“Manusia yang paling dicintai
oleh Allah adalah manusia yang paling banyak bermanfaat dan berguna bagi
manusia yang lain; sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah
adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapuskan
kesusahan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu
untuk membayarnya, atau memberi makan kepada mereka yang sedang
kelaparan dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang
sedang kesusahan, itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku
ini selama satu bulan ”
Jumat, 08 Januari 2016
Ba’da shalat Maghrib, telepon saya berdering. Nama kontak yang muncul
di layar HP adalah ‘KAMI Mama’. Tidak sempat saya mengangkatnya. Beberapa menit
setelah itu, sms masuk dari nomor yang sama. Isinya meminta saya untuk
menelepon balik. Langsung saya meneleponnya. Orang di ujung telepon sana
mengabarkan kalau kemungkinan si tentara itu mau bertemu besok. Mama bertanya,
“apa saya bisa teleponki’ Nak kalau mau ketemu besok?”. “Iye,
tentu saja. Kalau mauki’ ketemu, telepon meka’ di’
Ma’”, jawab saya kepada mama yang berada di ujung telepon sana.
Namanya Daeng ‘T’, saya menulis
namanya di kontak HP dengan ‘KAMI mama’. Saya memanggilnya “mamak”. Di
kampung pemulung, saya memanggil beberapa orang di sana sesuai dengan
panggilannya dari keluarganya. Tujuannya agar kami lebih dekat dan tidak
berjarak. Karena adik-adik damping saya memanggilnya mamak, maka
saya juga memanggilnya demikian. Beberapa adik yang masih memiliki nenek dan
memanggil nenek mereka dengan “nenek” saya juga memanggilnya
demikian.
Sabtu, 09 Januari 2016
Tepat pukul 10.36, telepon dari “KAMI
Mama” kembali bertandang di HP saya. Namun luput saya angkat. Tiga kali
panggilan tidak terjawab dari nomor yang sama. Saya tengah mengikuti pengajian
akbar di Mesji Al-Markaz Al-Islami yang dibawakan oleh Ustad Dr. Syafiq
Basalamah. Saat sesi tanya jawab sudah dibuka, suasana lebih santai, saya
membuka kembali HP. Satu sms baru masuk dari ‘KAMI Mama’. Ada yang penting,
ketiknya lewat sms.
Setelah pengajian usai, lepas shalat
dzuhur di tempat yang sama, saya singgah bersama tiga teman lain di sebuah
rumah makan untuk makan siang. Sembari makan siang, saya coba menebak-nebak,
barangkali si tentara itu sudah minta bertemu. Lepas makan, saya berpisah
dengan tiga teman lain di Jalan Gunung Bawakaraeng. Saya pamit ke Unhas.
Belakang Unhas tepatnya.
Di jalan, saya memikirkan apa yang
harus disiapkan untuk bertemu tentara itu. Saya putuskan singgah di kosan
Jusma, dekat kampus Unhas, sebelum menuju lokasi kampung pemulung. Di kosan
Jusma, saya menghubungi beberapa orang.
Orang pertama adalah “KAMI Mama”.
Saat itu, di HP saya, waktu sudah menunjukkan pukul 15.49. Di saat yang sama,
orang di ujung telepon sana masih berada di kampus untuk mencari
plastik-plastik sisa minum mahasiswa. Pada hari libur, biasanya hasil memulung
lebih sedikit karena yang meninggalkan sisa-sisa plastik minum tidak banyak.
Karena itu mamak akan lebih lama mencari di kampus. Mahasiswa
yang datang ke kampus biasanya berada di sekitar himpunan. Di sanalah biasanya mamak mencari.
Seringnya di Fakultas MIPA. Sesekali di fakultas-fakultas lain.
Saya bertanya ada apa tadi menelepon
saya, dan menjelaskan bahwa di saat itu saya tidak bisa menerima telepon karena
sedang pengajian. Mamak memahaminya dengan “oh iye,”. Mamak mengabarkan
kalau hari ini si tentara dapat ditemui di rumahnya. Saya setujui untuk
bertemu. Saya bertanya beberapa hal, yang harus saya masukkan di surat
perjanjian. Lalu telepon saya tutup saat mamak mengatakan akan
segera pulang dan kami janjian bertemu sesaat kemudian.
Orang kedua yang saya hubungi adalah
seorang teman yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Setidaknya
saya harus ditemani teman yang paham soal hukum, pikir saya. Tapi dia baru saja
tiba di Makassar, katanya di ujung telepon. Saya menceritakan kasus warga yang
saya dampingi. Dia katakan kalau saya harus melapor di kantor LBH terlebih
dahulu. Kantor buka pada hari Senin-Jumat, sementara hari itu kantor libur. Dia
memberi nomor temannya yang lain. Saya coba hubungi, tapi tidak aktif.
Keadaan mendesak, dan bantuan dari
LBH tidak dapat saya harapkan saat itu. Akhirnya saya memutuskan mengajak
Jusma. Syukurlah Jusma mengiyakan. Dia salah satu teman saya yang keren dalam
mengerjakan hal-hal yang keren.
Orang ketiga yang saya hubungi adalah
suami saya sendiri. Saya mengirimkan isi surat perjanjian yang sudah saya
ketik. Mantap beliau menyatakan “good!”. Saya siap berangkat. Bismillah.
Bersama Jusma, kami menyusuri jalan
becek menuju lokasi kampung pemulung. Di depan lokasi, di rumah pertama, mamak dan
beberapa warga lain sedang duduk-duduk mengobrol. Saya menyapa mereka. Lalu mamak menyuruh
saya dan Jusma ke rumahnya. Di rumah mamak, kami menghubungi
si tentara. Setelah mengkonfirmasi, kami berlima berangkat dengan dua sepeda
motor. Saya bersama Jusma, dan mamak bersama Kak ‘R’ dan Sita.
Keduanya adalah anak mamak. Kak ‘R’ inilah yang pernah bertemu
si tentara guna melakukan perjanjian utang. Tanggal 10 Oktober 2015, Kak ‘R’
menerima dana 10 juta dari si tentara, tanpa kontrak apa-apa, hanya dengan
menyerahkan ijazah.
Tiba di lokasi, saya memarkir motor.
Tentara itu keluar. Dari jauh saya cukup kaget melihat postur tubuhnya. Saya
dan Jusma saling memandang, tersenyum tipis. Dalam bayangan kami, tentara ini
adalah seorang bapak yang kekar, besar, tinggi, kumis tebal dan perut agak
membuncit. Nyatanya jauh dari apa yang kami bayangkan. Dia jauh lebih muda.
Tinggi standar untuk ukuran tentara, dan pembawaan yang jauh dari karakter
bapak-bapak tentara yang menyeramkan. Tapi tampilan bisa saja menipu. Apa yang
ada jauh di dalam hati tidak selalu berjalan beriringan dengan tampilan.
Kami berlima dipersilakan masuk. Dia
menjelaskan apa yang sudah mamak ceritakan. Tentang uang yang
dipinjam 10 juta, dengan pengembalian 1,5 juta tiap bulan dan masa peminjaman
dua bulan. Setelah lewat dari masa itu, denda 100 ribu (1% dari pokoknya)
dikenakan setiap hari. Jika sebulan, dendanya berjumlah 3juta. Cukup tiga bulan
saja didenda, jumlah dendanya bisa lebih banyak dari pokoknya. Total yang sudah
dibayar mamak sampai hari itu adalah 4,8 juta. Ini hanya bunga
dan denda-dendanya.
Bunga bulan
I
Rp 1.500.000,-
Bunga bulan II
Rp 1.500.000,-
Denda 18
hari
Rp 1.800.00,-
Memiriskannya, si tentara ini
ternyata lulusan pesantren, dan menurutnya, pinjam-meminjam ini tidak termasuk
dalam riba’. Duh! Apa dia tidak malu mengakui dirinya lulusan
Pesantren Gontor?
Informasi tambahan dari si tentara
ini adalah, dia mengaku bahwa pinjam meminjam itu sebenarnya merupakan usaha
dari kenalannya di Surabaya. Dia hanya menghubungkan antara si peminjam dan
kenalannya itu. Oleh karena itu, dia dalam hal ini hanya membantu orang yang
sedang butuh dana. Dia kasihan pada Kak ‘R’ yang waktu itu datang menangis
meminta bantuan dana. Maka dipinjamkanlah dana itu, dengan perjanjian
pengembalian bunga yang sudah disepakati. Apa boleh buat, dana belum
dikembalikan dalam masa dua bulan. Terpaksa dia harus menagih denda, yang dia
sebut dengan biaya ‘charge’, 100 ribu setiap hari. Dia juga kasihan
melihat kondisi keluarga Kak ‘R’ dan ibunya. Tapi apa boleh buat, itu ketentuan
dari kenalannya yang dari Surabaya itu. Dia juga menjaga hubungannya dengan si
teman yang berada di Surabaya agar tetap harmonis, katanya.
Tapi benarkah ‘si kenalan dari
Surabaya’ itu benar-benar ada? Jusma mencoba mengonfirmasi dengan meminta nomor
kontak si kenalan itu dengan alasan Jusma ingin meminta agar uang denda yang
tersisa sebesar 1,2 juta─yang masih harus dibayar selain pokok 10 juta,
dihapuskan saja. Kami ingin bicara langsung. Dia menolak. Dia sudah berjanji
pada si kenalan untuk tidak mengenalkannya pada pihak yang berutang, katanya.
Wah, sungguh sangat privasi!
Akhirnya, setelah saya berdiskusi
berdua dengan Jusma, dengan pertimbangan denda yang harus dibayarkan setiap
harinya jika menunda membayar sampai dana 10 juta terkumpul, kami memutuskan
membayar 5 juta kepada si tentara. Lima juta ini didapatkan dari beberapa
donatur (yang semoga Allah merahmati kalian), yang saya kumpulkan selama tiga
hari. Jika 5 juta ini dibayarkan, maka denda berikutnya ‘hanya’ 50 ribu setiap
hari.
Karena mendesak, saya tidak lagi
mengeprint surat perjanjian yang sudah saya ketik sebelumnya. Saat itu, dengan
sigap saya memindahkan isi surat perjanjian yang saya ketik ke kertas polio
dengan menulis tangan. Sembari menulis, di ujung
dekat pintu, saya menangkap di ujung pandangan saya, mamak duduk
dengan tertunduk dalam.
Usai menandatanganinya dan
menyerahkan uang 5 juta, kami berlima pamit. Kesepakatannya, kami akan kembali
pekan depan, 16 Januari 2016, melunasi sisa 5 juta pokonya, ditambah denda 12
hari sebelumnya sebanyak 1,2 juta, serta denda 7 hari ke depan 50 ribu setiap
harinya. Totalnya Rp 6. 550. 000.
Menjelang Maghrib, kami
berlima sudah tiba di rumah Daeng ‘J’ kembali. Baru saja duduk, mamak menangis
di pintu. “Saya enda’ tahumi mau bilang apa, Nak.
Dua keluarga yang saya hubungi tidak ada kodong yang bisa
bantu. Na kita bukan siapa-siapaku. Saya enda’ tahu
bagaimana…” Suaranya terputus oleh tangisan. Saya memeluknya. Air mata saya
juga tumpah. Di samping saya, suaminya tertunduk menghapus air mata. Di
belakang saya, Jusma terdengar sesenggukan. Kami hanyut dalam keharuan. Duh Ilahi, pada
keluarga yang rapuh ini, masih ada juga orang yang tega mengambil kesempatan
menawarkan bantuan sembari mencekik lehar mereka satu .
Kepada para donatur yang sebelumnya ingin membantu, namun belum sempat mengirimkan donasinya, saya masih setia menunggu untuk melunasi sisa yang harus dibayarkan pada Sabtu depan di rekening saya 0348794123 (BNI) atas nama Andi Sri Wahyuni sebelum tanggal 16 Januari 2016.
Kepada para donatur yang sebelumnya ingin membantu, namun belum sempat mengirimkan donasinya, saya masih setia menunggu untuk melunasi sisa yang harus dibayarkan pada Sabtu depan di rekening saya 0348794123 (BNI) atas nama Andi Sri Wahyuni sebelum tanggal 16 Januari 2016.
Kata Ibu mertua saya, “hati nurani
saya tidak bisa membuat saya diam melihat orang-orang yang kesulitan sementara
saya bisa membantu, tapi tidak melakukannya”. Saya percaya masih banyak orang
yang memiliki hati nurani seperti ibu saya itu.
Selanjutnya, tanpa mengurangi
pemuliaan saya, dan insya Allah tidak mengurangi ketulusan
para donatur─semata untuk akuntabilitas, berikut saya lampirkan rincian donasi
yang sudah masuk :
Dr. Abdul Hamid
Habbe
Rp
3.500.000,-
Harman,
S.IP
Rp
1.000.000,-
Mahasiswa Unifa kelas B 2014 kelompok
I Rp 135.000,-
Mahasiswa Unifa kelas B 2014 kelompok
II Rp 390.000,-
Total donasi per 09 Januari
2015
Rp 5.025.000,-
Kemudian, izinkan saya mengutip apa
yang tertulis dalam buku ‘Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan’. Buku yang
mengisahkan 80 cuplikan keberanian dan ketegaran orang-orang yang melawan
berbagai penguasa dan pengusaha yang dzalim. Dalam buku itu tertulis di
pengantarnya, “Apa yang kita lakukan adalah apa yang memang sudah seharusnya
kita lakukan”. Kalimat ini, mengajak kita untuk istiqomah pada
kerendahan hati dalam berbuat baik.
Akhirnya, “Barang siapa yang
melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya
satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan
mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di
akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan
menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya”. (Muhammad Sallallahu
‘Alayhi Wasallam). Semoga Allah menghimpun kita dalam
kebaikan senantiasa, menguatkan hati kita untuk bergerak dalam kebaikan. Mari
sama-sama berdoa untuk selalu bermanfaat. Insya Allah laporan
berikutnya akan saya sampaikan kembali.
Salam,
Andi Sri Wahyuni
Pendamping Warga Kampung Pemulung Belakang
PNUP, Tamalanrea
Assalamualaikum..
BalasHapusBu Andis cantik, Kasus di atas menarik.Kasus di atas memunculkan banyak sekali pertanyaan tentang kehidupan dipikiran saya seperti apa arti dari kalimat only the strongest will survive, bagaimana pertukaran yang islami (pihak peminjam dengan pemberi pinjaman), mengapa terjadi perbudakan,apakah kasus diatas salah satu fenomena awal terjadinya perbudakan dulu, bagaimana islam mencegah terjadinya perbudakan, dan lain-lain. Namun, sepertinya semua pertanyaan akan berhenti jika terjawab pertanyaan siapa yang salah dalam kasus diatas dan akan terus berlanjut dengan cantik jika tertuju pada satu pertanyaan bagaimana manusia dapat hidup bersama.
Terdapat dua transaksi/perniagaan/pertukaran yang terjadi dalam kasus di atas. Pertama, pihak ketiga (pemberi bantuan) dengan sang pencipta dalam bentuk bantuan kepada peminjam. Saya memberi apresiasi kepada tindakan Ibu yang telah berhasil mengajak pihak ketiga untuk melakukan pertukaran dengan sang pencipta sehingga bersedia membantu peminjam. Kedua, pertukaran antara pihak peminjam dengan pihak pemberi pinjaman.
Saya tidak tahu secara rinci gambaran pertukaran yang kedua yakni antara peminjam dengan pemberi pinjaman. Namun, kedua belah pihaklah, bukan salah satu pihak atau pihak ketiga saja yang perlu di ajak pada suatu kebaikan sehingga mencegah sesuatu yang tidak baik.
Sebagai penutup komentar, saya memperoleh cerita hikmah dari salah satu sahabat, dan akan menulisnya dipostingan ini.
Cerita hikmah: Seorang pemuda bertanya kepada syaikh muhammad al ghozali. Apa hukumnya orang yang meninggalkan sholat? Dijawab: Hukumnya adalah kamu menuntunnya bersamamu ke masjid. (Kun daaiyan wa laa takun qoodhiyan yang artinya jadilah pengajak jangan jadi penghukum).
Maaf sebelumnya jika salah dan terima kasih ajakannya kepada suatu kebaikan..Semoga Daeng J dan keluarga diberi pertolongan dan tidak bersedih hati..
Salam..
Wa alaikum salam.
HapusAlhamdulillah, hutang Daeng J sudah dilunasi. Terima kasih, Mas Amal.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus