Hari ini,
di sela mempelajari aset tidak lancar untuk dijual, saya menampilkan kepada
mahasiswa tulisan dari seorang mahasiswa di Universiy of Manchester. Tulisan
tersebut dibacakan secara bergantian oleh empat mahasiswa yang datang terlambat
pagi ini. Oh ya, di kelas, kami punya peraturan yang dibuat dan disepakati pada
pertemuan pertama. Kuliah dimulai tepat jam 8, dan 15 menit pertama diberi
kebijakan bagi yang terlambat untuk masuk kelas, namun dihitung hadir terlambat,
yang artinya nilai pada kolom sikap mereka akan minus. Sementara mahasiswa yang
datang lewat 15 menit, boleh masuk mendapatkan materi, tapi dihitung tidak
hadir. Hal ini saya lakukan untuk sama-sama melatih diri kami agar lebih
disiplin. Peraturan itu juga berlaku pada saya, sebagai salah satu unsur di
dalam kelas, tentu saja. Alhamdulillah,
saya selalu datang 15 menit lebih awal sebelum kelas dimulai. Ada pun kebijakan
yang saya ambil untuk tidak melarang yang datang di atas 15 menit masuk ke
dalam kelas, karena saya tidak akan menghalangi siapa pun mahasiswa saya yang
mau belajar. Biarlah konsekuensi ketidakhadiran mereka di absen yang menjadi
hukuman. Namun, jangan sampai mereka saya halangi mendapatkan ilmu pada hari
itu. Jadi, yang datang lewat 15 menit, silakan masuk, tapi dianggap alpa.
Kembali
lagi tentang tulisan yang dibacakan di kelas, isi tulisan itu tentang seorang
anak difabel yang kini tengah menempuh program doktornya di Manchester. Apa
yang dilakukannya untuk bisa sampai sejauh itu? Berjuang. Dia menolak menerima
keterbatasannya sebagai sesuatu yang menghambat hidupnya. Dia melawan
keterbatasannya, dan berjuang untuk terus belajar. Lalu apa cita-citanya? Dia
ingin jadi guru. Lihatlah, setelah usaha yang dilakukannya sedemikian keras,
cita-citanya tetap membumi. Dia ingin jadi guru, profesi mulia yang akan
mendampingi anak-anak negeri untuk belajar.
Kepada
mahasiswa, saya tanyakan apa yang mereka dapatkan dari tulisan itu? Mereka
menangkap pesan apa?
Salah
satu dari mereka menjawab begini, “dia yang terbatas, mau berjuang dan bisa
bertahan dengan kondisinya. Sedangkan kami yang sudah sempurna [sebagai
ciptaan], masih malas belajar.” Apa yang ingin saya sampaikan kepada mereka,
pada akhirnya sudah mereka jawab sendiri. Saya hanya cukup menambahkan apa yang
belum mereka dapatkan. Di tulisan itu, si penulis meyakini bahwa apa yang dia
terima berupa keterbatasan, hanyalah masalah kecil. Sebab itu, tidak akan jadi
beban baginya untuk melanjutkan hidup. Saya coba kembalikan kepada mahasiswa,
bahwa sejatinya kita semua punya masalah. Seberapa besar masalah itu bagi kita,
atau bahkan masalah itu tidaklah berarti sama sekali, itu tergantung seluas apa
hati kita menampungnya. Hati yang besar akan menganggap masalah besar sebagai sesuatu
yang kecil saja. Dan yang tidak kalah penting, jangan sampai masalah-masalah
internal dalam diri kita, menghalangi diri untuk berbuat kebaikan. Lihatlah si
anak difabel itu, di tengah keterbatasannya, dia ingin jadi seseorang yang
bermanfaat untuk orang lain.
Saya
dihinggapi perasaan bahagia yang berlimpah, di saat masalah-masalah yang
ditulis di kertas oleh mahasiswa saya bertumpuk di meja, di sebelah tumpukan
itu ada tumpukan kertas lain. Tumpukan kertas itu adalah tugas kebaikan yang
saya tugaskan kepada mereka setiap pekan. Dalam satu pekan, mereka menuliskan
satu kebaikan yang dilakukan. Dan, lihatlah bahwa siapa pun selalu punya
potensi berbuat baik, bahkan meski masalah-masalah dari diri sendiri sebenarnya
banyak.
Dalam
buku ‘Tafsir Kebahagiaan’ milik Jalaluddin Rahmat, salah satu cara
membahagiakan diri adalah dengan membantu orang lain. Kita meringankan beban
hidup kita dengan mencoba meringankan beban hidup orang lain. Karena kita pun percaya,
“barang siapa yang menyelesaikan urusan
suatu makhluk, Allah yang akan menyelesaikan urusannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar