Pernah
suatu ketika, seorang sahabat yang tidak kurang sebagai saudara, mengomentari
tulisan di kertas-kertas origami yang tertempel di dinding kamar. Origami itu bertuliskan
harapan-harapan di masa depan. “wah, indah sekali ya harapannya”, komentarnya.
Iya, indah. Namanya juga harapan.
Menjadi
pembelajar yang tiada henti, sebaik-baik putri bagi orang tua, wanita yang
mencukupkan bagi suami, ibu yang cerdas bagi putra-putri, dan manusia yang
bermanfaat bagi semesta. Itulah harapan-harapan saya di masa itu.
Tapi
harapan hanyalah harapan. Diri yang sering lemah, kadang ingin berhenti mengejar
harapan-harapan itu, dan menjalani semuanya seperti air yang mengalir saja.
Tapi kemudian, bacaan-bacaan silih berganti dibuka. Pedoman-pedoman tidak
lelah-lelah dipelajari. Ruang belajar tiada henti didatangi. Hingga akhirnya membuat
diri paham bahwa berat dan banyaknya perjuangan, selalu beriring dengan
indahnya jiwa yang akan dihasilkan. Bersamaan dengan itu, manisnya iman mungkin
akan semakin menguatkan. Sebab “berlelah-lelahlah,
indahnya hidup lelah setelah berjuang” (Imam Syafi’ie).
Kali
ini, tulisan ini adalah tentang harapan untuk menjadi sebaik-baik putri yang
sedang dijalani dan diusahakan. Naik turun semangat untuk mencapainya. Kadang
mencapai titik terlemahnya, kadang menggebu di titik tertingginya.
Pengalaman
hidup sendiri hampir tujuh tahun, selama mengenyam bangku kuliah, membuat diri
telah merasa nyaman dengan kesendirian. Bisa keluar kapan saja, pulang kapan
saja, menginap di mana saja, istirahat tanpa harus memikirkan siapa saja,
memilih waktu belajar dengan bebas. Hingga akhirnya, pernikahan membawa diri
untuk hidup di rumah yang baru, bersama keluarga suami.
Awalnya
terasa sulit menyesuaikan pola hidup dengan keluarga baru di rumah. Sempat
terbit niat mencari rumah sendiri saat suami pergi sekolah. Bisa hidup bebas
lagi. Tapi untunglah kesadaran itu kembali mengetuk diri. Bahwa kesempatan
untuk hidup bersama orang tua suami, saat dia sedang menuntut ilmu di negeri
nan jauh, adalah juga rezeki dari Tuhan. Rezeki karena diberi kesempatan
berkhidmat kepada orang tua. Membuatkan keduanya makanan kesukaan, rupanya juga
adalah sumber kebahagiaan, yang di hari-hari ini terasa nikmat dijalani. Puja
puji Ilahi yang masih memberi kesempatan untuk kembali menemukan kebahagiaan
dari hidup berbagi dan bertumbuh bersama mereka yang paling dekat.
Pernah
suatu ketika, sewaktu masih sangat baru di rumah mertua, sepasang mertua, saya
dan suami sedang berkumpul di ruang makan. Setelah makan, ibu mertua menuju
tempat mencuci dan memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Saya sendiri pergi
ke kamar. Waktu itu mau menghubungi teman yang akan saya dan suami kunjungi pada
hari yang sama.
Tidak
berapa lama, suami menyusul saya. “Bikin apa?”, tanyanya. “Lagi cari kontak
teman. Mau konfirmasi, kalau kita jadi ke rumahnya”, jawab saya. Tidak ada
balasan jawaban dari suami. Saya menggeser pandangan dari telepon genggam
menuju wajahnya. Dia termenung dengan wajah yang-yah-begitulah. Ada yang salah detected!
“Ada
apa? Sedang pikir apa?”, tanya saya. Alhamdulillah,
sudah bisa membaca raut muka suami kalau lagi ada yang tidak disepakatinya.
“Kita’ [kamu] tinggalkan Ibu yang
lagi mencuci”, jawabnya.
Haduh,
padahal tidak ada maksud seperti itu. Cuma memang mau mengerjakan yang lain.
Akhirnya, saya tinggalkan suami saya setelah menaruh telepon genggam. Saya
menuju tempat mencuci dan meminta ibu berhenti mencuci lalu menggantikannya.
Setelah
itu, saya jadi belajar untuk selalu mendahulukan pengkhidmatan kepada orang tua
dibanding yang lain. Bekerja di kampus dan di tempat bergiat, apalagi sejak
ditinggal suami sekolah, kerap kali membuat saya kewalahan juga mengusahakan
semuanya bisa tetap saya penuhi. Tapi ya tapi, justru di sana saya malah banyak
belajar.
Saya jadi
belajar mengerjakan tugas dengan metode sambil-ini-sambil-itu, biar semua
kewajiban bisa dilakukan. Maksudnya, kadang kalau mencuci, saya bawa buku.
Sembari mesin cuci berkerja, saya membaca. Kalau waktunya membuka tutup mesin
biar air sisa kotoran pakaian mengalir, saya tinggalkan buku sejenak. Setelah
air di penampungan mesin penuh lagi, saya kembali lagi membaca. Begitu berulang
sampai cucian siap dijemur. Kadang-kadang, sembari menjemur, saya putar radio,
dengar-dengar berita biar tetap bertambah informasi kekinian yang saya punya.
Setelah pakaian kering, tiba waktunya melipat dan menyeterika sembari putar
percakapan bahasa Inggris untuk belajar listening.
Kadang juga sembari mengobrol dengan suami lewat internet.
Sejak
hidup di rumah mertua juga, saya benar-benar jadi ‘ibu-ibu-dapur’. Sehabis
shalat malam saya memanfaatkan waktu mengobrol dengan suami atau mengaji,
setelah itu lanjut Subuhan dan eit-no-no!
tidak ada istilah tidur lagi. Saya harus turun ke dapur dengan sigap, biar
tidak telat ke kantor. Di dapur, dengan kekuatan maksimal, saya mengerjakan apa
saja. Kalau sudah tidak ada yang perlu diiris atau di campur bahannya, sembari
menunggu masakan matang, saya kadang membaca rubrik Literasi Koran Tempo
Makassar─tempat saya rajin mempublikasikan tulisan tahun-tahun belakangan ini.
Pernah
juga, ibu minta ditemani jenguk keluarga beberapa hari di luar kota. Waktu itu
saya masih ada beberapa kewajiban tugas memasukkan nilai akhir mahasiswa yang
juga sudah mendesak. Jalannya, saya tetap temani ibu dengan membawa
berkas-berkas untuk menginput nilai itu. Dan ya, ternyata saya masih ada banyak
waktu senggang di sana. Setelah selesai menngakumulasi nilai, saya masih bisa
membaca buku dan menulis catatan pula. Nilai tambahnya lagi, saya jadi ada
kesempatan bersilaturahim ke rumah keluarga suami─mumpung masih bisa
diusahakan.
Lihatlah
ibu-ibu, ternyata kita memang hanya butuh bersungguh-sungguh. Dengan keyakinan
semuanya insya Allah bisa dikerjakan,
Allah selalu kuatkan diri-diri yang mengusahakan kebaikan.
Ridhallah, fi ridhalwalidayn. Keridaan
Tuhan ada pada keridaan orang tua.
Namun ya
namun, tetap saja, tidak sempurna diri ini. Meski pun sudah mengusahakan
sebaik-baik yang dimampu, tidak jarang juga masih bikin orang tua khawatir. Sesekali
pulang malam karena harus mengerjakan yang lain, menambah-nambah beban pikiran
mereka. Apatah lagi, di usia yang semakin menua, mereka masih kerap mengerjakan
pekerjaan rumah tangga karena anak perempuannya ini di waktu yang sama sedang di
luar rumah mengerjakan yang lain.
Saat-saat
seperti itu, tersadar bahwa betapa baiknya Tuhan menganugerahkan mertua, yang memandang
hubugan ini bukan sebatas menantu-mertua, tapi orang tua-anak. Sebagaimana Ibu
selalu mengingatkan, “menantu itu cuma merek, kamu adalah anak Ibu”.
Di
saat sedang banyak yang harus diperjuangkan, bantuan Tuhan hadir lewat
keduanya, mempermudah setiap usaha yang dilalui dengan doa-doa dari mereka. Sungguh
benar kalimat-Nya, bahwa “di setiap
kesulitan ada kemudahan”. Kelapangan Tuhan, hadir tidak terbendung di
setiap lini kehidupan, namun kerap kali terlewatkan.
Semoga
Allah ridhai kesehatan dan kebahagiaan senantiasa melingkupi orang tua kita. Aamiin.
A daughter [in law],
Makassar, di sela-sela waktu membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar