Tahun
2015 berlalu. Kepada mereka yang merenda asa sembari mengukir
jejak langkah perjuangannya, setahun bisa jadi berlalu tidak terasa. Hingga
bulir-bulir keletihan itu mengalir tanpa keluh lagi. Hingga tarikan napas yang
berat karena perjuangan terhembuskan tanpa beban lagi. Sebab keyakinan bahwa tidak
ada proses yang sia-sia, dan setiap kebaikan akan kembali kepada diri sendiri
pula.
Tahun
2015 bagi diri saya sendiri adalah tahun yang mencatatkan pelbagai perpindahan ruang
gerak baru. Tidak hanya status yang berubah, tempat tinggal untuk berjuang pun
berubah.
Masih
teringat jelas, medio 2013, setelah baru saja merampungkan studi di S1
Akuntansi Unhas, saya memutuskan melanjutkan kuliah di jenjang berikutnya.
Bukan tanpa risiko, sebab pihak keluarga, utamanya mama, begitu menginginkan
anaknya yang mencapai gelar sarjana pertama di antara saudara-saudaranya ini
memiliki pekerjaan yang baik. Mama saya, seperti banyak mama yang pernah hidup
di masa orde baru, dengan banyak pengalaman dan pelajaran yang negara ini
masukkan dalam hidupnya, menitipkan rasa aman terhadap masa depan anaknya pada
pekerjaan kantoran berpenghasilan tinggi. Dengan keinginan besar untuk melihat
anaknya berpenghasilan sendiri dan berangkat ke kantor setiap pagi berbaju
dinas, tentulah suatu keputusan berat untuk membiarkan saya berangkat sekolah
lagi. Tidak sebentar masa yang dibutuhkan untuk meluluhkan hati beliau, bahwa
apa yang saya pilih adalah yang terbaik untuk saat itu.
Selain
dari keluarga, hal lain yang membuat saya berat kala itu adalah meninggalkan
komunitas tempat saya bergiat. Pada masa-masa itu, hampir semua volunteer tiba-tiba memutuskan untuk
melanjutkan hidup, meninggalkan komunitas kami. Mencoba menguatkan diri, bahwa
pilihan yang akan dijalani juga sebagai ladang untuk memantaskan diri dan
menambah amunisi untuk kelak kembali bergiat di komunitas yang sama. Belajar
sebanyak-banyaknya untuk kembali menebar manfaat sebanyak-banyaknya pula.
Dengan
segala konsekuensinya, setelah menerima pengumuman kelulusan dari pihak
Pascasarjana Undip, berangkatlah saya ke Semarang. Tapi bukan tanpa rintangan
lagi saya harus memulai studi S2 saya di Undip, sebab pengumuman kelulusan
beasiswa yang saya ambil belum keluar.
Tidak
kurang tiga bulan lamanya, dengan menerima telepon dari mama hampir setiap hari
yang merasa sedih saya tinggalkan, dan dengan menahan-nahan segala macam
keinginan untuk makan enak karena malu meminta biaya hidup pada orang tua,
hari-hari menguatkan tekad dan keyakinan akan pilihan menambah kualitas diri
dengan pengetahuan, akhirnya terlewati juga. Pengumuman beasiswa pun keluar,
dan nama saya ada dalam salah satu daftarnya. Puja-puji Ilahi atas Maha Luas
karunia-Nya.
Satu
semester terlewati dengan kebiasaan membawa bekal ke kampus demi mengirit uang
beasiswa. Pilihan membeli buku-buku jauh lebih menarik ketimbang
membelanjakannya untuk hal-hal lain. Menghabiskan waktu di kamar dengan buku-buku
atau melewati waktu di sela-sela kuliah di perpustakaan adalah aktivitas yang
jadi hobbi. Seringkali teman bertanya, “kenapa sih harus segitunya?”. Singkat
jawabnya, “saya ke sini (Semarang) untuk belajar, bukan untuk yang lain.”
Satu
hal, selama masa kuliah, saya memiliki teman berjuang yang luar biasa keren.
Namanya Arinal Muna. Berteman dengannya, membuat saya percaya diri melakukan
apa saja. Dia selalu yakin saya bisa mengerjakan yang saya sendiri
meragukannya.
Hingga
tibalah program Pendidikan Profesi Akuntan (PPAk) kembali terbuka di kampus
yang sama saya menempuh S2. Keputusan untuk mendaftar telah bulat. Dengan
menabung sisa-sisa uang hidup bulanan dari beasiswa S2, biaya kuliah PPAk dapat
dibayarkan. Mumpung di Semarang, sekalian saja ambil program profesinya.
Pokoknya, saya harus belajar sebanyak-banyaknya, semampu saya. Begitulah jiddiyah itu tertanam di dalam hati.
Diawali
pada bulan Januari 2015, secara resmi saya menutup status mahasiswa saya
sebagai mahasiswa PPAk di hadapan para pejabat kampus, teman-teman wisudawan,
dan mama saya yang saat itu hadir pada upacara wisuda saya. Tidak ada target
apa-apa waktu kuliah dan memang secara pribadi sudah selesai dengan yang
namanya target-menarget. Saya percaya, usaha terbaik harus dilakukan, urusan
hasil itu belakangan. Tuhan tidak pernah salah membalas setiap jerih. Kalau pun
pada akhirnya hasil tidak sesuai dengan usaha, barangkali itulah yang terbaik.
Manisnya usaha ada pada proses yang dijalani, bukan dari hasil yang dinanti.
Sumber Gambar : Arinal Muna |
Di
masa-masa kuliah, yang saya tahu, saya hanya harus belajar dan mendapatkan
banyak pengetahuan. Tidak hanya dari dosen dan teman-teman, tapi dari
referensi-referensi yang tersedia di kampus, yang pastinya tidak bisa saya
dapatkan semudah itu di Makassar nanti. Ada satu hal yang selalu tertanamkan
dalam diri, bahwa sesusah apa pun ujian yang diberikan dosen pada masa akhir
kuliah, sesedikit apa pun pengetahuan yang saya miliki memasuki ruangan ujian,
saya tidak akan pernah melakukannya dengan cara yang curang. Katakan tidak
untuk menyontek! Bagaimana mungkin saya bisa mengajarkan mahasiswa-mahasiswa
saya kelak untuk tidak menyontek kalau waktu kuliah saya sendiri menyontek?
Ilmu, yang sejatinya suci sebab bersumber dari Tuhan yang Maha Berilmu,
haruslah didapatkan dari cara-cara yang baik dan benar. Dengan jalan-jalan itu,
Tuhan izinkan saya bersama dua kawan lain meraih IPK tertinggi pada saat
wisuda PPAk. Sekali lagi, tidak pernah ada target seperti itu, tidak pernah ada
keinginan mengalahkan yang lain, dan jauh dari niat untuk berkompetisi dengan
kawan-kawan. Hanya mengusahakan yang terbaik dari diri sendiri, urusan hasil,
biarkan Tuhan bekerja.
Berselang
tujuh bulan setelah itu, tepat di tanggal 03 Agustus, seorang laki-laki yang
saya percayakan sisa usia saya terlewati berdua dengannya, menjadikan saya
sebagai sayapnya untuk terbang menyapa Tuhan. Saya resmi mengubah status
sebagai seorang istri bagi laki-laki saya itu. Bersamanya, saya menaruh harapan
pada jalan panjang mengukir kebaikan dalam hidup.
Dua
pekan setelah menikah, saya kembali ke Semarang merampungkan studi untuk
mengikuti ujian thesis. Pernikahan tidak boleh jadi alasan untuk tidak
menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan. Tiga pekan di
Semarang, saya merampungkan ujian thesis saya dengan penelitian yang sampai
hari ini tidak saya sangka bisa selesai juga. Sebenarnya, saya merencanakan
untuk menyelesaikan thesis tersebut di bulan Maret. Namun apa daya, mundur lima
bulan dari waktu yang saya rencanakan karena berbagai hal. Penelitian yang
menuntut saya harus membaca lebih banyak, dan sempat sakit selama dua bulan
lamanya sehingga harus istirahat total di tempat tidur.
Tapi
lagi-lagi Tuhan memberikan kejutannya di akhir perjuangan itu. Selama satu
bulan setelah ujian thesis, saya kembali ke Makassar untuk menemani suami di hari-hari
terakhirnya di Makassar sebelum berangkat melanjutkan studi doktoralnya.
Setelah suami berangkat, kira-kira sepekan, saya kembali lagi ke Semarang untuk
mengikuti upacara wisuda. Didampingi mama, saya memasang toga lagi dan menerima
ijazah sebagai lulusan terbaik program magister di jurusan saya. Sekali lagi,
tidak pernah menargetkan dan tidak pernah ingin mengalahkan siapa-siapa. Betapa
Tuhan Maha Asyik dengan rencana-rencana-Nya.
Sumber Gambar : Arinal Muna |
Tibalah
kembali ke Makassar untuk berjuang. Setelah memantapkan hati untuk tidak
menerima tawaran tidak kurang dari tujuh perguruan tinggi guna bergabung
sebagai dosen, Tuhan izinkan diri untuk menetap di Makassar dengan menjadi
salah satu tenaga pengajar di kampus kota ini. Akhir 2015, secara resmi saya
bergabung di kampus tersebut. Kampus yang mempertemukan saya dengan banyak
mahasiswa hebat, yang dari mereka saya justru belajar banyak.
Di
kota inilah gerak itu kembali dimulai. Kembali tidak hanya membawa diri, tapi
keinginan-keinginan untuk berarti bagi yang lain. Kembali bergiat di tempat
yang pernah saya tinggalkan. Kembali kepada orang tua, yang alhamdulillah, Tuhan masih beri
kesempatan untuk berkhidmat kepada mereka. Kembali ingin menjejak kebaikan di
tanah pulang.
Sungguh
tidak ada yang patut disombongkan sebab memang bukan apa-apa tanpa Tuhan yang
menguatkan langkah sejauh ini. Sejatinya diri hanyalah raga yang berjalan dan
akan berujung sebagai mangsa cacing-cacing di tanah jika tanpa mengisi jiwa dan
ruh dengan kebaikan-kebaikan. Demikianlah 2015 terlewati. Kepadamu yang sedang
meniti langkah untuk berjuang, semoga Tuhan menguatkanmu. Kepadamu yang sedang
meniti hari-hari untuk tidak berputus asa memperbaiki diri, sungguh kau tidak
pernah sendiri.
Hidup
yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas dijalani, demikianlah
Socrates mengingatkan. Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi diri, dan
untung baik jika ada yang mereguk hikmah darinya. Salam.
Bunch of thanks Andisku :')
BalasHapusYou are welcome, Arinku :)
Hapus