Dia
duduk paling pojok, belakang bagian kiri, seperti saban hari sebelumnya. Saya
duduk paling depan, tepat di depan nampan proyektor. Selalu begitu.
Dosen
perempuan kami, sedikit judes, masuk. Kelas yang tadinya riuh tiba-tiba hening.
Saya merapikan diri, duduk tegap menghadap ke depan. Teman-teman yang lain
juga. Keliaran kami tiba-tiba takluk.
Kecuali
satu orang. Dia yang duduk di pojok belakang itu. Masih dengan wajah tak acuh, tidak
terpengaruh dengan kedatangan dosen. Namanya Eka Kurniawan.
Dia
memang terbiasa demikian. Masuk ke dalam kelas seperti kehilangan semangat.
Saya sering bertanya-tanya, apa sebenarnya yang diharapkannya dengan memasuki
kelas kami. Semua tahu, dia sudah mengkhatamkan bahan-bahan bacaan, bahkan yang
belum dijamah dosen sekali pun.
Saat
sesi diskusi, jangan tanya lagi, dia bisa menjejalkan kami nama-nama penulis
berserta judulnya, kalau perlu lengkap dengan tahun terbitnya, beserta
penjelasan siapa-siapa saja penulis yang turut mewarnai penulis tersebut. Dia
menyebutnya seperti menyebutkan nama-nama keluarganya saja.
Dalam
beberapa kali diskusi, sebagaimana selalu menjadi masalah, kutemukan diriku
terbagi antara dua peran yang saling bersaing. Tidak tahu apakah mesti
menanggapi pernyataan dan pertanyaannya sebagai teman sekelas ataukah sebagai
penulis yang kusukai.
Sejujurnya
saya lebih tertarik dengan isi jurnal-jurnalnya termasuk esai-esainya di koran,
tinimbang novel-novelnya. Padahal, dia dikenal lebih sebagai seorang novelis
atau sastrawan, bukan esais. Bahkan, seperti yang sering dia katakan, dia
menulis jurnal dan esai tentang bacaan-bacaannya dan perihal lain tentang novel
kelas dunia, tidak lain adalah bagian dari dirinya sebagai seorang penulis
novel. Dia mengikuti petuah Gabriel García Márquez,
“para novelis membaca novel karya orang
lain hanya untuk memahami bagaimana mereka menulis.”
Seseorang,
yang saya lupa siapa, pernah menulis: membaca karya Eka Kurniawan seperti
membaca karya-karya penulis dunia dalam satu cerita. Hah? Maka didorong rasa penasaran, akhirnya saya harus menelusur
jauh ke belakang, mencari novel-novel klasik dari luar yang dibaca oleh Eka.
Saat
ini, saya sudah mengumpulkan beberapa. Di antaranya ada Ernest Hermingway,
George Orwell, Albert Camus, Rabindranath Tagore, hingga Yasunari Kawabata. Saya
mendapatkan mereka dari ‘berburu’, baik di pesta buku, loakan, sampai toko buku
daring. Ada juga lainnya beberapa saya nikmati dengan numpang baca di perpustakaan
daerah.
Dengan
rasa penasaran yang mungkin sedikit impulsif, saya bahkan pernah meminta tolong
tetangga kos dengan menitip novel-novel Abdullah Harahap saat ia ke toko buku.
Waktu itu saya sudah ke toko buku yang sama. Tapi tidak membelinya. Sewaktu
membaca nama Abdullah Harahap di rak buku, saya merasa tidak asing dengan
namanya. Tapi di mana saya menemukan namanya, saya meraba: mungkin di jurnal
Eka.
Akhirnya,
sepulang dari toko buku, saya membuka jurnal Eka. Dan benar! Di Jurnalnya. Eka
menyukai karya-karya Abdullah Harahap, dan bukan semata karena cerita horor di
dalamnya, tapi lebih karena Abdullah Harahap mampu memenuhi ekspektasi Eka
tentang bagaimana sebaiknya tulisan fiksi itu disajikan: enak dibaca. Lalu
percayalah saya dengan penilaian Eka (ada beberapa dasar yang saya gunakan
ketika memilih buku yang akan saya miliki, ‘rekomendasi’ dari orang yang saya
percaya bacaannya bagus, salah satunya). Maka dua novel Abdullah Harahap yang
diterbitkan ulang, sudah saya miliki.
Ah, Anda
tahu, sebenarnya, sesekali saya tidak menyukai tulisan Eka di novel-novelnya.
Saya kadang berpikir, apakah orang ini bisa menulis novel tanpa ada adegan seks
di dalamnya? Kenapa sih penulis keren
seperti dia harus punya kebiasaan seperti itu? Sialnya, gaya menulisnya
benar-benar menyenangkan.
Ingin
rasanya, sekali waktu selepas kuliah selesai, saya menghampirinya dan bertanya
: “hei, bisa tidak menulis novel yang
adegannya tidak terlalu vulgar?” Saya mungkin tidak akan pernah bertanya
padanya di luar kelas. Kami tidak akrab, bahkan tak pernah bertegur sapa. Dan
lagi, jika pertanyaan itu benar-benar saya tanyakan, akan tampak basa-basi.
Jenis pertanyaan apa lagi namanya jika kau sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu
sendiri kalau bukan pertanyaan basa-basi?
Suatu
kali dalam sebuah wawancara, dia katakan, “saya
tidak pernah menulis dengan harapan semua orang menyukai karya saya. Saya
memang tidak pernah mengespektasikan semua jenis pembaca suka dengan tulisan
saya.” Nah, ini tamparan keras bagi penulis amatir seperti saya yang
bermimpi tulisannya disukai oleh segala jenis pembaca.
***
Kejadian
di atas sungguh tak pernah ada. Saya lulusan Akuntansi, dan Eka lulusan
Filsafat. Dia juga lulusan jurusan yang berhubungan dengan desain (saya lupa
nama jurusannya yang tepat, apa.). Jadi kelewat mustahil untuk kami bisa satu
kelas. Kami pun terpaut usia yang cukup berjarak. Enam belas tahun. Namun,
percayalah, apa yang saya katakan tentang Eka−pendapat saya dan juga tentangnya−adalah
benar hasil dari penelusuran saya terhadap tulisan-tulisannya. Tabik.
Saya suka ceritanya. Salam kenal..... :)
BalasHapusCerita ini terinspirasi dari esai "Ketika Gabriel Garcia Marquez Berjumpa Ernest Hemingway", hehe.
HapusSalam kenal kembali :)