Siapa
pun yang pernah mengenyam pelajaran pendidikan agama Islam sewaktu sekolah
dasar, kemungkinan besar tahu, bahwa manusia pertama yang percaya kepada agama
baru yang dibawa oleh lelaki bernama Muhammad, adalah Khadijah. Kita tahu bahwa
Khadijah adalah istri pertama Muhammad, dan disebut-sebut sebagai cinta
sejatinya. Dia adalah perempuan yang tidak pernah diduakan Muhammad dalam
mahligai pernikahannya. Muhammad baru melakukan praktik poligami setelah
Khadijah meninggal, dan itu pun dilakukan Muhammad untuk kepentingan politik
penyebaran dakwahnya. Selain keistimewaan itu, Khadijah juga adalah
satu-satunya perempuan di sisi Muhammad yang mampu memberikan keturunan. Dari
rahimnyalah kita mengenal pula syahidah tangguh bernama Fathimah az-Zahra, di
samping Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum.
Beberapa
hari di kampung halaman menjenguk keluarga sekaligus mengurusi surat keperluan
pindah domisili untuk membuat kartu keluarga baru bersama suami, saya
menggunakan sela-sela waktu senggang untuk membaca buku ‘Khadijah : Teladan
Agung Wanita Mukminah’. Ini adalah buku kedua yang saya baca, yang isinya
tentang hidup Khadijah. Buku pertama yang pernah saya baca ditulis oleh Sibel
Eraslan, dikemas dalam bentuk novel. Kali ini, saya membaca karya Ibrahim
Muhammad Hasan Al-Jamal yang dikemas dalam bentuk non-fiksi.
Sebenarnya,
sudah ada beberapa buku lain yang saya baca tentang Khadijah. Namun biasanya,
kisah yang ada disandingkan dengan kisah suaminya, atau putri-putrinya, atau kisah
Khadijah bersama istri-istri Muhammad yang lain sebagai Ummahatul Mukminin. Keunggulan membaca satu buku yang khusus
membahas sisi hidup wanita mulia ini adalah penuturan kehidupan dan pribadi
Khadijah yang lebih komprehensif, sehingga ada saja teladan dan inspirasi baru yang bisa dipetik.
Dari
buku Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal ini, saya baru tahu kalau ternyata
Khadijah bukan perempuan pertama yang dipinang Muhammad. Sebelumnya, Muhammad
pernah memberanikan diri meminang anak pamannya, Abu Thalib, yang berarti saudara
perempuan Ali bin Abu Thalib, dan berarti lagi sepupunya sendiri. Namanya
Fakhitah. Usianya sedikit lebih muda dari Muhammad.
Abu
Thalib hanya bisa diam mendengar keinginan Muhammad untuk meminang putrinya.
Tidak lama setelah lamaran Muhammad, datang pemuda lain bernama Hubairah bin
Abi Wahab bin Umar melamar Fakhitah. Lantas Abu Thalib menyetujuinya. Lalu
bertanyalah Muhammad padanya, “pamanku, Anda nikahkan ia dengan Hubairah dan
tidak mempedulikanku?”. Dengan bijak pamannya menjawab, “wahai anak saudaraku,
kami telah menjalin perbesanan dengan keluarganya. Dan orang mulia sepertimu
hanya pantas untuk orang mulia juga”.
Sekali
lagi kata Abu Thalib, “... orang mulia sepertimu [Muhammad] hanya pantas untuk
orang mulia juga”. Karena itulah barangkali, Sibel Eraslan
menulis syair indah ini : “Kehidupan diturunkan ke dunia dengan dititipkan
kekasih-Nya kepada Khadijah, terus mengalir dari bumi ke langit”.
Abu
Thalib tahu bahwa keponakannya tengah dan akan mengemban satu amanah besar, dan
tugas itu hanya bisa dilaksanakan dengan didampingi oleh perempuan paling mulia
saat itu di jazirah Arab. Dia tidak mengizinkan siapa pun, bahkan putrinya
sendiri, untuk menggantikan posisi yang akan diisi oleh wanita mulia itu.
Allah
memilihkan Khadijah bagi Muhammad, dan Muhammad bagi Khadijah. Dia bukan
perempuan pertama yang dipinang pemimpin agung itu, tapi semua tahu, bahwa
dialah satu-satunya yang menggenapkan. Dialah kekuatan sekaligus pelipur lara.
Teman berjuang dalam dakwah berat dan panjangnya, teman hidup dalam rumahnya yang
sederhana, dan penyejuk bagi hatinya sebagai seorang kekasih.
Sungguh,
membaca kisah dan laku Khadijah dalam buku Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal,
adalah membaca kisah-kisah yang sarat dengan keteladanan akan perjuangan. Diakah yang beruntung
mendapatkan laki-laki terbaik itu, ataukah lelaki itu yang beruntung
mendapatkan perempuan sepertinya, ataukah keduanya sama-sama beruntung saling
memiliki satu sama lain?
Salam
bagimu ya Ibunda, teladan sebaik-baik perempuan. Salam pula bagimu ya Muhammad,
sebaik-baik jiwa yang menyambung kekerabatan, menolong yang lemah, dan ikut
merasakan penderitaan rakyat yang dipimpinnya. Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad, wa ‘Ala aali Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar