk melawan kedzaliman. Hingga Bertrand Russell menyebut Morel dengan
kata-kata, ‘Tidak ada orang lain seperti dia yang saya tahu yang memiliki
kepahlawanan sederhana dalam memahami dan menyatakan suatu kebenaran politik”.
***
Salah
seorang warga pemulung yang saya dampingi, sedang terkena kasus pinjam-meminjam
dengan seorang rentenir. Dana 10 juta rupiah dipinjam dalam masa dua bulan,
dengan bunga tiap bulan 1,5 juta rupiah. Bunga 3 juta telah dibayarkan, namun
pokok sama sekali belum tersentuh. Akhirnya, masa dua bulan berakhir dan si
peminjam harus membayar denda 100 ribu setiap harinya.
Di
kampung pemulung, adalah hal yang lumrah bagi warga untuk meminjam dana dalam
keadaan terdesak. Apatahlagi sejak plastik-plastik yang dikumpulkan hanya
dihargai seribu rupiah per kilonya saja. Bukan sekali dua kali, warga meminjam
dengan nominal besar dan beberapa teman pegiat juga sudah pernah berupaya
menawarkan solusi berupa bank sampah. Namun apa boleh dikata, sistem koperasi
bank sampah tidak berjalan baik. Salah seorang pegiat malah harus kehilangan
dana tidak kurang 3 juta rupiah untuk menutupi kekurangan dana.
Tapi kegagalan
masa lalu tidak boleh membenarkan terjadinya kedzaliman terus menerus.
Hutang-piutang warga yang sedang terkena kasus harus segera diselesaikan. Jika
tidak, setiap hari, keluarga warga yang sedang mengutang ini, dengan terpaksa harus
mengencangkan ikat pinggangnya untuk mencari plastik-plastik bekas setiap hari demi
menghasilkan uang 100 ribu rupiah guna membayar denda kepada sang rentenir.
Mahasiswa-mahasiswa
saya di dua kelas akuntansi yang saya asuh, tergerak lalu ikut terlibat.
Membuat origami lalu menjualnya; mengumpulkan pakaian bekas, kertas bekas, dan
botol bekas lalu menimbangnya; membuat kue lalu menjualnya; dan berbagai aksi
pencarian dana lainnya dilakukan. Setelah itu, mereka beramai-ramai menjenguk
si keluarga warga yang terkena kasus, menyerahkan bantuan dana untuk membayar
hutang yang mendesak. Sembari itu mereka belajar apa definisi liabilitas dari
mereka yang dijerat kasus utang dan dalam keadaan tercekik untuk mengumpulkan
dana melunasinya. Belajar dengan sistem “hadap masalah” ala Freire.
Bantuan
yang mereka lakukan tidak banyak jika dibandingkan dengan total yang harus
dilunasi. Hanya menutupi kekurangan dari beberapa donatur yang saya dan teman
pegiat lain kumpulkan. Tapi tindakan-tindakan kecil mereka, membuat saya
belajar banyak. Bahwa semangat melawan kedzaliman oleh pengusaha yang mendapat
keuntungan dari orang-orang papa, tidak boleh surut. Benarlah, ketika mengajar,
ada kesadaran bahwa diri sendiri harus terus belajar.
Apa
yang sudah saya, teman saya yang ikut mendampingi kasus ini,
mahasiswa-mahasiswa saya, dan juga para donatur lakukan untuk membantu keluarga
tersebut, yang akhirnya dapat terlepas dari cekikan rentenir, barangkali hanya
menutup satu kasus. Di kemudian hari, si rentenir bisa saja menjerat
leher-leher yang lain. Tapi, tidak lantas menjadi sia-sia segala upaya itu.
Justru, tindakan-tindakan kecil perlawanan ini menjadi sumbu bagi api untuk
terus menyalakan bara dan semangat perlawanan atas keserakahan. Sebagaimana
Morel tidak pernah menyesal atas sikapnya yang keras kepala melawan Raja
Leopald, bahkan jika pun di negara yang sama, warisan keserakahan Raja Leopald
masih ada hingga kini.
Mengutip
kata kawan saya di suatu waktu di masa lalu, kita akan melakukan perubahan,
sekecil apa pun perubahan itu. Dan kita akan melakukan apa pun yang bisa kita
lakukan untuk perubahan itu.
RubrikLiterasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 22 Januari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar